Datuk sipasan sebenarnya sudah beberapa hari yang lalu di tugaskan oleh teman-temanya untuk membujuk anak muda itu agar mau membantu mereka.
Bahkan ada yang mengusulkan agar diikat jodoh Siti Nilam denganya. Agar dengan demikian, anak muda itu mau tak mau ikut berperang di pihak mereka mengusir Belanda. Namun Datuk itu tak mau gegabah. Dia tak mau menyampaikan hal itu karena dia anggap kurang terhormat cara demikian.
Dan kiranya, tanpa dia harus memintanya dengan bujukan, anak muda itu telah mengatakan kesediaannya. Bukankah itu suatu Rahmat ? Dan Datuk ini serta pengikut-pengikutnya, merasa yakin bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan Sekalian Alam yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Setelah mereka membaca Alfathihah, para lelaki berdatangan menjabat tangan si Giring-giring Perak. Menurut perjanjian dengan Ulama-ulama Aceh yang balik ke Aceh mencari bala bantuan, mereka akan datang lima purnama lagi. Berarti sisa lima purnama itu akan mereka pergunakan untuk mencari dan mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin. Berusaha menarik kaum pesilat dan pengikut Islam yang ada di Tiga Luhak ini agar mau membantu mereka.
Dan hari itu mereka putuskan, bahwa mereka akan kembali ke rumah Datuk Sipasan di Silaing. Tiga hari disana, setelah melihat angin baik, mereka lalu pindah menuju Balingka seperti rencana Datuk Sipasan. Mereka menempuh jalan biasa lewat Koto Baru, Sungai Buluh dan Padang Luar lalu berbelok ke Balingka. Dengan menempuh jalan biasa itu, mereka dapat membawa semua perkakas yang di bawa pindah dari Pariaman berikut pedati. Si Giring-giring Perak ikut dalam rombongan itu.
Dalam perjalanan, beberapa kali mereka coba disergap oleh anak buah Pandeka Sangek. Tapi melihat betapa di pedati paling depan duduk anak muda berbaju serba putih dan ber-giring-giring perak itu, stelan perut mereka jadi memilin.
Mereka mundur sebelum dihajar. Dan rombongan itu aman sampai di Balingka.
Akan halnya Pandeka Sangek, sejak peristiwa itu seperti lenyap dari Negeri Silaing dan Kebun Sikolos. Banyak yang menduga , bahwa dia bersemedi dan menghimpun tenaga di Gunung Rajo. Malah secara seloroh ada yang mengatakan bahwa dia kembali mengulang menuntut ilmu pada gurunya..
Tapi satu hal yang pasti adalah, mereka sedang menanti kesempatan untuk menuntut balas. Sementara cerita tentang perkelahian Dahsyat di Rimba Silaing itu pecah dari mulut ke mulut.
Tersebar mulai dari Luhak Tanah Datar sampai ke Luhak Agam dan Lima Puluh. Nama si Giring-giring Perak disebut penuh kekaguman dari mulut ke mulut. Meski orangnya belum pernah mereka lihat.
Namun Bukit Tambun Tulang tetap saja menjadi momok bagi orang yang lalu disana. Dua rombongan orang-orang yang akan ke Padang dan lewat disana, habis kena babat. Jumlah mereka enam belas orang. Lelaki semua. Dan pesilat semua.
Terakhir dua regu tentara Belanda, yang menuju Padang juga, yang lewat disana dengan pasukan berkuda dan bersenjata lengkap. Dua puluh orang mati disembelih oleh anak buah Gampo Bumi. Tiga orang lainnya sempat lolos dan melarikan diri kembali ke Tanah Datar.
Dan nama Bukit Tambun Tulang kembali menjadi momok. Suatu kerajaan hukum rimba yang membuat orang merasa linu tulang belulangnya bila harus lewat disana.
Peristiwa pembunuhan dan penyamunan terhadap dua regu tentara Belanda itu menyebabkan murkanya Kolone De Cappelen di Batu Sangkar. Dia memerintahkan pada Kapten Verde di Kebun Sikolos dekat Silaing untuk menyapupenyamun disana. Kapten itu justru memanggil Pandeka Sangek. Karena dia mendengar bahwa antara Pandeka Sangek itu dengan Gampo Bumi punya sangkut paut . Dia meminta pada Pandeka Sangek untuk membujuk Gampo Bumi agar mau menyerah padanya. Tapi Pandeka Sangek dengan tegas menolak.
"Saya bukan hanya sekedar kenal dengan Gampo Bumi. Tapi lebih dari pada itu dia adalah adik seperguruan saya.." katanya pada Kapten Belanda itu tatkala dia datang ke Pos markas Kapiten tersebut di Kebun Sikolos."Good! Baguss! Kalau begitu, kamu orang harus panggil adik kamu yang ajarnya kurang itu. Suruh dia datang pada saya di sini."
"Itu tak mungkin!" kata Pandeka itu tegas.
"Apa sebab?"
"Dia penguasa di Bukit Tambun Tulang itu. Setiap tindakan yang dia lakukan sepenuhnya tanggung jawab dia. Meski kami seperguruan tapi kami tak boleh mencampuri urusan kami masing-masing. Seperti halnya dia juga tak bisa mencampuri urusan saya di negeri ini..."
"Hmmm...semacam otonomi suatu pemerintahan he....?
"Begitulah..."
"Bagaimana kalau dia kita undang ke mari untuk minum-minum..."
"Itu urusan Kapitenlah".
"Tapi kita ingin Pandeka Sangek sampaikan kita punya undangan..."
"Maaf, banyak kerja saya yang lain..."
"Pandeka tak menghargai persahabatan kita..."
"Apakah persahabatan yang tuan maksudkan adalah agar saya membujuk adik seperguruan saya kemari, lalu tuan tangkap dan tuan bunuh. Begitu persahabatan yang tuan inginkan?"
Muka Kapiten itu jadi merah Padan mendengar pertanyaan yang nyata-nyata berupa tantangan ini.
Mereka saling tatap. Pandeka Sangek, yang sudah sebulan tak muncul sejak perkelahiannya dengan Si Giring-giring Perak di Rimba Silaing itu, kini membalas tatapan Kapten Belanda itu
tanpa berkedip. Dia sudah lama juga merasa muak akan Belanda-Belanda di negerinya ini. Soalnya bukan karena mereka merasa di jajah. Tapi mereka merasa kekuasaan mereka untuk ber-mahasirajalela jadi berkurang. Inilah yang membuat mereka tak sedap hati.
Kapiten ini mau saja melampang dan menangkap inlander busuk itu. Tapi dia tahu, inlander yang seorang ini punya ikutan yang banyak. Terdiri dari pesilat-pesilat tangguh. Sementara mereka hanya dua belas orang di Kebun Sikolos ini. Salah-salah perhitungan, bisa habis serdadunya di sembelih Pandeka ini.
Dengan perhitungan begitu, Kapiten tersebut terpaksa menahan berangnya. Tapi tak urung dia menyumpah-nyumpah dalam bahasa nenek moyangnya yang tak diketahui oleh Pandeka Sangek. Dan Kapiten ini lalu menukar siasat, dia menanyakan berapa kekuatan anak buah Gampo Bumi di Bukit Tambun Tulang itu.
"Saya tak tahu..."jawab Pandeka.
"Tapi bukankah di Bukit Keparat itu kamu orang belajar silat dulu?"
"Bukan Bukit keparat. Tapi Bukit Tambun Tulang..."
"Persetan dengan Tambun Tulang atau Tambun Taik, saya ingin tahu berapa anak buah si Gampo Taik itu..."bentak Kapiten itu mulai berang.
Pandeka Sangek timbul harga dirinya. Dia tak senang bangsa asing ini membentak bentak dirinya di negerinya sendiri pula. Dia tegak, dan dengan sikap menantang lalu bicara :"Tuan ingin tahu jumlah mereka disana?""Ya. Berapa jumlah mereka, dan dimana mereka berdiam di rimba itu..."
"Datang sendiri kesana, dan tanyakan pada Gampo Bumi!" Sehabis berkata begini Pandeka Sangek dan si Pitok melangkah keluar.
"Godverdomm...!! Anjing, kendik, beruk, kentut. Kentut kowe!"
Kapten itu memaki dan bercarut bungkang. Tapi dia mempergunakan bahasa Belanda. Dan karena dia berbahasa Belanda. Pandeka tidak tahu bahwa dia dikatakan anjing, kendik, beruk dan kentut. Pandeka itu tetap saja meluncur pergi. Masuk ke pasar Kebun Sikolos. Di Depan orang menjual lemang dia berhenti. Mengambil sebatang Lemang. Memotong nya dengan keris. Kemudian memakan sekerat, dan yang sekerat lagi diberikannya pada si Pitok. Si Pitok anak buahnya ini memakan lemang yang setengah batang itu sambil berjalan.
Pemilik Lemang tak berani meminta duit. Karena setiap orang di Kebun Sikolos itu tahu siapa yang berjalan itu. Pandeka Sangek, yang siap menyangek apa-apa yang menghalanginya.
Tak Jauh dari tempat orang menjual lemang ia menendang tempayan orang yang berjualan cendol. Tempayan besar itu menghalangi jalannya.
Tempayan itu pecah. Cendolnya terbosai kemana-mana. Orang yang kena siram cendol, maupun pemiliknya tertekur diam tak bergerak.
"Kalau jualan jangan di tengah jalan. Mengerti waang he..?!" hardiknya pada tukang jual cendol.
"Ya om...!"
"Apa! Siapa yang waang panggil Om he ?!"
Dan seiring pertanyaan itu tangannya bekerja.
Dia membuat pekerjaan tangan di pipi si tukang jual cendol yang terlanjur memanggil dengan sebutan Om itu.
"Ampun pak...ampun pak. Awak silap..."
"Siapa bapak waang. Pebila saya kawin dengan emak waang makanya saya waang sebut bapak he?!" Dan kembali dia membuat pekerjaan tangan. Pandeka ini memang orang yang rajin membuat pekerjaan tangan bila dia sesekali ke balai.
Penjual cendol itu tak bicara lagi. Dia lebih baik diam daripada mendapat pekerjaan tangan terus menerus. Dan diam memang jalan yang aman baginya.
Pandeka itu berjalan lagi meninggalkan tempayan cendol yang pecah dan muka penjualnya yang ada sidik jarinya.
***********
terbosai = terserak tertekur = tertunduk kendik = babi hutan, celeng
TAMAT
Sang Pengembara
Jumat, 20 Agustus 2010
Giring Giring Perak : Episode 24 - Kampung Darurat Hutan Silaing
Hutan itu sepi!
Namun tak seorangpun yang berani meninggalkan tempat mereka tegak. Semua makin waspa-da. Sudah beberapa kali nyawa mereka hampir melayang karena hujaman tombak dari tempat gelap. Si Giring-Giring Perak mendengarkan dengan teliti setiap bunyi dan gerak dalam rimba itu dengan telinganya yang amat tajam.
Namun tak ada yang bersuara mencurigakan. Aneh, ke mana orang-orang itu? Tiba-tiba terdengar suara:
"Ilmu sanak memang tangguh. Tapi pertarung-an kita belum selesai. Ingatlah, suatu hari kelak, sanak akan mati di tangan salah satu dari 3 orang seperguruan Tambun Tulang....."
Suara itu jelas suara Pandeka Sangek. Dan dari suaranya saja dapat diketahui bahwa dia telah berada jauh dari hutan itu. Suaranya dia kirimkan dengan mempergunakan tenaga bathin.
Datuk sipasan menarik napas lega. Siti Nilam menghambur ke arah Si Giring-Giring Perak.
Dia menghapus bekas darah di mulut anak muda itu dengan ujung selendangnya. Sebagai pesilat dia tahu, tangan kanan anak muda itu lumpuh dan harus dirawat.
"Tangan uda cedera...." katanya perlahan. Anak muda itu mengangguk tapi mulutnya ter-senyum.
Rombongan Datuk Sipasan mengelilingi anak muda itu.
"Terima kasih. Sekali lagi anda menolong nyawa kami. Sementara belum satupun yang bisa kami perbuat untuk menolong anda...." Datuk Sipasan berkata perlahan.
"Tak usah dipikirkan hal itu Datuk. Hari mungkin sudah hampir pagi. Ada baiknya kita kubur jenazah teman-teman yang meninggal..."
"Ya. Ya... saya rasa itulah yang harus kita la-kukan..."
