Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Senin, 03 September 2007

Catatan kumal si Malin Kundang (V)

Sebelum Malin Kundang meninggal dunia atau mati menjadi batu di Gunung
Padang, dia telah menulis dan meninggalkan beberapa catatan mengenai
fenomena yang telah terjadi di Ranah Minang kampung halamannya sendiri.
Mungkinkah fenomena ini yang menyebabkan Malin Kundang durhaka kepada ibu
kandungnya ?
Berikut isi catatan Kumal si Malin Kundang bagian V (kelima) sbb :

V. Catatan si Malin Kundang mengenai "Masyarakat Ilmiah"

Datu-datuk yang selalu mengadakan rapat atau sidang di Balai Adat mempunyai
tata cara tersendiri. Setiap kata harus dijelaskan arti dan maksudnya supaya
tidak terjadi kesalah pengertian. Dan bagi yang memberikan jawaban,
mengulang kembali penjelasan itu dan setelah disepakati bahwa arti dan
maksudnya sama, baru persoalan dilanjutkan.

Jika sekiranya yang dibicarakan tentang perkawinan, terlebih dahulu
disamakan pendapat tentang "kawin" itu, apa yang dilakukan bila kawin, kawin
cara siapa dan seterusnya. Setelah itu baru persoalan dilanjutkan "siapa
yang akan kawin", bagaimana kawinnya, dimana dan kapan ? dan seterusnya.

Kadang-kadang rapat itu hanya membicarakan tentang sebuah durian yang jatuh
ke halaman orang lain, terpaksa mereka rapat sampai lima atau enam hari.

Repot !, tapi kata Datukku itu adalah sikap ilmiah. Semua harus punya
rujukan yang jelas. Kalau mengutip pendapat orang lain harus di
konfirmasikan sampai benar-benar diakui sebagai pendapat, bukan pendapat
kita. Aku mengangguk membenarkan.

Sewaktu dia tersinggung karena aku kawin lagi sedangkan isterinya sebagai
Datuk baru tiga, dia memakiku; "Anjiang kamu Malin !".

Aku tenang saja, tapi ketenangan ku membuat kemarahannya melimpah ruah; "Hei
Malin ! Hanya Datuk yang boleh bersiteri banyak ! Kau telah menghina semua
Datuk yang ada di negeri ini !"

"Anjing !, Anjiang kau !", suaranya semakin serak dan akhirnya menangis.

Setelah reda kemarahannya lalu ku katakan, bahwa kita harus bersikap ilmiah.
Kita ini masyarakat ilmiah. Segala sesuatunya harus jelas. Jika mamak Datuk
mengatakan anjing, supaya dijelaskan anjingnya anjing apa, kurapan atau
hitam, jantan atau betina dan turunan anjiang apa !?

Tiba-tiba dia berdiri; "Baik !", katanya dengan geram. Tubuhnya bergoyang
menahan kemarahannya. "Anjiang kamu ! Anjing kumbang ! Anjing milik Datuk
Perpatih Nan Sabatang ! Yang menggigit dubalang Datuk Ketumanggungan !. Tapi
anjiang tidak dihukum ! Yang namanya anjing ! Tentu tidak dimakan hukum !
Hanya anjing yang memakan hukum !

Akhirnya Dt. Bana Tan Tapo mamakku tertawa terpingkel-pingkel sendiri.

(tammat)

Tidak ada komentar: