Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Rabu, 05 September 2007

Belajar dari Ikan dan Kail

Suatu saat Noerhedi dan anaknya pergi memancing di sebuah kolam pancing. Saat tiba di lokasi kolam pancing dia dibimbing oleh seorang pemandu. Berikut ini percakapan
antara Noerhedi dan sang pemandu :

Pemandu : "Bapak ingin memancing di kolam yang tipe apa?"
Noerhedi : "Lho memangnya di sini ada kolam tipe apa aja?"
Pemandu : " Di sini ada banyak kolam, ada kolam yang ikannya besar-besar tapi ikannya jarang biasanya ini untuk tingkat yang sudah mahir, ada juga yang tingkat kesulitannya sedang, tapi kita punya satu kolam istimewa, di kolam tersebut jika bapak melemparkan kail, lalu langsung di tarik dan pasti dapat ikan"
Noerhedi : "Wahh mana ada kolam seperti itu?? saya tidak percaya tapi ya boleh lah saya mau coba kolam istimewa itu!"
Pemandu : "Ok tapi kolam ini ada syaratnya yaitu setiap ikan yang terpancing dari kolam ini tidak boleh di bawa pulang, melainkan harus dilepas kembali kekolam tersebut!
Noerhedi : "Ok tidak masalah"

Singkat cerita si Noer mulai memancing di kolam istimewa itu, di melemparkan kail ..... terasa kail itu bergetar sedikit .... dia menarik kail itu dan ternyata ..... umpannya hilang, tapi Noer tidak mendapatkan ikannya. Noer mencoba lagi 2x, 3x, 4x, selalu umpannya hilang tapi tidak dapat ikan. Lalu Noerhedi dengan agak sedikit emosi berbicara pada si pemandu.

Noer : "Wahh kamu bohong ya?? mana buktinya saya sudah lempar tapi selalu gagal!!"
Pemandu : "Hahahaha, bapak tidak tahu caranya sih,sini saya coba tunjukan kepada bapak"

Sang pemandu mengambil kail si Noer, memasang umpan, melemparkan kali, satu detik setelah kail menyentuh air sang pemandu langsung menarik kail nya dah hubb ... tertangkaplah ikan tersebut.
Sambil membebaskan ikan dari kail dan melepaskan kembali ke kolam sang pemandu bercerita.

Pemandu : "Hehehe, ikan-ikan di kolam ini tidak pernah diberi makan sehingga kelaparan. Tetapi ikan-ikan di kolam juga ini memiliki mulut yang sangat peka karena sudah beratus-ratus kali terkena kail dan dilepaskankembali. Sehingga ketika memakan umpan dan merasakan ada sesuatu yang keras (kail) maka ikan tersebut segera memuntahkan umpan tersebut"

PELAJARAN YANG BISA KITA AMBIL :

Ikan-ikan tersebut sudah berkali-kali terkena kail.
Sama seperti kita yang sering kali jatuh bangun menghadapi KEGAGALAN dalam hidup. TAPI, sama seperti ikan yang sudah hafal akan kail dan umpan yang mereka makan dan menjadikan mereka kebal ... semestinya kita juga bisa menghadapi dan menyikapi KEGAGALAN yang
terjadi dalam hidup kita dengan bijaksana. KEGAGALANadalah sebuah kesempatan agar kita semakin kuat dan semakin pintar untuk terbebas dari kegagalan-kegagalan lain di masa mendatang

Penyumbat Rezeki

Hardi, seorang pedagang kelontong yang cukup berhasil di kotanya. Namun jangan lihat keberhasilannya sekarang sebelum tahu faktor apa yang menjadi penyebab usahanya maju dan lancar.

Setahun yang lalu, Hardi mengadukan nasibnya kepada guru ngajinya. Ia mengaku sudah lebih sebelas tahun mencoba berbagai usaha namun selalu kandas di tengah jalan. Usaha pertamanya sudah dimulai saat ia baru memasuki kuliah tingkat dua, sekitar tahun 1994. Saat itu, ia mendapat pembagian warisan dari orangtuanya yang belum lama meninggal dunia. Jiwa bisnisnya memang sudah terlihat semenjak kecil, jadi wajar jika kemudian ia mendapatkan uang warisan dalam jumlah yang cukup banyak, maka yang terbersit di kepalanya adalah bisnis.

Maka, beberapa bulan kemudian ia membuka sebuah warung makan. Mulanya, warung makannya berjalan normal, bahkan bisa dibilang sangat laku keras. Mungkin karena ia melakukan promosi sangat gencar, selain karena ia termasuk anak muda yang memiliki cukup banyak relasi meski pun usianya masih sangat muda. Jadi sangat mudah baginya untuk mengundang sahabat, kerabat dan relasinya untuk sekadar mencicipi warung makan miliknya.

Entah kenapa, selang tiga bulan kemudian satu persatu pelanggan meninggalkannya. Tak banyak lagi yang makan di warungnya, sehingga dalam waktu tak berapa lama ia terpaksa menutup usahanya dan gulung tikar. Ia pun berganti usaha yang lain dengan sisa modal yang ada.

Usaha barunya, tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Masih seputar makanan. Kali ini ia membuka usaha catering yang melayani makan untuk kantor-kantor di kota tinggalnya. Alhamdulillah ia dipercaya seorang rekannya yang bekerja di sebuah perusahaan untuk memasukkan catering untuk makan siang beberapa karyawan. Untuk sebuah awalan, catering untuk sekitar 20 karyawan dianggapnya bagus. "Mulanya 20, insya Allah menjadi 200, 2000 dan seterusnya." semangat Hardi berapi-api.

Alih-alih bertambah pelanggan, rupanya Allah berkehendak lain. Yang 20 pun menyetop langganan catering kepada Hardi, sementara selama satu bulan penuh itu ia belum mendapatkan pelanggan baru. Akhirnya, ia pun kembali mengalami kebangkrutan. Demikian seterusnya hingga lebih sepuluh tahun kemudian ia berganti jenis usaha selalu menemui kegagalan.

Pada satu kesempatan ia mengadukan perihal kegagalan demi kegagalan usahanya kepaada guru mengajinya. Ia menceritakan secara detil semua jenis usaha yang pernah dicobanya dan bagaimana sampai akhirnya semua usahanya gagal. "Saya harus usaha apalagi guru, saya sudah kehabisan modal. Bahkan saat ini saya memiliki hutang yang tidak sedikit." keluhnya.

Guru tersebut tak lantas memberikan jawaban dengan menyebut satu bentuk usaha baru yang patut dicoba Hardi, melainkan meminta Hardi mengingat-ingat sesuatu di masa lalu. "Coba ingat, pernah punya hutang atau tidak di masa lalu? Atau pernah punya sangkutan berkenaan dengan rezeki orang lain atau tidak di masa lalu.?" tanya sang guru.

Dahi Hardi mengerenyit, mencoba mengingat-ingat masa lampaunya. Rasa-rasanya ia tak pernah punya hutang kepada siapa pun, justru sebaliknya ia malah mengingat kembali daftar nama-nama yang pernah berhutang kepadanya. "Coba lebih keras mengingat, mungkin nilainya kecil, tapi boleh jadi itu yang menjadi penyumbat rezekimu."

"Astaghfirullah. . " Hardi teringat sesuatu. Ia pun segera menyalami sang guru dan mohon pamit seraya berucap terima kasih. Pria itu segera memacu kencang kendaraannya menuju suatu tempat. Dalam hati ia berharap cemas, "Semoga masih ada warung itu."

Tidak kurang dari tiga belas jam waktu yang ditempuh Hardi menuju Semarang, mencari satu tempat yang pernah ia singgahi hampir dua belas tahun yang lalu. Tiba di tempat yang dituju, ia tidak menemukan lagi warung mie ayam tempatnya makan dahulu. Kemudian ia mencoba bertanya kepada orang-orang di sekitar perihal tukang mie yang pernah berjualan di situ.

"Ya, tukang mie itu bapak saya. Sekarang sudah tidak berjualan lagi. Sekarang bapak sedang sakit parah." seorang anak menceritakan ciri-ciri fisik penjual mie ayam itu, dan Hardi yakin sekali itu orang yang dicarinya. Tanpa pikir panjang, ia minta diantarkan ke rumah penjual mie untuk bertemu langsung.

Ketika melihat kondisi penjual mie, Hardi menitikkan air mata. Ia langsung meminta beberapa anggota keluara membopong penjual mie itu ke mobilnya dan segera membawanya ke rumah sakit. Alhamdulillah, jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, mungkin penjual mie itu tidak akan tertolong. Seluruh biaya rumah sakit tercatat mencapai lima belas juta rupiah, dan semuanya ditanggung oleh Hardi.

Beberapa hari kemudian, setelah kembali ke rumah, bapak penjual mie itu mengucapkan terima kasih kepada Hardi. "Bapak tidak tahu harus bagaimana mengembalikan uang biaya berobat itu kepada nak Hardi. Usaha dagang bapak sedang susah." Hardi berkali-kali mencium tangan Pak Atmo, penjual mie itu. Matanya tak henti menitikkan air mata, ia sedang berusaha menyatakan sesuatu, namun bibirnya terasa sangat berat.

Akhirnya, ". semua sudah terbayar lunas pak. Saya hanya minta bapak mengikhlaskan semangkuk mie ayam yang pernah saya makan tanpa membayar dua belas tahun silam", Hardi terus menangis berharap keikhlasan itu didapatnya. Saat itu, sehabis makan ia langsung kabur memacu sepeda motornya dan tak membayar semangkuk mie seharga 1.500 rupiah.

Pak Atmo memeluk erat tubuh Hardi dan mengusap-usap kepala pria muda itu seraya berucap, "Allah Maha Pemaaf, begitu pun semestinya kita.".


Moral of story :

" Perlancar dulu rezeki orang lain, agar tidak menyumbat rezeki kita. Wallaahu 'a'lam bishshowaab ".

Senin, 03 September 2007

Catatan kumal si Malin Kundang (V)

Sebelum Malin Kundang meninggal dunia atau mati menjadi batu di Gunung
Padang, dia telah menulis dan meninggalkan beberapa catatan mengenai
fenomena yang telah terjadi di Ranah Minang kampung halamannya sendiri.
Mungkinkah fenomena ini yang menyebabkan Malin Kundang durhaka kepada ibu
kandungnya ?
Berikut isi catatan Kumal si Malin Kundang bagian V (kelima) sbb :

V. Catatan si Malin Kundang mengenai "Masyarakat Ilmiah"

Datu-datuk yang selalu mengadakan rapat atau sidang di Balai Adat mempunyai
tata cara tersendiri. Setiap kata harus dijelaskan arti dan maksudnya supaya
tidak terjadi kesalah pengertian. Dan bagi yang memberikan jawaban,
mengulang kembali penjelasan itu dan setelah disepakati bahwa arti dan
maksudnya sama, baru persoalan dilanjutkan.

Jika sekiranya yang dibicarakan tentang perkawinan, terlebih dahulu
disamakan pendapat tentang "kawin" itu, apa yang dilakukan bila kawin, kawin
cara siapa dan seterusnya. Setelah itu baru persoalan dilanjutkan "siapa
yang akan kawin", bagaimana kawinnya, dimana dan kapan ? dan seterusnya.

Kadang-kadang rapat itu hanya membicarakan tentang sebuah durian yang jatuh
ke halaman orang lain, terpaksa mereka rapat sampai lima atau enam hari.

Repot !, tapi kata Datukku itu adalah sikap ilmiah. Semua harus punya
rujukan yang jelas. Kalau mengutip pendapat orang lain harus di
konfirmasikan sampai benar-benar diakui sebagai pendapat, bukan pendapat
kita. Aku mengangguk membenarkan.

Sewaktu dia tersinggung karena aku kawin lagi sedangkan isterinya sebagai
Datuk baru tiga, dia memakiku; "Anjiang kamu Malin !".

Aku tenang saja, tapi ketenangan ku membuat kemarahannya melimpah ruah; "Hei
Malin ! Hanya Datuk yang boleh bersiteri banyak ! Kau telah menghina semua
Datuk yang ada di negeri ini !"

"Anjing !, Anjiang kau !", suaranya semakin serak dan akhirnya menangis.

Setelah reda kemarahannya lalu ku katakan, bahwa kita harus bersikap ilmiah.
Kita ini masyarakat ilmiah. Segala sesuatunya harus jelas. Jika mamak Datuk
mengatakan anjing, supaya dijelaskan anjingnya anjing apa, kurapan atau
hitam, jantan atau betina dan turunan anjiang apa !?

Tiba-tiba dia berdiri; "Baik !", katanya dengan geram. Tubuhnya bergoyang
menahan kemarahannya. "Anjiang kamu ! Anjing kumbang ! Anjing milik Datuk
Perpatih Nan Sabatang ! Yang menggigit dubalang Datuk Ketumanggungan !. Tapi
anjiang tidak dihukum ! Yang namanya anjing ! Tentu tidak dimakan hukum !
Hanya anjing yang memakan hukum !

Akhirnya Dt. Bana Tan Tapo mamakku tertawa terpingkel-pingkel sendiri.

(tammat)

Catatan kumal si Malin Kundang (IV)

Sebelum Malin Kundang meninggal dunia atau mati menjadi batu di Gunung
Padang, dia telah menulis dan meninggalkan beberapa catatan mengenai
fenomena yang telah terjadi di Ranah Minang kampung halamannya sendiri.
Mungkinkah fenomena ini yang menyebabkan Malin Kundang durhaka kepada ibu
kandungnya ?
Berikut isi catatan Kumal si Malin Kundang bagian IV (keempat) sbb :

IV. Catatan si Malin Kundang mengenai "Rumah Gadang bapaga Adat"

Aku sudah mengirimkan sejumlah uang berkali-kali sebagaimana yang diminta
mamakku Dt. Bana Tan Tapo untuk menyiapkan "rumah gadang" kaum kami.
Kemudian ibuku mengirim surat pula supaya mengirimkan uang lagi untuk
membuat pagar rumah gadang itu.