Tiga orang di antara mereka kembali ke rumah Datuk itu di Silaing. Mengambil cangkul dan linggis. Lalu mereka menggali kuburan. Pekerjaan itu dihentikan tatkala subuh datang. Mereka sembah-yang subuh bersama.
Dan setelah pagi, barulah pekerjaan menguburkan keempat korban itu selesai.
Sementara korban di pihak Pandeka Sangek mereka kuburkan dalam sebuah lobang panjang. Yang penting jenazah mereka harus dikubur. Mereka bermusuhan ketika masih hidup. Tapi setelah tubuhnya jadi mayat. maka kewajiban yang hidup menyelenggarakannya. Demikian ajaran yang dibawa oleh Islam yang baru masuk ke Minangkabau saat itu. Jumlah pemeluknya masih terbatas sekali.
"Nah, bagaimana kini Datuk? Apakah akan meneruskan perjalanan memintas hutan ini meninggalkan Silaing atau kembali ke silaing."
Tan Teno yang luka oleh lemparan senjata rahasia Pandeka Sangek tadi bertanya setelah mereka terduduk kelelahan bekerja sekerat malam itu.
Hujan telah berhenti. Perempuan-perempuan mengumpulkan ranting yang kering. Kemudian membuat api. Tak begitu sulit membuat api. Karena ada sepuluh suluh dari damar yang masih menyala di tinggalkan anak buah Pandeka Sangek.
Bungkusaii-bungkusan yang sedianya akan di bawa mengungsi segera dibuka.
Sedikit perbekalan yang ada di dalamnya, sebagai bekal untuk melarikan diri selama memintas hutan menjelang sampai ke Balingka mereka keluarkan.
Ada goreng pisang yang telah dingin. Dan itu dibagikan. Ada nasi bungkus yang dimasak sore. Itu juga dibagikan. Nasi bungkus dengan sambal lado pakai belacan dan dendeng panggang. Sementara mereka menyuap nasi, kopi yang dijerang oleh Siti Nilam dan isteri Datuk Sipasan masak pula
Hutan Silaing di mana mereka berada itu menjadi semacam perkampungan darurat. Anak-anak pada main panjat-panjatan di batang kayu yang malam tadi rubuh oleh pukulan Pandeka Sangek.
Datuk Sipasan tak segera menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya oleh Tan Teno itu. Dia mengedarkan pandangan matanya pada rombongannya.
Isteri Lebak Tuah yang kematian suami malam tadi, kelihatan memeluk anaknya yang berumur dua tahun. Anak-anak Rukayah yang kematian ibu kelihatan berada dalam pelukan ayahnya yang masih belum sembuh benar dari luka-luka ketika bertempur di Bukit Tambun Tulang.
Pemandangan di hutan itu amat memilukan hati. Si Giring-Giririg Perak sudah sejak tadi memperhatikan anak-anak yatim itu. Dia merasa hati-nya amat hiba. Bagi yang kematian ibu, alangkah sepinya hidup mereka. Hidup tanpa ibu seperti anak-anak lain. Yang sepanjang hari menyanyikan dengan lagi kasih. Yang sepanjang hari menyuap-kan nasi dan membuaikan dengan dendang sayang.
Bagi yang kematian ayah, siapa lagi yang akan mencarikan mereka nafkah? Apalagi hidup dalam zaman Minangkabau yang keras dan hampir-hampir tak beradab seperti saat ini? Dia merasa hiba meli-hat nasib anak-anak itu. Dan karenanya dia menye-sali dirinya, kenapa dia harus terlambat datang malam tadi.
Kenapa dia harus berhenti dulu di kedai di Kebun Sikolos untuk makan ketan dan durian. Bukankah kalau dia terus saja ke Silaing barangkali dia akan dapat menolong mereka dari kematian.
Namun kematian di tangan Tuhan. Begitu di-ajarkan dalam Islam. Barangkali memang sudah suratan mereka untuk mati hari ini. Pikiran anak muda itu berperang dan saling jawab. Tapi, meski-pun kematian memang telah ditakdirkan, yang jelas, nasib anak-anak tanpa ayah dan ibu itu amat mengharukan. Dan tiba-tiba dia teringat nasib dirinya. Mereka masih akan mengenal salah seorang dari orang tuanya. Dan kalaupun kedua orang tuanya hari ini meninggal, masih akan ada orang yang akan menceritakan siapa orang tuanya. Di mana kuburnya, apa sebab kematiannya. Dan di mana tumpak kampung halaman mereka. Mereka lebih mujur dari diriku. bisik hatinya.
Di mana orang tuaku kini? masih hidup atau sudah mati?. Kalau mereka mati, di mana kubur-annya. Apa penyebabnya. Di mana kampung halarhanku. Tanpa sengaja dia menjangkau giring-giring di kakinya. Memegangnya. Dan menjentikannya dengan jari perlahan. Terdengar suara berdering perlahan. Siti Nilam sejak tadi memperhatikan tingkah anak muda ini" Dan dia seperti dapat membaca apa yang tengah dipikirkannya.
Gadis itu teringat pula pada nasibnya yang tak berayah dan tak beribu. Tapi aku lebih mujur dari dia, bisiknya pula. Aku masih mengenyam kasih sayang seorang ibu dan ayah. Masih mengenal mereka. Sedang dia sampai hari ini tak menge-tahui asal usulnya.
Berfikir begini, gadis itu membawa canting kopi ke dekat anak muda itu duduk. Kedatangan-nya seperti tak terlihat oleh Si Giring-Giring Perak.
Datuk Sipasan memperhatikan kedua anak muda itu dengan sudut matanya. Si Giring-Giring Perak duduk agak jauh dari rombongan itu.
"Tambah kopi uda,...?"
Anak muda itu terkejut.
Dia menoleh.dan melihat Nilam tegak di sisinya dengan canting kopi di tangan.
"Hm.... kopi? Ya..ya. Engkau yang memasak kopi ini Nilam....? Siti Nilam mengangguk.
Kemudian menuangkan kopi ke cangkir yang berada di tangan anak muda itu.
"Kau yang menumbuk kopi ini juga?"
Kembali Siti Nilam mengangguk.
"Tapi bukan aku sendiri. Kami menumbuknya bersama dua hari yang lalu di rumah Datuk Sipasan..."
"Hamm, kalian pandai membuat kopi...."
"Terimakasih uda..."
"Hei, apakah kalian akan kembali ke Silaing?"
"Itu yang belum diputuskan oleh Datuk..."
Mereka terdiam. Anak muda itu menghirup kopinya. Memandangi damar yang masih hidup dan pucat oleh sinar matahari, Alangkah berbedanya dengan malam tadi. Malam tadi damar itu menjadi pusat cahaya. Menerangi rimba ini.
Tapi kini mereka jadi tak berarti.
Datuk Sipasan batuk-batuk kecil, kemudian : berjalan menghampiri anak muda itu. "Ada yang ingin saya tanyakan..,." katanya perlahan. Siti Nilam arif, bahwa dia harus kembali ke tempatnya. Dia menghormati Datuk itu seperti ayah-nya sendiri. Dia melangkah ke tempat perempuan-perempuan duduk bersama anak-anak mereka.
"Teman-teman bertanya, apakah akan rneneruskan perjalanan di rimba ini menuju Balingka, atau kembali ke Silaing. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini Giring-Giring Perak?
Anak muda itu tak segera menjawab. Dia me-temparkan pandangan pada perempuan-perempuan dan anak-anak yang sedang makan. Kemudian pada lelaki yang tengah mengisap rokok nipah. Datuk Sipasan menoleh pula pada yang dipandang anak muda itu.
"Bagaimana pendapat Datuk sendiri?" .
"Terlalu sulit meneruskan perjalanan. Anak-anak dan lelaki yang luka. Akan kembali ke Silaing, bukannya hal yang mustahil kalau Pandeka Sangek menuntut balas setiap waktu...,"
"Apakah ada jalan lain?"
"Kemungkinan lain adalah tetap pindah dari Silaing. Mungkin ke Agam, Kamang atau Paga-juyung. Bergabung dengan teman-teman yang telah duluan ke sana. Tapi kita tidak mengikuti jalan hutan ini. Kita kembali ke Silaing dan menempuh n pedati biasa.
"Kalau memang akan pindah, ke mana tujuan Datuk?"
"Barangkali lebih baik ke Balingka...."
"Kenapa ke sana...."
"Dari situ dekat menghubungi teman-teman. Dekat menghubungi pemuka Islam di Kamang seperti Tuanku nan Renceh, Haji Piobang dan teman-temannya yang lain. Kemudian jika kekuat-an sudah terkumpul, jalan memintas dari sana cukup dekat untuk menggempur Belanda di Pariaman.
Dari Balingka naik menyelusuri pinggang Sing-galang akan sampai ke Malalak, turun terus ke sebelahnya, akan sampai ke sungai Limau, dan Pariaman...."
"Apakah niat untuk kembali menyerang Belanda itu tetap hams dilaksanakan?"
Datuk Sipasan memandang Si Giring-Giring Perak atas pertanyaan itu.
"Maaf. Maksud saya, apakah tidak boleh lebih baik menghindar dari Pariaman yang selalu keruh itu. Hidup dengan tenang bersama keluarga di daerah darat ini yang lebih tenang?"
Datuk Sipasan menghirup nafas. Panjang. Menatap pada perempuan dan anak-anak yang duduk di tengah rimba Silaing itu. Kemudian ber-kata perlahan: "Maafkan kalau penjelasan saya berikut ini melukai hatimu. Tapi ini hanya sebagai perbanding-an. Suatu saat kelak, bila engkau bertemu dengan ayah dan ibumu, atau kalau mereka telah mening-gal. Kemudian kau ketahui di mana kuburan mereka, pastilah engkau akan selalu ingin berziarah taip tahun ke kuburannya itu. Dan bila kelak kau ketahui di mana kampung halaman mu, sejauh-jauh engkau merantau, pastilah engkau teragak -untuk pulang. Meski tidak lagi ada sanak familimu di kampung itu. Meski tidak lagi ada yang mengenalmu di sana.
Namun kerinduan pada kampung halaman, adalah kerinduan setiap manusia akan negeri asal-nya. Kini, negeri kami itu diserang bangsa lain. Diserang oleh Belanda, mereka ingin menguasai negeri, merubah agama kami, mencemarkan gadis dan perempuan kami, kenapa kami tidak berniat untuk membelanya?
Di negeri itu sudah cukup banyak darah ter-tumpah. Semula kami tidak beragama. Ada agama Hindu tapi sudah ditinggalkan orang. Sebagian besar penduduk di sana lebih senang berjudi, minum tuak, main perempuan dan saling membunuh karena harta pusaka. Keadaan begitu berlangsung terus sampai sepuluh tahun yang lalu. Saat itu datang ke negeri kami pedagang-pedagang dari Aceh. Dan dari mereka, kami menge-nal Islam. Dan dari Islam kami mengetahui mana yang buruk mana yang baik.
Tak ada yang memaksa kami masuk agama itu. Siapa yang suka boleh masuk. Yang tidak boleh melanjutkan kepercayaan masing-masing. Namun enam tahun yang lalu, keadaan mulai berubah. Banyak kaum bangsawan atau orang biasa yang tak senang pada Islam. Karena terlalu banyak membatasi dan terlalu banyak mencampuri urusan dunia. Terjadi pertentangan.
Perkelahian terjadi antara orang Islam dari Aceh dengan penduduk Pariaman yang tidak Islam. Dan kaum bangsawan Pariaman meminta bantuan ke pulau Cingkuk pada bangsa Belanda yang ada di sana.
Jika perkelahian itu hanya antara sesama bangsa melayu, kami takkan sampai menyingkir. Tapi karena sudah diikut sertakan bangsa asing, kami tak bisa berpangku tangan. Kami harus ber-pihak. Dan kami berpihak pada Islam, agama kami. Tapi kekuatan kami tak berimbang dengan Belanda dan orang kampung yang berpihak padanya. Kami sepakat dengan orang
Aceh untuk sama-sama menyingkir dari Pariaman. Mereka kembali ke Aceh, meminta bantuan pada Sultan Iskandar Syah dan kami mencari bantuan ke Luhak yang Tiga di darat ini. Kami tidak berniat menguasai negeri itu. Kami hanya ingin menyelamatkan kampung halaman kami. Di sana banyak anak kemenakan kami yang harus kami selamatkan. Nan, itulah semuanya, Kerinduan kami pada kampung halaman, bukan hanya sekedar rindu untuk pulang. Tetapi berbaur dengan kerinduan untuk menegakkan keadilan dan menyiarkan agama Allah di negeri yang telah ratusan tahun diperbudak jahilliah itu. Sekali lagi saya harap engkau tidak merasa tersinggung karena saya menyebut-nyebut tentang asal usul, Tentang kerinduan pada kampung.
