Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Jumat, 31 Agustus 2007

Catatan kumal si Malin Kundang (II)

Sebelum Malin Kundang meninggal dunia atau mati menjadi batu di Gunung
Padang, dia telah menulis dan meninggalkan beberapa catatan mengenai
fenomena yang telah terjadi di Ranah Minang kampung halamannya sendiri.
Mungkinkah fenomena ini yang menyebabkan Malin Kundang durhaka kepada ibu
kandungnya ?
Berikut isi catatan Kumal si Malin Kundang bagian II (kedua) sbb :

II. Catatan si Malin mengenai merantau Cina

Sewaktu aku akan pergi merantau, ibuku berpesan: "Malin, jangan lah kamu
merantau Cina. Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, lebih
baik juga negeri awak". Aku mengangguk mengiyakan. Tapi sewaktu orang-orang
Cina sudah mulai membeli tanah pusaka kami, ibuku segera mengirim surat
kilat khusus yang isinya: "Malin, merantaulah seperti Cina !. Beli tanah
dimana saja. Tanah pusaka kita ternyata telah dikapling-kapling mereka !".

Surat kilat khusus itu dibaca istriku, Puti Manih Talonsong (sebelum menjadi
isteriku, nama kecilnya Cian Phao). Setelah surat itu dibacanya, dia
tersenyum. "Jangan tanahmu, kau sendiri kan sudah ku kapling jauh sebelum
itu"

Maaf Datuk !, kata Malin kepada mamaknya, akau terpaksa kawin dengan Puti
Manih Talonsong itu karena aku dulu jadi anak semang Baba Laweh, bapaknya

(bersambung)

Catatan kumal si Malin Kundang (I)

Sebelum Malin Kundang meninggal dunia atau mati menjadi batu di Gunung
Padang, dia telah menulis dan meninggalkan beberapa catatan mengenai
fenomena yang telah terjadi di Ranah Minang kampung halamannya sendiri.
Mungkinkah fenomena ini yang menyebabkan Malin Kundang durhaka kepada ibu
kandungnya ?
Berikut isi catatan Kumal si Malin Kundang bagian I (pertama) sbb :

I. Catatan Malin Kundang tentang Nama dan Gelar

Sejak abak mati karena kerja rodi sebagai seorang anak aku bertekat untuk
menjadi anak yang berguna. Membela ibuku. Niat itu kusampaikan pada ibu
setelah dia kembali dari kota Gede, dan segera ibu merobah namaku dari si
Buyung menjadi "Gunawan". Anak yang berguna. Kemudian, setelah Islam masuk,
tanpa setahuku ibu memberikan nama tambahan di depan namaku itu dengan
"Muhammad". Dan setelah aku menaiki pelaminan, orang-orang memanggil gelarku
"Malin", maksudnya mungkin orang yang soleh.

Maka pergilah aku merantau. sewaktu aku pulang sebentar melihat ibu, aku
sempat bertanya kepadanya: "Mak, kenapa sewaktu Belanda masuk atau Jepang
datang namaku tidak ditambah pula dengan "Albert atau Yamaguci" misalnya.
Ibuku menjadi marah dan dia menggerutu.

Mamakmu sendiri bergelar Dt. Bana Tan Tanpo, tetapi secuilpun tak pernah dia
berusaha menegakkan kebenaran dan takutnya pada orang kalau diuji
pendapatnya bukan main. Sekarang kau sudah di panggil orang si Malin.
Padahal apa yang kau kerjakan di rantau ? manjadi "pancacak" !?.

O ! Kalau begitu tahulah aku kini. Tampaknya antara nama dan gelar seperti
tidak ada hubungan sama sekali dengan tingkah laku dan perbuatan.

(bersambung)