Semuanya aku penuhi. Tapi sewaktu aku pulang ke kampung melihat rumah gadang
itu, ternyata tidak ada pagar atau tanda akan diberi pagar. segera kutemui
mamakku Dt. Bana Tan Tapo untuk menanyakan kenapa pagar belum juga dibikin
sedangkan uangnya sudah dikirim lebih.

"Rumah gadang bapagar Adat" Malin !, bukan berpagar besi seperti rumah
sekarang !, jawabnya tenang. Dan uang yang telah kukirimkan digunakan buat
apa ?, kan buat bikin pagar !, kataku kesal.
Sambil menangis merangkulku dia berbisik "Kau saja sanggup beristeri sampai
lima, pada hal kau belum jadi Datuk !". Aku bingung !.
"Uangmu telah kugunakan untuk kawin lagi, gengsi kalau penghulu seperti aku
tidak punya banyak isteri, sepertinya aku tidak laku !"
Mungkin inilah sebabnya rumah gadang di Minangkabau semakin berkurang, kalau
kemanakan di rantau selalu mengirimkan uang disalah gunakan oleh mamaknya ?

(bersambung)

Catatan kumal si Malin Kundang (III)

Sebelum Malin Kundang meninggal dunia atau mati menjadi batu di Gunung
Padang, dia telah menulis dan meninggalkan beberapa catatan mengenai
fenomena yang telah terjadi di Ranah Minang kampung halamannya sendiri.
Mungkinkah fenomena ini yang menyebabkan Malin Kundang durhaka kepada ibu
kandungnya ?
Berikut isi catatan Kumal si Malin Kundang bagian III (ketiga) sbb :

III. Catatan si Malin kundang mengenai "Anak dipangku Kemanakan... ?"

Restoran "Bim Bing" suasananya enak dan remang-remang. Aku pelanggan
restoran itu tanpa setahu Cian Phao, soalnya ada Puti Basusual Intan disana.
Aku yakin dia sama asal atau sekampung dengan ku, tapi separo mati pula dia
bertahan mengatakan tidak. Dalam pertengkaran itu aku pangku dia
habis-habisan.

Tiba-tiba seorang tua tertelungkup di depan kami, pingsan. Seteleh
ditelentangkan, Puti Basusual Intan terperanjat "Ayahku !" teriaknya. Kuraba
kepala yang pingsan itu. Ternyata dia Datuk Bana Tan Tapo mamakku. Rupanya
dia jatuh pingsan melihat aku begitu penuh nafsu memangku Puti Basusual
Intan. Insiden kecil ini di jadikan Head Line Surat Kabar "Datuk Bana Tan
Tapo pingsan karena Anak dipangku kemanakan di Bim Bing" ?. Pada mulanya
insiden, akhirnya menjadi petuah adat sampai sekarang gara-gara wartawan.

(bersambung)

Catatan kumal si Malin Kundang (III)

Sebelum Malin Kundang meninggal dunia atau mati menjadi batu di Gunung
Padang, dia telah menulis dan meninggalkan beberapa catatan mengenai
fenomena yang telah terjadi di Ranah Minang kampung halamannya sendiri.
Mungkinkah fenomena ini yang menyebabkan Malin Kundang durhaka kepada ibu
kandungnya ?
Berikut isi catatan Kumal si Malin Kundang bagian III (ketiga) sbb :

III. Catatan si Malin kundang mengenai "Anak dipangku Kemanakan... ?"

Restoran "Bim Bing" suasananya enak dan remang-remang. Aku pelanggan
restoran itu tanpa setahu Cian Phao, soalnya ada Puti Basusual Intan disana.
Aku yakin dia sama asal atau sekampung dengan ku, tapi separo mati pula dia
bertahan mengatakan tidak. Dalam pertengkaran itu aku pangku dia
habis-habisan.

Tiba-tiba seorang tua tertelungkup di depan kami, pingsan. Seteleh
ditelentangkan, Puti Basusual Intan terperanjat "Ayahku !" teriaknya. Kuraba
kepala yang pingsan itu. Ternyata dia Datuk Bana Tan Tapo mamakku. Rupanya
dia jatuh pingsan melihat aku begitu penuh nafsu memangku Puti Basusual
Intan. Insiden kecil ini di jadikan Head Line Surat Kabar "Datuk Bana Tan
Tapo pingsan karena Anak dipangku kemanakan di Bim Bing" ?. Pada mulanya
insiden, akhirnya menjadi petuah adat sampai sekarang gara-gara wartawan.

(bersambung)