Saya tidak bermaksud melukai hatimu, Hanya ingin memberikan penjelasan kenapa kami harus pergi dari sana. Kenapa kami harus mencari bantuan. Dan kenapa kami harus kembali lagi ke kampung itu.
Memang benar seperti yang engkau katakan, sebenarnya lebih baik kami hidup dengan tenang bersama keluarga di Luhak nan Tiga ini. Jauh dari kerusuhan. Jauh dari huru hara.
Tapi bukankah hidup berkampung menjaga kampung, bernagari menjaga nagari? Lagi pula kedamaian itu di mana-mana bisa ada. Sebaliknya kerusuhan juga di mana-mana bisa ada.
Luhak Nan Tiga ini misalnya, nampaknya juga tak aman. Cobalah lihat, di Bukit Tambun Tulang saja kita dihadang oleh penyamun. Di sini juga dihadang oleh Pandeka Sangek. Dan siapa pula yang menga-takan bahwa Belanda yang sudah ratusan tahun di sini tidak mendatangkan kerusuhan bagi penduduk pribumi?
Kerusuhan bisa datang di mana-mana. Daripada hidup dalam kerusan di negeri orang, lebih baik inati di kampung halaman. Begitu adat kita orang .Minang......"
Datuk Sipasan berhenti. Dia khawatir. kalau dia meneruskan juga ucapannya, anak muda itu benar-benar akan merasa tersinggung. Para lelaki yang lain, dan kaum perempuan dari Piaman yang duduk tak jauh dari mereka pada terdiam mendengar pembicaraan itu. Menatap pada mereka dengan tegang.
Si Giring-Giring Perak menunduk diam. "Maaf. Saya benar-benar tak bermaksud melukai hatimu...." "Tidak. Tidak. Saya tak tersinggung. Saya tengah memikirkan, bahwa apa yang Datuk katakan itu adalah kebenaran belaka adanya. Dan saya juga berflkir bahwa tugas menghalau Belanda dari Pariaman sebenarnya bukan hanya tugas Datuk dan teman-teman Datuk saja. Itu adalah tugas seluruh orang Minangkabau. Dan kalau semua orang Minangkabau merasa bahwa itu sebagai ancaman, maka semua orang yang beragama Islam hendaknya membantuDatuk. Saya sendiri, kalau tiba masanya Datuk menyerang ke Pariaman nanti, kalau umur panjang Insya Allah akan membantu, mudah-mudahan ada gunanya...."
Datuk itu tertegak mendengar ucapan ini.
"Apakah saya tak salah dengar... Engkau mau membantu kami untuk mengusir Belanda dari Pariaman?"
"Kenapa Datuk harus sangsi. Minangkabau adalah negeri saya. Meski kelak saya tak tahu di mana kampung halaman tempat darah saya ter-tumpah, namun Negeri ini adalah negeri nenek moyang saya. Saya akan berusaha membantu penduduk yang mendapat kesusahan. Jika itu diizinkan Tuhan. Bukankah saya juga seorang Muslim?"
"Ya Allah ya Tuhan, kabulkan permintaan anak muda ini. Kabulkan pula doa kami, agar dia selamat sejahtera, agar dia bertemu dengan kedua orang tuanya. Agar dia membantu kami memerangi musuh-musuhMu. Agar dia dan kami sama-sama dapat berperang demi menegakkan AgamaMu..,...!" Datuk Sipasan berseru dan berdoa dalam rimba Silaing itu. Semua lelaki dan perempuan yang hadir di sana pada tegak dan menampungkan tangan. Dan meng Amin kan doa Datuk itu. Datuk itu kemudian memeluk anak muda ter-sebut. Kemudian berpaling pada temantemannya. Terdengar suaranya serak:
"Kawan-kawan, Tuhan telah menemukan kita dengan anak muda ini. Dan Tuhan telah menunjuk-nya untuk berperang bersama kita kelak di Pariaman. Mari kita syukuri hal ini dengan membacakan Al Fatihah....." Semua mereka membaca ayat itu dalam hati. Siti Nilam meneteskan air mata. Beberapa perem-paun juga meneteskan air mata. Bahkan Datuk Sipasan dan lelaki-lelaki dari Piaman itu juga pada menitikkan air mata syukur dari terharu.
Si Giring-Giring Perak akan bersama mereka dalam menyerang di Pariaman. Bayangkan! Seorang anak muda berilmu tinggi. Yang mengalah-kan Gampo Bumi dan Pandeka Sangek. Yang berkuasa di Bukit Tambun Tulang dan Gunung Rajo Tuhan benar-benar Maha Kuasa.
Namun tak seorangpun yang berani meninggalkan tempat mereka tegak. Semua makin waspa-da. Sudah beberapa kali nyawa mereka hampir melayang karena hujaman tombak dari tempat gelap. Si Giring-Giring Perak mendengarkan dengan teliti setiap bunyi dan gerak dalam rimba itu dengan telinganya yang amat tajam.
Namun tak ada yang bersuara mencurigakan. Aneh, ke mana orang-orang itu? Tiba-tiba terdengar suara:
"Ilmu sanak memang tangguh. Tapi pertarung-an kita belum selesai. Ingatlah, suatu hari kelak, sanak akan mati di tangan salah satu dari 3 orang seperguruan Tambun Tulang....."
Suara itu jelas suara Pandeka Sangek. Dan dari suaranya saja dapat diketahui bahwa dia telah berada jauh dari hutan itu. Suaranya dia kirimkan dengan mempergunakan tenaga bathin.
Datuk sipasan menarik napas lega. Siti Nilam menghambur ke arah Si Giring-Giring Perak.
Dia menghapus bekas darah di mulut anak muda itu dengan ujung selendangnya. Sebagai pesilat dia tahu, tangan kanan anak muda itu lumpuh dan harus dirawat.
"Tangan uda cedera...." katanya perlahan. Anak muda itu mengangguk tapi mulutnya ter-senyum.
Rombongan Datuk Sipasan mengelilingi anak muda itu.
"Terima kasih. Sekali lagi anda menolong nyawa kami. Sementara belum satupun yang bisa kami perbuat untuk menolong anda...." Datuk Sipasan berkata perlahan.
"Tak usah dipikirkan hal itu Datuk. Hari mungkin sudah hampir pagi. Ada baiknya kita kubur jenazah teman-teman yang meninggal..."
"Ya. Ya... saya rasa itulah yang harus kita la-kukan..."
Tiga orang di antara mereka kembali ke rumah Datuk itu di Silaing. Mengambil cangkul dan linggis. Lalu mereka menggali kuburan. Pekerjaan itu dihentikan tatkala subuh datang. Mereka sembah-yang subuh bersama.
Dan setelah pagi, barulah pekerjaan menguburkan keempat korban itu selesai.
Sementara korban di pihak Pandeka Sangek mereka kuburkan dalam sebuah lobang panjang. Yang penting jenazah mereka harus dikubur. Mereka bermusuhan ketika masih hidup. Tapi setelah tubuhnya jadi mayat. maka kewajiban yang hidup menyelenggarakannya. Demikian ajaran yang dibawa oleh Islam yang baru masuk ke Minangkabau saat itu. Jumlah pemeluknya masih terbatas sekali.
"Nah, bagaimana kini Datuk? Apakah akan meneruskan perjalanan memintas hutan ini meninggalkan Silaing atau kembali ke silaing."
Tan Teno yang luka oleh lemparan senjata rahasia Pandeka Sangek tadi bertanya setelah mereka terduduk kelelahan bekerja sekerat malam itu.
Hujan telah berhenti. Perempuan-perempuan mengumpulkan ranting yang kering. Kemudian membuat api. Tak begitu sulit membuat api. Karena ada sepuluh suluh dari damar yang masih menyala di tinggalkan anak buah Pandeka Sangek.
Bungkusaii-bungkusan yang sedianya akan di bawa mengungsi segera dibuka.
Sedikit perbekalan yang ada di dalamnya, sebagai bekal untuk melarikan diri selama memintas hutan menjelang sampai ke Balingka mereka keluarkan.
Ada goreng pisang yang telah dingin. Dan itu dibagikan. Ada nasi bungkus yang dimasak sore. Itu juga dibagikan. Nasi bungkus dengan sambal lado pakai belacan dan dendeng panggang. Sementara mereka menyuap nasi, kopi yang dijerang oleh Siti Nilam dan isteri Datuk Sipasan masak pula
Hutan Silaing di mana mereka berada itu menjadi semacam perkampungan darurat. Anak-anak pada main panjat-panjatan di batang kayu yang malam tadi rubuh oleh pukulan Pandeka Sangek.
Datuk Sipasan tak segera menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya oleh Tan Teno itu. Dia mengedarkan pandangan matanya pada rombongannya.
Isteri Lebak Tuah yang kematian suami malam tadi, kelihatan memeluk anaknya yang berumur dua tahun. Anak-anak Rukayah yang kematian ibu kelihatan berada dalam pelukan ayahnya yang masih belum sembuh benar dari luka-luka ketika bertempur di Bukit Tambun Tulang.
Pemandangan di hutan itu amat memilukan hati. Si Giring-Giririg Perak sudah sejak tadi memperhatikan anak-anak yatim itu. Dia merasa hati-nya amat hiba. Bagi yang kematian ibu, alangkah sepinya hidup mereka. Hidup tanpa ibu seperti anak-anak lain. Yang sepanjang hari menyanyikan dengan lagi kasih. Yang sepanjang hari menyuap-kan nasi dan membuaikan dengan dendang sayang.
Bagi yang kematian ayah, siapa lagi yang akan mencarikan mereka nafkah? Apalagi hidup dalam zaman Minangkabau yang keras dan hampir-hampir tak beradab seperti saat ini? Dia merasa hiba meli-hat nasib anak-anak itu. Dan karenanya dia menye-sali dirinya, kenapa dia harus terlambat datang malam tadi.
Kenapa dia harus berhenti dulu di kedai di Kebun Sikolos untuk makan ketan dan durian. Bukankah kalau dia terus saja ke Silaing barangkali dia akan dapat menolong mereka dari kematian.
Namun kematian di tangan Tuhan. Begitu di-ajarkan dalam Islam. Barangkali memang sudah suratan mereka untuk mati hari ini. Pikiran anak muda itu berperang dan saling jawab. Tapi, meski-pun kematian memang telah ditakdirkan, yang jelas, nasib anak-anak tanpa ayah dan ibu itu amat mengharukan. Dan tiba-tiba dia teringat nasib dirinya. Mereka masih akan mengenal salah seorang dari orang tuanya. Dan kalaupun kedua orang tuanya hari ini meninggal, masih akan ada orang yang akan menceritakan siapa orang tuanya. Di mana kuburnya, apa sebab kematiannya. Dan di mana tumpak kampung halaman mereka. Mereka lebih mujur dari diriku. bisik hatinya.
Di mana orang tuaku kini? masih hidup atau sudah mati?. Kalau mereka mati, di mana kubur-annya. Apa penyebabnya. Di mana kampung halarhanku. Tanpa sengaja dia menjangkau giring-giring di kakinya. Memegangnya. Dan menjentikannya dengan jari perlahan. Terdengar suara berdering perlahan. Siti Nilam sejak tadi memperhatikan tingkah anak muda ini" Dan dia seperti dapat membaca apa yang tengah dipikirkannya.
Gadis itu teringat pula pada nasibnya yang tak berayah dan tak beribu. Tapi aku lebih mujur dari dia, bisiknya pula. Aku masih mengenyam kasih sayang seorang ibu dan ayah. Masih mengenal mereka. Sedang dia sampai hari ini tak menge-tahui asal usulnya.
Berfikir begini, gadis itu membawa canting kopi ke dekat anak muda itu duduk. Kedatangan-nya seperti tak terlihat oleh Si Giring-Giring Perak.
Datuk Sipasan memperhatikan kedua anak muda itu dengan sudut matanya. Si Giring-Giring Perak duduk agak jauh dari rombongan itu.
"Tambah kopi uda,...?"
Anak muda itu terkejut.
Dia menoleh.dan melihat Nilam tegak di sisinya dengan canting kopi di tangan.
"Hm.... kopi? Ya..ya. Engkau yang memasak kopi ini Nilam....? Siti Nilam mengangguk.
Kemudian menuangkan kopi ke cangkir yang berada di tangan anak muda itu.
"Kau yang menumbuk kopi ini juga?"
Kembali Siti Nilam mengangguk.
"Tapi bukan aku sendiri. Kami menumbuknya bersama dua hari yang lalu di rumah Datuk Sipasan..."
"Hamm, kalian pandai membuat kopi...."
"Terimakasih uda..."
"Hei, apakah kalian akan kembali ke Silaing?"
"Itu yang belum diputuskan oleh Datuk..."
Mereka terdiam. Anak muda itu menghirup kopinya. Memandangi damar yang masih hidup dan pucat oleh sinar matahari, Alangkah berbedanya dengan malam tadi. Malam tadi damar itu menjadi pusat cahaya. Menerangi rimba ini.
Tapi kini mereka jadi tak berarti.
Datuk Sipasan batuk-batuk kecil, kemudian : berjalan menghampiri anak muda itu. "Ada yang ingin saya tanyakan..,." katanya perlahan. Siti Nilam arif, bahwa dia harus kembali ke tempatnya. Dia menghormati Datuk itu seperti ayah-nya sendiri. Dia melangkah ke tempat perempuan-perempuan duduk bersama anak-anak mereka.
"Teman-teman bertanya, apakah akan rneneruskan perjalanan di rimba ini menuju Balingka, atau kembali ke Silaing. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini Giring-Giring Perak?
Anak muda itu tak segera menjawab. Dia me-temparkan pandangan pada perempuan-perempuan dan anak-anak yang sedang makan. Kemudian pada lelaki yang tengah mengisap rokok nipah. Datuk Sipasan menoleh pula pada yang dipandang anak muda itu.
"Bagaimana pendapat Datuk sendiri?" .
"Terlalu sulit meneruskan perjalanan. Anak-anak dan lelaki yang luka. Akan kembali ke Silaing, bukannya hal yang mustahil kalau Pandeka Sangek menuntut balas setiap waktu...,"
"Apakah ada jalan lain?"
"Kemungkinan lain adalah tetap pindah dari Silaing. Mungkin ke Agam, Kamang atau Paga-juyung. Bergabung dengan teman-teman yang telah duluan ke sana. Tapi kita tidak mengikuti jalan hutan ini. Kita kembali ke Silaing dan menempuh n pedati biasa.
"Kalau memang akan pindah, ke mana tujuan Datuk?"
"Barangkali lebih baik ke Balingka...."
"Kenapa ke sana...."
"Dari situ dekat menghubungi teman-teman. Dekat menghubungi pemuka Islam di Kamang seperti Tuanku nan Renceh, Haji Piobang dan teman-temannya yang lain. Kemudian jika kekuat-an sudah terkumpul, jalan memintas dari sana cukup dekat untuk menggempur Belanda di Pariaman.
Dari Balingka naik menyelusuri pinggang Sing-galang akan sampai ke Malalak, turun terus ke sebelahnya, akan sampai ke sungai Limau, dan Pariaman...."
"Apakah niat untuk kembali menyerang Belanda itu tetap hams dilaksanakan?"
Datuk Sipasan memandang Si Giring-Giring Perak atas pertanyaan itu.
"Maaf. Maksud saya, apakah tidak boleh lebih baik menghindar dari Pariaman yang selalu keruh itu. Hidup dengan tenang bersama keluarga di daerah darat ini yang lebih tenang?"
Datuk Sipasan menghirup nafas. Panjang. Menatap pada perempuan dan anak-anak yang duduk di tengah rimba Silaing itu. Kemudian ber-kata perlahan: "Maafkan kalau penjelasan saya berikut ini melukai hatimu. Tapi ini hanya sebagai perbanding-an. Suatu saat kelak, bila engkau bertemu dengan ayah dan ibumu, atau kalau mereka telah mening-gal. Kemudian kau ketahui di mana kuburan mereka, pastilah engkau akan selalu ingin berziarah taip tahun ke kuburannya itu. Dan bila kelak kau ketahui di mana kampung halaman mu, sejauh-jauh engkau merantau, pastilah engkau teragak -untuk pulang. Meski tidak lagi ada sanak familimu di kampung itu. Meski tidak lagi ada yang mengenalmu di sana.
Namun kerinduan pada kampung halaman, adalah kerinduan setiap manusia akan negeri asal-nya. Kini, negeri kami itu diserang bangsa lain. Diserang oleh Belanda, mereka ingin menguasai negeri, merubah agama kami, mencemarkan gadis dan perempuan kami, kenapa kami tidak berniat untuk membelanya?
Di negeri itu sudah cukup banyak darah ter-tumpah. Semula kami tidak beragama. Ada agama Hindu tapi sudah ditinggalkan orang. Sebagian besar penduduk di sana lebih senang berjudi, minum tuak, main perempuan dan saling membunuh karena harta pusaka. Keadaan begitu berlangsung terus sampai sepuluh tahun yang lalu. Saat itu datang ke negeri kami pedagang-pedagang dari Aceh. Dan dari mereka, kami menge-nal Islam. Dan dari Islam kami mengetahui mana yang buruk mana yang baik.
Tak ada yang memaksa kami masuk agama itu. Siapa yang suka boleh masuk. Yang tidak boleh melanjutkan kepercayaan masing-masing. Namun enam tahun yang lalu, keadaan mulai berubah. Banyak kaum bangsawan atau orang biasa yang tak senang pada Islam. Karena terlalu banyak membatasi dan terlalu banyak mencampuri urusan dunia. Terjadi pertentangan.
Perkelahian terjadi antara orang Islam dari Aceh dengan penduduk Pariaman yang tidak Islam. Dan kaum bangsawan Pariaman meminta bantuan ke pulau Cingkuk pada bangsa Belanda yang ada di sana.
Jika perkelahian itu hanya antara sesama bangsa melayu, kami takkan sampai menyingkir. Tapi karena sudah diikut sertakan bangsa asing, kami tak bisa berpangku tangan. Kami harus ber-pihak. Dan kami berpihak pada Islam, agama kami. Tapi kekuatan kami tak berimbang dengan Belanda dan orang kampung yang berpihak padanya. Kami sepakat dengan orang
Aceh untuk sama-sama menyingkir dari Pariaman. Mereka kembali ke Aceh, meminta bantuan pada Sultan Iskandar Syah dan kami mencari bantuan ke Luhak yang Tiga di darat ini. Kami tidak berniat menguasai negeri itu. Kami hanya ingin menyelamatkan kampung halaman kami. Di sana banyak anak kemenakan kami yang harus kami selamatkan. Nan, itulah semuanya, Kerinduan kami pada kampung halaman, bukan hanya sekedar rindu untuk pulang. Tetapi berbaur dengan kerinduan untuk menegakkan keadilan dan menyiarkan agama Allah di negeri yang telah ratusan tahun diperbudak jahilliah itu. Sekali lagi saya harap engkau tidak merasa tersinggung karena saya menyebut-nyebut tentang asal usul, Tentang kerinduan pada kampung.
Saya tidak bermaksud melukai hatimu, Hanya ingin memberikan penjelasan kenapa kami harus pergi dari sana. Kenapa kami harus mencari bantuan. Dan kenapa kami harus kembali lagi ke kampung itu.
Memang benar seperti yang engkau katakan, sebenarnya lebih baik kami hidup dengan tenang bersama keluarga di Luhak nan Tiga ini. Jauh dari kerusuhan. Jauh dari huru hara.
Tapi bukankah hidup berkampung menjaga kampung, bernagari menjaga nagari? Lagi pula kedamaian itu di mana-mana bisa ada. Sebaliknya kerusuhan juga di mana-mana bisa ada.
Luhak Nan Tiga ini misalnya, nampaknya juga tak aman. Cobalah lihat, di Bukit Tambun Tulang saja kita dihadang oleh penyamun. Di sini juga dihadang oleh Pandeka Sangek. Dan siapa pula yang menga-takan bahwa Belanda yang sudah ratusan tahun di sini tidak mendatangkan kerusuhan bagi penduduk pribumi?
Kerusuhan bisa datang di mana-mana. Daripada hidup dalam kerusan di negeri orang, lebih baik inati di kampung halaman. Begitu adat kita orang .Minang......"
Datuk Sipasan berhenti. Dia khawatir. kalau dia meneruskan juga ucapannya, anak muda itu benar-benar akan merasa tersinggung. Para lelaki yang lain, dan kaum perempuan dari Piaman yang duduk tak jauh dari mereka pada terdiam mendengar pembicaraan itu. Menatap pada mereka dengan tegang.
Si Giring-Giring Perak menunduk diam. "Maaf. Saya benar-benar tak bermaksud melukai hatimu...." "Tidak. Tidak. Saya tak tersinggung. Saya tengah memikirkan, bahwa apa yang Datuk katakan itu adalah kebenaran belaka adanya. Dan saya juga berflkir bahwa tugas menghalau Belanda dari Pariaman sebenarnya bukan hanya tugas Datuk dan teman-teman Datuk saja. Itu adalah tugas seluruh orang Minangkabau. Dan kalau semua orang Minangkabau merasa bahwa itu sebagai ancaman, maka semua orang yang beragama Islam hendaknya membantuDatuk. Saya sendiri, kalau tiba masanya Datuk menyerang ke Pariaman nanti, kalau umur panjang Insya Allah akan membantu, mudah-mudahan ada gunanya...."
Datuk itu tertegak mendengar ucapan ini.
"Apakah saya tak salah dengar... Engkau mau membantu kami untuk mengusir Belanda dari Pariaman?"
"Kenapa Datuk harus sangsi. Minangkabau adalah negeri saya. Meski kelak saya tak tahu di mana kampung halaman tempat darah saya ter-tumpah, namun Negeri ini adalah negeri nenek moyang saya. Saya akan berusaha membantu penduduk yang mendapat kesusahan. Jika itu diizinkan Tuhan. Bukankah saya juga seorang Muslim?"
"Ya Allah ya Tuhan, kabulkan permintaan anak muda ini. Kabulkan pula doa kami, agar dia selamat sejahtera, agar dia bertemu dengan kedua orang tuanya. Agar dia membantu kami memerangi musuh-musuhMu. Agar dia dan kami sama-sama dapat berperang demi menegakkan AgamaMu..,...!" Datuk Sipasan berseru dan berdoa dalam rimba Silaing itu. Semua lelaki dan perempuan yang hadir di sana pada tegak dan menampungkan tangan. Dan meng Amin kan doa Datuk itu. Datuk itu kemudian memeluk anak muda ter-sebut. Kemudian berpaling pada temantemannya. Terdengar suaranya serak:
"Kawan-kawan, Tuhan telah menemukan kita dengan anak muda ini. Dan Tuhan telah menunjuk-nya untuk berperang bersama kita kelak di Pariaman. Mari kita syukuri hal ini dengan membacakan Al Fatihah....." Semua mereka membaca ayat itu dalam hati. Siti Nilam meneteskan air mata. Beberapa perem-paun juga meneteskan air mata. Bahkan Datuk Sipasan dan lelaki-lelaki dari Piaman itu juga pada menitikkan air mata syukur dari terharu.
Si Giring-Giring Perak akan bersama mereka dalam menyerang di Pariaman. Bayangkan! Seorang anak muda berilmu tinggi. Yang mengalah-kan Gampo Bumi dan Pandeka Sangek. Yang berkuasa di Bukit Tambun Tulang dan Gunung Rajo Tuhan benar-benar Maha Kuasa.
Giring Giring Perak : Episode 23 - Silek Harimau Tambun Tulang
Siti Nilam sudah menangis meli-hat penderitaan anak muda itu. Pandeka Sangek pemgumpulkan pula tenaga batinnya. Menyalurkan ke kakinya yang linu dan lumpuh. Mereka tetap saling pandang. Kemudian terdengar suara anak muda itu perlahan:
"Silat Harimau sanak sangat sempurna... Saya benar-benar mendapat pelajaran yang berharga...." Pandeka Sangek tersenyum. Dia mengagumi anak muda itu. Dia yakin pujian itu bukan sekedar basa-basi. Tapi suatu kejujuran. "Tenaga dalammu juga sangat ampuh Giring-Giring Perak. Saya sampai tak bisa beranjak setelah engkau pukul..." Dia juga berkata jujur. "Ah, tendanganmu justru meremukkan belikat saya. Dan membuat luka dalam yang bisa merenggut nyawa..." Pandeka Sangek tertawa bergumam. "Kalau saja orang lain, yang kepandaiannya cukup tinggi yang kena seranganku tadi, saya jamin mati hanya karena tendangan itu. Saya yakin akan hal itu...." Teman-teman Datuk sipasan dan anak buah Pandeka Sangek mendengar dialog kedua orang ini dengan terheran-heran. Aneh, orang berkelahi, tapi mereka saling mengatakan celaka yang mereka alami akibat pukulan lawan. Bukankah hal itu berarti memberi tahu kepada lawan kelemahan kita sendiri ? Namun Datuk Sipasan arif, demikianlah cara pesilat-pesilat tangguh berkelahi. Dan saat itu, Pandeka itu sudah merasa kakinya kembali bisa digerakkan. Dia kembali meng-angkat kedua tangannya setinggi dada. Dari mulutnya terdengar geraman. Mukanya jadi keras. Kedua tangannya tiba-tiba terangkat tinggi dengan jari-jari membentuk cakar Harimau!. "Silat Harimau dari Tumbun Tulang!!"
Datuk Sipasan berseru. Dia sengaja berkata keras, agar didengar oleh Si Giring-Giring Perak. Dia ingin memberi ingat anak muda itu, bahwa berbeda dari serangan yang mematahkan bulang belikatnya tadi, silat Harimau yang dilancarkan Pandeka Sangek sekarang ini adalah asli Silat Harimau dari Tambun Tulang. Yaitu yang diajarkan oleh gurunya Harimau Tambun Tulang. Ilmu ini berbeda dengan Silat Harimau yang berkembang di Koto Anau Solok. Yang dari Koto Anau, adalah jurus yang dipergunakan ketika melambung dan menghantam belikatnya tadi. Si Giring-Giring Perak sendiri merasa bulu tengkuknya berdiri melihat mimik muka Pandeka Sangek yang menyeringai. Tangannya yang terentang seperti cakar harimau.
Anak-anak buah Pandeka itu sendiri pada melangkah surut melihat Pandeka Sangek. Mereka merasa 'ngeri. Seingat mereka, belum pernah Pandeka ini berkelahi mempergunakan ilmu silat ini, Ilmu ini merupakan semacam ilmu simpanannya. Kini dia mengeluarkan ilmunya itu, itu suatu pertanda bahwa lawan yang dia hadapi bukan sembarang lawan, Dan Pandeka ini berniat berkelahi hidup atau mati. Gerakannya tiba-tiba jadi gesit dan mantap. Dari mulutnya tiap sebentar terdengar geraman dengan dengus. Mirip suara harimau yang sedang berang. Pembuka langkah silat itu saja amat ber- , bahaya bila digunakan untuk menyerang. Hanya dalam beberapa gerak, Pandeka Sangek yang mirip harimau jadi-jadian itu sudah dua kali mengelilingi tubuh Si Giring-Giring Perak.
Datuk Sipasan, yang masih memegang tangan Siti Nilam ikut merasa ngeri melihat kejadian itu. Dia melepaskan tangan Siti Nilam. Gadis itu tertegak dengan diam melihat cara silat Pandeka yang aneh itu. Datuk Sipasan memegang hulu kerisnya. Dia memutuskan, bila dalam serangan pertama anak muda itu tak bergerak, berarti anak muda itu hams dibantu. Dan dia menyiapkan diri untuk berjuang sampai mati membela anak muda itu.
Karena bukankah anak muda itu sekarang sebenarnya berkelahi untuk menyelamatkan nyawa dia dan teman-temannya? Pandeka Sangek tiba-tiba merunduk rendah. Kedua tangannya mencekam tanah. Mulutnya mendengus. Matanya yang merah menatap lurus dan tajam pada tengkuk Si Giring-Giring Perak yang membelakanginya. Anak muda itu masih tetap diam tak bergerak. Matanya terpejam. Tangan kanannya tetap terkulai layu dan lumpuh. Mulutnya masih merah karena darah yang tadi dia muntahkan.
Dia yakin, lawannya menghendaki nyawanya. Dan itu rasanya sudah pantas dari pihak Tambun Tulang. Kalaupun dia yang menjadi Pandeka Sangek, kalau ada lebih dari selusin anak buahnya mati di tangan orang, maka orang itu harus mati pula di tangannya. Hukum karma di rimba persilatan. Dan kini, murid kedua Harimau Tambun Tulang itu menghendaki nyawanya. Terus terang harus dia akui, bahwa dengan mengandalkan jlmu silatnya saja, dia takkan berhasil menundukkan Pandeka Sangek, Ilmu Silek Tuo yang dia pelajari memang tinggi. Tetapi dia kalah dibanding Pandeka Sangek yang telah merancah dunia persilatan ini selama puluhan tahun.
Dan ilmu tanpa pengalaman bisa-bisa menyebabkan pemakainya celaka. Si Giring-Giring Perak maklum akan hal ini. Dia mengakui dan meng-agumi ketinggian ilmu si Sangek dari Gunung Rajo ini. Kalau dengan tubuh yang sehat walaffiat saja dia sudah kewalahan dan malah hampir celaka menghadapi Sangek, apalagi kini dalam keadaan luka dalamnya belum begitu sembuh, dan belikat kanannya retak dan tangan kanannya lumpuh. Kalau dia bertahan juga menggunakan ilmu silat tua itu, alamat dia segera akan menamatkan riwayat-nya di hutan Silaing ini.
Dengan kesimpulan demikian, anak muda itu lalu memutuskan untuk mengimbangi Silat Harimau Tambun Tulang itu dengan mengandalkan ilmu ringan tubuh dan tenaga dalamnya. Dan saat itu, Pandeka Sangek yang sudah mendekam beberapa saat dj tanah, persis seperti harimau akan menerkam mangsa, tiba-tiba meng-geram dahsyat. Saat berikutnya, kelihatan garis merah melayang ke arah Si Giring-Giring Perak. Itulah jurus 'tumpu Terkam", yang merupakan jurus pertama serangan silat Harimau itu.
Datuk Sipasan menahan nafas. Keterlambatan sedetik bisa menyebabkan nyawa melayang. Di saat garis merah yang ditimbulkan oleh warna baju Pandeka Sangek itu melayang, di saat itu pula garis putih melesat ke atas. Si Giring-Giring Perak melon cat tinggi tepat pada waktunya. Pandeka Sangek menerpa tempat kosong. Si Giring-Giring Perak tidak turun di tanah. Dia berpijak ke sebuah dahan dua depa dari tanah. Hanya ada dua detik saat berhenti bagi Pandeka Sangek, seketika dia kembali melambung dengan suara menggeram ke tempat anak muda itu. Kembali sedetik sebelum terpaan itu tiba, anak muda itu menggenjot tubuhnya, kemudian melambung kembali ke tanah.
Terdengar suara berderak tatkala cakar Pandeka itu menghantam kayu sepagutan orang dewasa di mana si Giring-Giring Perak tadi tegak
Kayu itu rengkah, kemudian dengan menim-bulkan suara hiruk, rubuh ke tanah!
"Bukan main... bukan main...!!" Datuk Sipasan menggeleng. Belum pernah dia melihat ilmu silat seperti itu. Dirinya terasa makin kecil. Padahal dia guru silat yang disegani di Pariaman.
Pandeka Sangek menggeram dan tegak persis di cabang di mana si Giring-Giring Perak itu berdiri tadi. Dia mencari anak muda itu, Dan anak muda itu tegak enam depa di samping
kirinya di dekat sebuah suluh.
Dengan lengkingan yang menegakkan bulu roma, dia kembali melambung. Tubuhnya persis seperti harimau yang meluncur turun dari pohon kayu. Memanjang dengan dua tangan mencakar kedepan serta mulut ternganga memperlihatkan gigi. Suatu pemandangan yang membuat bulu tengkuk pada berdiri. Pengungsi pengungsi dari Piaman itu, termasuk anak buah Pandeka Sangek, pada tegak diam dengan ngeri.
Namun Si Giring-Giring Perak mempergunakan akal yang tak terpikirkan sama sekali. Begitu tubuh Pandeka Sangek melejit ke dekatnya, tangan kirinya bergerak menghantam sulu di dekatnya. Dan seiring dengan itu dia sendiri kembali melambung ke udara.
Serangan dengan suluh menyala ini di luar dugaan Pandeka Sangek. Dia memukul suluh itu dengan tangannya. Namun api suluh itu pecan. dan sebahagian menerpa mukanya. Sebagian lagi menghantam pakaiannya. Yang menerpa muka sempat dia elakkan dengan meniupkan angin yang berasal dari tenaga dalamnya. Api itu terpental kembali. Mali di tanah. Namun pecahan damar yang lainnya, yang menerpa bajunya, hinggap di sana dan baju merahnyayang terbuat dari kain beludu itu dimamah api tiba-tiba.
Dia memekik. Api nyala di punggung dan di dadanya. Dia menggeram. Api itu jelas tak menya-kiti tubuhnya. Karena dia memasang ilmu kebal. Namun matanya tak bisa dia lindungi. Rambut dan alis matanya dijilat api. Inilah yang menyebabkan dirinya berang.
Dan dalam saat dia menguasai api itu, serangan Si Giring-Giring Perak datang. Serangannya berbentuk sebuah hantaman pada lutut dengan sisi kaki. Hantaman ini menyebabkan suara berderak di tempurung lutut lelaki itu. Hantaman kedua mengarah ke leher. Namun dia rupanya sudah waspada. Dia menangkap tumit si Giring-Giring Perak. Tapi anak muda itu mengikuti tangkapan itu, Dia naik dan kaki kirinya menghantam kepala Pandeka Sangek.
Tendangan itu mendarat di keningnya. Untung-lah yang kena adalah Pandeka Sangek, kalau tidak, kepalanya pasti sudah rengkah.
Pandeka Sangek terguling. Dan muntah darah! Namun dia memang kuat. Segera bangkit lagi. Dan menyerang lagi. Serangannya mulai merendah -dengan jurus-jurus mencakar dan menangkap yang tangguh. Si Giring-Giring Perak dibuat sibuk lagi mengelak. Dia tak melompat jauh. Tapi berkelit dan melambung dengan mengandalkan ilmu si ringan-ringannya yang tangguh.
Dua puluh lima jurus berlalu, dalam serangan mempergunakan silat harimau itu. Tapi Pandeka Sangek belum berhasil menundukkan si Giring-Giring Perak. Malah kepalanya yang kena tendang. Datuk Sipasan dan teman-temannya serta anak buah si Sangek hanya melihat berkelebatnya caha-ya putih dan merah. Mereka tak sempat melihat tubuh kedua orang itu saking cepatnya mereka bergerak. Pada jurus ketiga puluh, Si Giring-Giring gerak kembali kena hantam perutnya oleh tendangan Pandeka Sangek.
Anak muda itu terlambung dan jatuh dua depa jauhnya. Sebelum dia bangkit, Pandeka Sangek menyerangnya dengan terkaman buas. Namun anak muda itu bergerak cepat, kaki kanannya menanti terkaman itu. Han-taman kaki kanan yang kukuh itu menyambut Pandeka Sangek pada kepalanya. Dua kali kepalanya kena hantam, membuat kepala lanun itu jadi berpusing. Si Giring-Giring Perak segera memper-gunakan kesempatan itu. Dia meloncat tegak ke-mudian sebuah tendangan yang telak lagi meng-hantam perut Pandeka itu. Tubuhnya tercampak. Dan lagi lagi dia rnuntah darah.
Dia tegak menggerendeng. Bersuit panjang. Kemudian tubuhnya melenting. Si Giring-Giring Perak bersiap. Namun Pandeka Sangek melenting ke samping. Melewati suluh. Dan lenyap dalam kegelapan rimba Silaing itu. Dan ketika dia melihat ke arah anak buah si Pandeka yang tadi mengelilingi mereka, ternyata semua telah lenyap. Yang tinggal kini hanya suluh yang tertegak dan bergoyang ditiup angin
"Silat Harimau sanak sangat sempurna... Saya benar-benar mendapat pelajaran yang berharga...." Pandeka Sangek tersenyum. Dia mengagumi anak muda itu. Dia yakin pujian itu bukan sekedar basa-basi. Tapi suatu kejujuran. "Tenaga dalammu juga sangat ampuh Giring-Giring Perak. Saya sampai tak bisa beranjak setelah engkau pukul..." Dia juga berkata jujur. "Ah, tendanganmu justru meremukkan belikat saya. Dan membuat luka dalam yang bisa merenggut nyawa..." Pandeka Sangek tertawa bergumam. "Kalau saja orang lain, yang kepandaiannya cukup tinggi yang kena seranganku tadi, saya jamin mati hanya karena tendangan itu. Saya yakin akan hal itu...." Teman-teman Datuk sipasan dan anak buah Pandeka Sangek mendengar dialog kedua orang ini dengan terheran-heran. Aneh, orang berkelahi, tapi mereka saling mengatakan celaka yang mereka alami akibat pukulan lawan. Bukankah hal itu berarti memberi tahu kepada lawan kelemahan kita sendiri ? Namun Datuk Sipasan arif, demikianlah cara pesilat-pesilat tangguh berkelahi. Dan saat itu, Pandeka itu sudah merasa kakinya kembali bisa digerakkan. Dia kembali meng-angkat kedua tangannya setinggi dada. Dari mulutnya terdengar geraman. Mukanya jadi keras. Kedua tangannya tiba-tiba terangkat tinggi dengan jari-jari membentuk cakar Harimau!. "Silat Harimau dari Tumbun Tulang!!"
Datuk Sipasan berseru. Dia sengaja berkata keras, agar didengar oleh Si Giring-Giring Perak. Dia ingin memberi ingat anak muda itu, bahwa berbeda dari serangan yang mematahkan bulang belikatnya tadi, silat Harimau yang dilancarkan Pandeka Sangek sekarang ini adalah asli Silat Harimau dari Tambun Tulang. Yaitu yang diajarkan oleh gurunya Harimau Tambun Tulang. Ilmu ini berbeda dengan Silat Harimau yang berkembang di Koto Anau Solok. Yang dari Koto Anau, adalah jurus yang dipergunakan ketika melambung dan menghantam belikatnya tadi. Si Giring-Giring Perak sendiri merasa bulu tengkuknya berdiri melihat mimik muka Pandeka Sangek yang menyeringai. Tangannya yang terentang seperti cakar harimau.
Anak-anak buah Pandeka itu sendiri pada melangkah surut melihat Pandeka Sangek. Mereka merasa 'ngeri. Seingat mereka, belum pernah Pandeka ini berkelahi mempergunakan ilmu silat ini, Ilmu ini merupakan semacam ilmu simpanannya. Kini dia mengeluarkan ilmunya itu, itu suatu pertanda bahwa lawan yang dia hadapi bukan sembarang lawan, Dan Pandeka ini berniat berkelahi hidup atau mati. Gerakannya tiba-tiba jadi gesit dan mantap. Dari mulutnya tiap sebentar terdengar geraman dengan dengus. Mirip suara harimau yang sedang berang. Pembuka langkah silat itu saja amat ber- , bahaya bila digunakan untuk menyerang. Hanya dalam beberapa gerak, Pandeka Sangek yang mirip harimau jadi-jadian itu sudah dua kali mengelilingi tubuh Si Giring-Giring Perak.
Datuk Sipasan, yang masih memegang tangan Siti Nilam ikut merasa ngeri melihat kejadian itu. Dia melepaskan tangan Siti Nilam. Gadis itu tertegak dengan diam melihat cara silat Pandeka yang aneh itu. Datuk Sipasan memegang hulu kerisnya. Dia memutuskan, bila dalam serangan pertama anak muda itu tak bergerak, berarti anak muda itu hams dibantu. Dan dia menyiapkan diri untuk berjuang sampai mati membela anak muda itu.
Karena bukankah anak muda itu sekarang sebenarnya berkelahi untuk menyelamatkan nyawa dia dan teman-temannya? Pandeka Sangek tiba-tiba merunduk rendah. Kedua tangannya mencekam tanah. Mulutnya mendengus. Matanya yang merah menatap lurus dan tajam pada tengkuk Si Giring-Giring Perak yang membelakanginya. Anak muda itu masih tetap diam tak bergerak. Matanya terpejam. Tangan kanannya tetap terkulai layu dan lumpuh. Mulutnya masih merah karena darah yang tadi dia muntahkan.
Dia yakin, lawannya menghendaki nyawanya. Dan itu rasanya sudah pantas dari pihak Tambun Tulang. Kalaupun dia yang menjadi Pandeka Sangek, kalau ada lebih dari selusin anak buahnya mati di tangan orang, maka orang itu harus mati pula di tangannya. Hukum karma di rimba persilatan. Dan kini, murid kedua Harimau Tambun Tulang itu menghendaki nyawanya. Terus terang harus dia akui, bahwa dengan mengandalkan jlmu silatnya saja, dia takkan berhasil menundukkan Pandeka Sangek, Ilmu Silek Tuo yang dia pelajari memang tinggi. Tetapi dia kalah dibanding Pandeka Sangek yang telah merancah dunia persilatan ini selama puluhan tahun.
Dan ilmu tanpa pengalaman bisa-bisa menyebabkan pemakainya celaka. Si Giring-Giring Perak maklum akan hal ini. Dia mengakui dan meng-agumi ketinggian ilmu si Sangek dari Gunung Rajo ini. Kalau dengan tubuh yang sehat walaffiat saja dia sudah kewalahan dan malah hampir celaka menghadapi Sangek, apalagi kini dalam keadaan luka dalamnya belum begitu sembuh, dan belikat kanannya retak dan tangan kanannya lumpuh. Kalau dia bertahan juga menggunakan ilmu silat tua itu, alamat dia segera akan menamatkan riwayat-nya di hutan Silaing ini.
Dengan kesimpulan demikian, anak muda itu lalu memutuskan untuk mengimbangi Silat Harimau Tambun Tulang itu dengan mengandalkan ilmu ringan tubuh dan tenaga dalamnya. Dan saat itu, Pandeka Sangek yang sudah mendekam beberapa saat dj tanah, persis seperti harimau akan menerkam mangsa, tiba-tiba meng-geram dahsyat. Saat berikutnya, kelihatan garis merah melayang ke arah Si Giring-Giring Perak. Itulah jurus 'tumpu Terkam", yang merupakan jurus pertama serangan silat Harimau itu.
Datuk Sipasan menahan nafas. Keterlambatan sedetik bisa menyebabkan nyawa melayang. Di saat garis merah yang ditimbulkan oleh warna baju Pandeka Sangek itu melayang, di saat itu pula garis putih melesat ke atas. Si Giring-Giring Perak melon cat tinggi tepat pada waktunya. Pandeka Sangek menerpa tempat kosong. Si Giring-Giring Perak tidak turun di tanah. Dia berpijak ke sebuah dahan dua depa dari tanah. Hanya ada dua detik saat berhenti bagi Pandeka Sangek, seketika dia kembali melambung dengan suara menggeram ke tempat anak muda itu. Kembali sedetik sebelum terpaan itu tiba, anak muda itu menggenjot tubuhnya, kemudian melambung kembali ke tanah.
Terdengar suara berderak tatkala cakar Pandeka itu menghantam kayu sepagutan orang dewasa di mana si Giring-Giring Perak tadi tegak
Kayu itu rengkah, kemudian dengan menim-bulkan suara hiruk, rubuh ke tanah!
"Bukan main... bukan main...!!" Datuk Sipasan menggeleng. Belum pernah dia melihat ilmu silat seperti itu. Dirinya terasa makin kecil. Padahal dia guru silat yang disegani di Pariaman.
Pandeka Sangek menggeram dan tegak persis di cabang di mana si Giring-Giring Perak itu berdiri tadi. Dia mencari anak muda itu, Dan anak muda itu tegak enam depa di samping
kirinya di dekat sebuah suluh.
Dengan lengkingan yang menegakkan bulu roma, dia kembali melambung. Tubuhnya persis seperti harimau yang meluncur turun dari pohon kayu. Memanjang dengan dua tangan mencakar kedepan serta mulut ternganga memperlihatkan gigi. Suatu pemandangan yang membuat bulu tengkuk pada berdiri. Pengungsi pengungsi dari Piaman itu, termasuk anak buah Pandeka Sangek, pada tegak diam dengan ngeri.
Namun Si Giring-Giring Perak mempergunakan akal yang tak terpikirkan sama sekali. Begitu tubuh Pandeka Sangek melejit ke dekatnya, tangan kirinya bergerak menghantam sulu di dekatnya. Dan seiring dengan itu dia sendiri kembali melambung ke udara.
Serangan dengan suluh menyala ini di luar dugaan Pandeka Sangek. Dia memukul suluh itu dengan tangannya. Namun api suluh itu pecan. dan sebahagian menerpa mukanya. Sebagian lagi menghantam pakaiannya. Yang menerpa muka sempat dia elakkan dengan meniupkan angin yang berasal dari tenaga dalamnya. Api itu terpental kembali. Mali di tanah. Namun pecahan damar yang lainnya, yang menerpa bajunya, hinggap di sana dan baju merahnyayang terbuat dari kain beludu itu dimamah api tiba-tiba.
Dia memekik. Api nyala di punggung dan di dadanya. Dia menggeram. Api itu jelas tak menya-kiti tubuhnya. Karena dia memasang ilmu kebal. Namun matanya tak bisa dia lindungi. Rambut dan alis matanya dijilat api. Inilah yang menyebabkan dirinya berang.
Dan dalam saat dia menguasai api itu, serangan Si Giring-Giring Perak datang. Serangannya berbentuk sebuah hantaman pada lutut dengan sisi kaki. Hantaman ini menyebabkan suara berderak di tempurung lutut lelaki itu. Hantaman kedua mengarah ke leher. Namun dia rupanya sudah waspada. Dia menangkap tumit si Giring-Giring Perak. Tapi anak muda itu mengikuti tangkapan itu, Dia naik dan kaki kirinya menghantam kepala Pandeka Sangek.
Tendangan itu mendarat di keningnya. Untung-lah yang kena adalah Pandeka Sangek, kalau tidak, kepalanya pasti sudah rengkah.
Pandeka Sangek terguling. Dan muntah darah! Namun dia memang kuat. Segera bangkit lagi. Dan menyerang lagi. Serangannya mulai merendah -dengan jurus-jurus mencakar dan menangkap yang tangguh. Si Giring-Giring Perak dibuat sibuk lagi mengelak. Dia tak melompat jauh. Tapi berkelit dan melambung dengan mengandalkan ilmu si ringan-ringannya yang tangguh.
Dua puluh lima jurus berlalu, dalam serangan mempergunakan silat harimau itu. Tapi Pandeka Sangek belum berhasil menundukkan si Giring-Giring Perak. Malah kepalanya yang kena tendang. Datuk Sipasan dan teman-temannya serta anak buah si Sangek hanya melihat berkelebatnya caha-ya putih dan merah. Mereka tak sempat melihat tubuh kedua orang itu saking cepatnya mereka bergerak. Pada jurus ketiga puluh, Si Giring-Giring gerak kembali kena hantam perutnya oleh tendangan Pandeka Sangek.
Anak muda itu terlambung dan jatuh dua depa jauhnya. Sebelum dia bangkit, Pandeka Sangek menyerangnya dengan terkaman buas. Namun anak muda itu bergerak cepat, kaki kanannya menanti terkaman itu. Han-taman kaki kanan yang kukuh itu menyambut Pandeka Sangek pada kepalanya. Dua kali kepalanya kena hantam, membuat kepala lanun itu jadi berpusing. Si Giring-Giring Perak segera memper-gunakan kesempatan itu. Dia meloncat tegak ke-mudian sebuah tendangan yang telak lagi meng-hantam perut Pandeka itu. Tubuhnya tercampak. Dan lagi lagi dia rnuntah darah.
Dia tegak menggerendeng. Bersuit panjang. Kemudian tubuhnya melenting. Si Giring-Giring Perak bersiap. Namun Pandeka Sangek melenting ke samping. Melewati suluh. Dan lenyap dalam kegelapan rimba Silaing itu. Dan ketika dia melihat ke arah anak buah si Pandeka yang tadi mengelilingi mereka, ternyata semua telah lenyap. Yang tinggal kini hanya suluh yang tertegak dan bergoyang ditiup angin
Giring Giring Perak : Episode 22 - Silek Tuo
Dia masih merasakan sakit yang menyengat di rusuknya. Dan ariflah anak muda itu bahwa Pandeka itu punya ilmu simpanan yang bila pukulan dan tendangannya mengenai orang maka sakit yang ditimbulkannya seperti sengatan binatang berbisa. Barangkali hampir sama dengan Datuk sipasan tapi anak muda ini yakin ilmu Pandeka ini mungkin sepuluh kali lebih tinggi dari Datuk Sipasan.
Kalau Datuk Sipasan serangannya yang berba-haya hanya dua jari tangannya maka Pandeka Sangek seluruh kaki dan tangannya mengandung bisa yangmemautkan. Karena itu dia harus hati-hati benar mengha-dapi lelaki ini. Pandeka Sangek tiba-tiba menyerang dengan sebuah pukulan ke hulu hati. Pukulan itu amat cepat, Si Giring-Giring Perak menangldsnya dengan telapak tangan. Kemudian membalas dengan tendangan kaki kiri. Pandeka itu mundur selangkah, tiba-tiba berputar dan mengirimkan tendangan belakang. Si Giring- Giring Perak menangkis serangan itu dengan menyilangkan kedua tangannya di bawah pusat. Kemudian dengan cepat mengirimkan sebuah tendangan ke tubuh Pandeka Sangek yang tengah berputar untuk menghadapinya. Tendangan itu dielakkan oleh Pandeka dengan membuang langkah ke kanan. Dan serentak dia juga mengirimkan sebuah pukulan ke hulu hati. Pukulan ini kembali ditangkis dengan telapak tangan oleh Si Giring-Giring Perak. Kemudian dia menyerang pula dengan menghantam kepalan tangannya pada wajah Pandeka Sangek. Pukulan ini demikian kerasnya. Dan Pandeka itu tak menangkis dia malah melompat dua langkah ke belakang.
"Hmm... Silek Tuo..." Pandeka Sangek itu bergumam. Dan Datuk Sipasan Sendiri juga dapat mengenai silat yang dipergunakan oleh Si Giring-Giring Perak itu. Silek Tuo merupakan silat induk di Minangkabau. Tidak banyak membuat gerak langkah dan bunga silat, Dan tidak pula pernah membuka serangan.
Dalam Silat Tua Minangkabau dikenal prinsip: Tangkis Jurus satu, Serang jurus dua.
Jadi pada awalnya ilmu persilatan di Minangkabau ini mengajarkan pada anak Sasiannya (murid) untuk tidak memulai perkelahian.
Tangkis jurus satu mempunyai makna, bahwa tugas utama setiap anak sasian atau pesilat adalah meng-hindarkan perkelahian. Sedangkan Serang jurus dua mempunyai makna: Bila musuh datang setelah mengelakkan serangan baru boleh menyerang.
Dan ilmu ini memang diajarkan secara harfiah dalam Silek Tuo. Tidak pernah diberi pelajaran bagaimana caranya membuka serangan. Tetapi pelajaran selalu dimulai dari cara "menggelek". Yaitu menghindarkan perkelahian. Setelah serangan musuh ditangkis, barulah terbuka jurus untuk menyerang.
Itulah tadi yang dipergunakan oleh Si Giring-Giring Perak. Setiap serangan dia tangkis, kemudian balas menyerang. Dan serangannya adalah "satu balas satu".
Ini adalah Silek Tuo asli. Yang membalas serangan musuh tak lebih dari jumlah serangan yang dilakukan la wan.
Dan ilmu silat ini oleh anak Sasian yang turun dari Pagaruyung di mana ilmu itu berasal disebar luaskan. Umumnya Silat Tuo dianggap sebagai "lemah". Karena kurang berfariasi. Makanya di seluruh Minangkabau silat Tuo itu dikembangkan menurut langgam masingmasing daerah.
Adapun Silat Toboh di Pariaman, Pangian di Tanah Datar dan Starlak di Sawahluntp, adalah juga berasal dari selek Tuo. Tetapi telah dikembangkan dan dirobah di sana sini. Ilmu itulah yang kini dipakai oleh Pandeka Sangek. Silek Tuo dianggap lemah karena tidak boleh memulai serangan, dalam perkalahian orang diwajibkan menanti orang lain menyerang. Dan kini- kedua mereka kembali saling pan-dang. Rasa sakit masih tetap menyengat rusuk Si Giring-Giring Perak. Anak muda ini sadar, kalau saja dia tidak mempunyai tenaga bathin yang tinggi, dia yakin dirinya sudah sejak mula pertama kena tendangan tadi sudah mati. Atau paling kurang semua tulang rusuknya kupak.
Pandeka Sangek mengangkat kedua tangan setinggi dada. Sementara matanya menatap mata Si Giring-Giring Perak. Dia mulai membuka bunga silat dalam jurus Silat Pangian. Dalam tiga langkah dia kini kembali berada di dekat anak muda itu. Tanpa membuang waktu dia kembali menyerang dengan dua pukulan beruntun ke kepala dan ke dada. Dan seperti tanpa jarak waktu dua tendang-annya menggebu ke selangkang. Keempat serangan ini dengan roudah sambil mundur selangkah ber-hasil dielakkan oleh si Giring-Giring Perak. Nanum kali ini dia tak diberi kesempatan untuk membalas oleh Pandeka Sangek. "
Empat tendangan berputar dan beruntun lagi, Dan anak muda itu dibuat sibuk tanpa dapat membalas serangan. Ketika enam belas jurus berla-Iu dengan cepat, tiba-tiba Pandeka Sangek mem-bentak dia menepuk dada, dia menyerang dengan menggelinding di tanah. Inilah serangan dan aliran Buayo Lalok dari Pesisir Selatan. Sambil menggelinding, kakinya menyerang dengan ten-dangan-tendangan dan kibasan-kibasan yang me-matikan.
Ada dua jalan yang bisa ditempuh Si Giring-Giring Perak untuk menghindar dari serangan berbahaya ini. Pertama melambung tinggi, kedua meloncat menjauhi serangan itu. Bila melambung ke atas, bahaya masih tetap mengancam. Yaitu bila turunnya dekat dari si penyerang, maka si penyerang bisa merobah serangan tiba-tiba dengan berdiri dan mengirimkan tendangan pukiilan kepada lawan yang belum siap itu. Sementara cara kedua lebih aman.
Maka cara kedua inilah yang ditempuh oleh si Giring-Giring Perak. Dia berjumpalitan di udara, melambung ke belakang sekitar empat depa. Namun di sinilah kesalahannya. Dia melakukan kesalahan karena usia yang masih muda dan peng-alaman yang kurang di dunia persilatan. Dan lawan-nya" seorang yang tangguh. Datuk Sipasan sendiri yang menatap perkelahian itu dengan mata tak berkedip, merasa lega tatkala anak muda itu melambung ke belakang. Memang itu cara yang aman, pikirnya. Tapi dia dan juga si Giring-Giring Perak dibuat terkejut, dan harus mengakui nama besar "Harimau Tambun Tulang" tatkala muridnya ini dalam ke-adaan masih menggelinding tubuhnya tiba-tiba melanting seperti bola yang ditendang memburu tubuh si Gorong-Gorong Perak yang tengah berjumpalitan di udara itu. Begitu kaki si Giring-Giring Perak mencecah tanah, dia mendengar angin berkuak amat kuat di belakangnya. Dia yakin tak sempat lagi meng-elak, makanya dia hanya rnenghantam tangan ke belakang menyambut serangan yang datang itu. Tapi yang datang bukannya sembarang serangan.
Yang datang justru tubuh Pandeka Sangek yang ikut melambung. Dan kini, kaki kanannya dengan sisi telapak kaki menghujam ke bawah melaju menerpa tengkuk anak muda itu.
"Celaka....!!" Datuk Sipasan terlompat dan berseru kaget melihat peristiwa itu. Memang tak lain dari pada celaka, yang diterima anak muda itu. Hanya saja dia masih untung. Pukiilan tangannya ke belakang tadi, menyebabkan arah kaki Pandeka Sangek agak berobah. Tidak lagi menghantam tengkuk, tetapi agak ke bawah. Tiba pada bahu kanannya. Meski demikian, terdengar suara ber-derak. Tubuh anak muda itu terlambung sampai enam depa. Dan tangan kanannya yang tiba-tiba terkulai lumpuh. Dari mulutnya menyembur darah segar!
Siti Nilam memekik dan menghambur. Namun Datuk Sipasan menahan gadis itu. Tendangan itu amat membahayakan nyawa anak muda itu. Isi dadanya terguncang. Dan dia mengalami luka dalam yang cukup berbahaya.
"Silat-Harimau...!!" Hampir bersamaan si Giring-Giring Perak dan Datuk Sipasan bergumam perlahan. Pandeka Sangek sendiri merasa kaget tatkala serangannya yang mematikan itu ternyata hanya mampu mengenai bahu anak muda ter-sebut. Sementara kaki kanannya yang dihantam oleh pukulan membelakang oleh anak muda itu tadi terasa kesemutan dan linu.
Itulah kenapa kini dia tetap saja tertegak. Tak mampu melan-jutkan serangan. Dia coba melangkah. Tapi kaki-nya terasa lumpuh. Pukulan itu ternyata berisi tenaga dalam yang lumayan. Kalau saja anak muda itu tadi memukulnya dalam posisi yang betul dan konsentrasi penuh, maka dia yakin dirinya akan celaka.
Dia menatap anak muda itu. Si Giring-Giring untuk kedua kalinya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dia tak berniat untuk menggerak-kan tangan kanannya. Karena dia tahu betul tulang belikatnya pecah dan terlepas kena ten-dangan yang telak itu. Satu-satunya jalan, yang bisa dia tempuh ialah menghimpun tenaga bathinnya. Menyalurkan ke tempat yang terluka. Dia tak bisa mengobati tulang belikatnya yang pecah dan lepas. Karena dia harus mendahulukan mengobati isi dadanya yang terluka.
Kalau Datuk Sipasan serangannya yang berba-haya hanya dua jari tangannya maka Pandeka Sangek seluruh kaki dan tangannya mengandung bisa yangmemautkan. Karena itu dia harus hati-hati benar mengha-dapi lelaki ini. Pandeka Sangek tiba-tiba menyerang dengan sebuah pukulan ke hulu hati. Pukulan itu amat cepat, Si Giring-Giring Perak menangldsnya dengan telapak tangan. Kemudian membalas dengan tendangan kaki kiri. Pandeka itu mundur selangkah, tiba-tiba berputar dan mengirimkan tendangan belakang. Si Giring- Giring Perak menangkis serangan itu dengan menyilangkan kedua tangannya di bawah pusat. Kemudian dengan cepat mengirimkan sebuah tendangan ke tubuh Pandeka Sangek yang tengah berputar untuk menghadapinya. Tendangan itu dielakkan oleh Pandeka dengan membuang langkah ke kanan. Dan serentak dia juga mengirimkan sebuah pukulan ke hulu hati. Pukulan ini kembali ditangkis dengan telapak tangan oleh Si Giring-Giring Perak. Kemudian dia menyerang pula dengan menghantam kepalan tangannya pada wajah Pandeka Sangek. Pukulan ini demikian kerasnya. Dan Pandeka itu tak menangkis dia malah melompat dua langkah ke belakang.
"Hmm... Silek Tuo..." Pandeka Sangek itu bergumam. Dan Datuk Sipasan Sendiri juga dapat mengenai silat yang dipergunakan oleh Si Giring-Giring Perak itu. Silek Tuo merupakan silat induk di Minangkabau. Tidak banyak membuat gerak langkah dan bunga silat, Dan tidak pula pernah membuka serangan.
Dalam Silat Tua Minangkabau dikenal prinsip: Tangkis Jurus satu, Serang jurus dua.
Jadi pada awalnya ilmu persilatan di Minangkabau ini mengajarkan pada anak Sasiannya (murid) untuk tidak memulai perkelahian.
Tangkis jurus satu mempunyai makna, bahwa tugas utama setiap anak sasian atau pesilat adalah meng-hindarkan perkelahian. Sedangkan Serang jurus dua mempunyai makna: Bila musuh datang setelah mengelakkan serangan baru boleh menyerang.
Dan ilmu ini memang diajarkan secara harfiah dalam Silek Tuo. Tidak pernah diberi pelajaran bagaimana caranya membuka serangan. Tetapi pelajaran selalu dimulai dari cara "menggelek". Yaitu menghindarkan perkelahian. Setelah serangan musuh ditangkis, barulah terbuka jurus untuk menyerang.
Itulah tadi yang dipergunakan oleh Si Giring-Giring Perak. Setiap serangan dia tangkis, kemudian balas menyerang. Dan serangannya adalah "satu balas satu".
Ini adalah Silek Tuo asli. Yang membalas serangan musuh tak lebih dari jumlah serangan yang dilakukan la wan.
Dan ilmu silat ini oleh anak Sasian yang turun dari Pagaruyung di mana ilmu itu berasal disebar luaskan. Umumnya Silat Tuo dianggap sebagai "lemah". Karena kurang berfariasi. Makanya di seluruh Minangkabau silat Tuo itu dikembangkan menurut langgam masingmasing daerah.
Adapun Silat Toboh di Pariaman, Pangian di Tanah Datar dan Starlak di Sawahluntp, adalah juga berasal dari selek Tuo. Tetapi telah dikembangkan dan dirobah di sana sini. Ilmu itulah yang kini dipakai oleh Pandeka Sangek. Silek Tuo dianggap lemah karena tidak boleh memulai serangan, dalam perkalahian orang diwajibkan menanti orang lain menyerang. Dan kini- kedua mereka kembali saling pan-dang. Rasa sakit masih tetap menyengat rusuk Si Giring-Giring Perak. Anak muda ini sadar, kalau saja dia tidak mempunyai tenaga bathin yang tinggi, dia yakin dirinya sudah sejak mula pertama kena tendangan tadi sudah mati. Atau paling kurang semua tulang rusuknya kupak.
Pandeka Sangek mengangkat kedua tangan setinggi dada. Sementara matanya menatap mata Si Giring-Giring Perak. Dia mulai membuka bunga silat dalam jurus Silat Pangian. Dalam tiga langkah dia kini kembali berada di dekat anak muda itu. Tanpa membuang waktu dia kembali menyerang dengan dua pukulan beruntun ke kepala dan ke dada. Dan seperti tanpa jarak waktu dua tendang-annya menggebu ke selangkang. Keempat serangan ini dengan roudah sambil mundur selangkah ber-hasil dielakkan oleh si Giring-Giring Perak. Nanum kali ini dia tak diberi kesempatan untuk membalas oleh Pandeka Sangek. "
Empat tendangan berputar dan beruntun lagi, Dan anak muda itu dibuat sibuk tanpa dapat membalas serangan. Ketika enam belas jurus berla-Iu dengan cepat, tiba-tiba Pandeka Sangek mem-bentak dia menepuk dada, dia menyerang dengan menggelinding di tanah. Inilah serangan dan aliran Buayo Lalok dari Pesisir Selatan. Sambil menggelinding, kakinya menyerang dengan ten-dangan-tendangan dan kibasan-kibasan yang me-matikan.
Ada dua jalan yang bisa ditempuh Si Giring-Giring Perak untuk menghindar dari serangan berbahaya ini. Pertama melambung tinggi, kedua meloncat menjauhi serangan itu. Bila melambung ke atas, bahaya masih tetap mengancam. Yaitu bila turunnya dekat dari si penyerang, maka si penyerang bisa merobah serangan tiba-tiba dengan berdiri dan mengirimkan tendangan pukiilan kepada lawan yang belum siap itu. Sementara cara kedua lebih aman.
Maka cara kedua inilah yang ditempuh oleh si Giring-Giring Perak. Dia berjumpalitan di udara, melambung ke belakang sekitar empat depa. Namun di sinilah kesalahannya. Dia melakukan kesalahan karena usia yang masih muda dan peng-alaman yang kurang di dunia persilatan. Dan lawan-nya" seorang yang tangguh. Datuk Sipasan sendiri yang menatap perkelahian itu dengan mata tak berkedip, merasa lega tatkala anak muda itu melambung ke belakang. Memang itu cara yang aman, pikirnya. Tapi dia dan juga si Giring-Giring Perak dibuat terkejut, dan harus mengakui nama besar "Harimau Tambun Tulang" tatkala muridnya ini dalam ke-adaan masih menggelinding tubuhnya tiba-tiba melanting seperti bola yang ditendang memburu tubuh si Gorong-Gorong Perak yang tengah berjumpalitan di udara itu. Begitu kaki si Giring-Giring Perak mencecah tanah, dia mendengar angin berkuak amat kuat di belakangnya. Dia yakin tak sempat lagi meng-elak, makanya dia hanya rnenghantam tangan ke belakang menyambut serangan yang datang itu. Tapi yang datang bukannya sembarang serangan.
Yang datang justru tubuh Pandeka Sangek yang ikut melambung. Dan kini, kaki kanannya dengan sisi telapak kaki menghujam ke bawah melaju menerpa tengkuk anak muda itu.
"Celaka....!!" Datuk Sipasan terlompat dan berseru kaget melihat peristiwa itu. Memang tak lain dari pada celaka, yang diterima anak muda itu. Hanya saja dia masih untung. Pukiilan tangannya ke belakang tadi, menyebabkan arah kaki Pandeka Sangek agak berobah. Tidak lagi menghantam tengkuk, tetapi agak ke bawah. Tiba pada bahu kanannya. Meski demikian, terdengar suara ber-derak. Tubuh anak muda itu terlambung sampai enam depa. Dan tangan kanannya yang tiba-tiba terkulai lumpuh. Dari mulutnya menyembur darah segar!
Siti Nilam memekik dan menghambur. Namun Datuk Sipasan menahan gadis itu. Tendangan itu amat membahayakan nyawa anak muda itu. Isi dadanya terguncang. Dan dia mengalami luka dalam yang cukup berbahaya.
"Silat-Harimau...!!" Hampir bersamaan si Giring-Giring Perak dan Datuk Sipasan bergumam perlahan. Pandeka Sangek sendiri merasa kaget tatkala serangannya yang mematikan itu ternyata hanya mampu mengenai bahu anak muda ter-sebut. Sementara kaki kanannya yang dihantam oleh pukulan membelakang oleh anak muda itu tadi terasa kesemutan dan linu.
Itulah kenapa kini dia tetap saja tertegak. Tak mampu melan-jutkan serangan. Dia coba melangkah. Tapi kaki-nya terasa lumpuh. Pukulan itu ternyata berisi tenaga dalam yang lumayan. Kalau saja anak muda itu tadi memukulnya dalam posisi yang betul dan konsentrasi penuh, maka dia yakin dirinya akan celaka.
Dia menatap anak muda itu. Si Giring-Giring untuk kedua kalinya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dia tak berniat untuk menggerak-kan tangan kanannya. Karena dia tahu betul tulang belikatnya pecah dan terlepas kena ten-dangan yang telak itu. Satu-satunya jalan, yang bisa dia tempuh ialah menghimpun tenaga bathinnya. Menyalurkan ke tempat yang terluka. Dia tak bisa mengobati tulang belikatnya yang pecah dan lepas. Karena dia harus mendahulukan mengobati isi dadanya yang terluka.
Giring Giring Perak : Episode 21 - Pertarungan di tengah Malam
Dan ketika mata mereka masih berkilat-kilat karena perobahan dari terang ke gelap itu, ketika konsentrasi mereka belum bekerja penuh, saat itu pula belasan batang tombak meluncur ke arah mereka dari segala penjuru.
Bukan main berbahayanya serangan ini. Baik Si Giring-Giring Perak maupun Datuk sipasan dan teman-temannya tak mengetahui darimana datang nya serangan itu. Mata mereka tak melihat apa-apa. Dalam keadaan seperti itu, Si Giring-Giring Perak terpaksa mengeluarkan seluruh kepandaian-nya untuk menolong nyawa mereka. Dengan mempergunakan pendengarannya yang amat tajam, kemudian menggabungkan dengan ilmu meringankan tubuh yang tangguh, anak muda dari Gunung Talang ini melompat ke udara. Tangannya masih memegang selendang Siti Nilam. Di udara dia berjumpalitan dalam gelap. Dan tangannya bekerja cepat. Dia tak menangkap seluruh tombak itu dengan belitan selendangnya. Tapi dengan tenaga bathinnya yang tinggi dia mengibaskan selendang itu berputar di udara. Sungguh hebat! Seluruh tombak itu mencong arahnya terkena sambaran angin yang dikibaskan dari selendang di tangannya. Dan hanya dalam enam hitungan sejak dia melompat tadi, anak muda ini turun lagi di tanah. Persis di tempatnya semula. Dan itu pula semula suluh dihidupkan lagi secara serentak.
Sekilas saja, Pandeka Sangek mengerti bahwa serangan dengan tombak yang pertama tadi tak satupun yang mengenai lawan. Dia sempat mendengar suara desakan angin ketika anak muda itu melambung ke udara dalam gelap tadi, dan dia juga mendengar suara tombak yang terpukul arahnya oleh kibasan tenaga dalamnya itu. Kini dia mempergunakan taktik kedua.
Begitu suluh hidup, dan si Giring-Giring Perak serta teman-temannya tiba-tiba kembali merasa silau di sebabkan nyala suluh yang tiba-tiba itu, kembali beberapa tombak melayang. Tombak-tombang itu diarahkan pada rombongan Datuk Sipasan.
Sementara Pandeka Sangek sendiri menyerang anak muda itu dengan serangan pisau beracun. Lemparan pisau beracun-nya yang kecil-kecil, tak lebih dari sebesar keling-king, amat berbahaya.
Pisau itu selain amat tajam dan runcing, juga telah disepuh dengan bisa yang amat tangguh. Tak usah tertancap, goresan kecil saja yang dia timbul-kan pada salah satu bahagian kulit di tubuh manu-sia, sanggup merenggut nyawa. Dan anak muda itu amat arif akan hal ini.
Karenanya dia tak mau berlaku gegabah. Saat itu matanya masih dalam keadaan silau karena puluhan suluh yang dihidupkan tiba-tiba. Kini dia hanya mengandalkan pen-dengarannya yang amat tajam itu. Dia memejam-kan mata. Mendengar pisau-pisau kecil itu menggebu ke arahnya.
Lebih dari lima buah. Dan enam batang tombak melesat pula ke atari teman-teman di belakangnya. Kalau keadaan begini terus, yaitu jika mereka diserang terus-terusan dalam keadaan silau, di mana suluh tiba-tiba dihidupkan, kemudian dimatikan, dihidupkan lagi, dan seterusnya, dan mereka diserang dalam keadaan begitu, lama-lama pasti banyak korban yang jatuh. Karena itu, dia harus mencari akal untuk mengatasi taktik Pandeka Sangek ini. Dia yakin, di tiap suluh yang dihidup matikan itu, pasti ada seorang lelaki yang menjaga. Mereka
siap meniup suluh itu hingga padam jika diisyaratkan oleh pimpinan mereka. Dan siap pula menghidupkannya dengan catuih api begitu isyarat berupa suitan berbunyi.
Dia tak ingin suluh itu dimatikan. Karena kegelapan bisa membuat rombongan Datuk Sipasan jadi celaka. Karenanya untuk menolong dan meng-awasi mereka, suluh itu harus hidup terus. Dengan pikiran begini, Si Giring-Giring Perak lalu memu-satkan perhatiannya pada suluh-suluh itu. Jumlah suluh itu yang hidup kini hanya lima belas buah. Tegak mengelilingi mereka dalam jarak delapan depa.
Dia yakin, taman-temannya yang berada di belakang pasti mampu menghindarkan hunjaman tombak itu. Mereka bukan pesilat-pesilat awam. Meski belum mempunyai ilmu tinggi, namun tidak terlalu rendah. Dengan berfikiran demikian, anak muda ini menanti datangnya pisau-pisau beracun yang dilemparkan oleh Pandeka Sangek.
Dia tidak mau mengambil resiko untuk me-nyambutnya, lalu melemparkan ke arah orang-orang yang menjaga suluh itu.
Tidak, itu terlalu berbahaya.
Karena itu, begitu pisau itu dia taksir berjarak dua depa dari dirinya, anak muda ini kembali mempergunakan selendang Siti Nilam yang masih berada di tangannya. Dengan menyalurkan tenaga bathinnya yang tinggi, selendang itu tiba-tiba menggeliat dan bergulung ujungnya. Kemudian dengan sebuah sentakan keras, gulungan itu lepas dan terdengar suara letusan kecil. Kibasan ujung selendang itu membuat pisau-pisau kecil tersebut seperti membentur dinding karet yang liat dan kenyal. Senjata itu berbalik arah dengan kecepatan yang lebih tinggi dari saat dia datang tadi. Pandeka Sangek sudah menduga bahwa anak muda ini pasti sanggup menangkis serangannya. Beberapa pisau-pisaunya akan dipu-kul berbalik menyerang dirinya. Dan hal itu ter-nyata benar. Pisau-pisaunya itu berbalik arah. Malahan dengan kekuatan dan kecepatan yang lebih hebat dari yang dia lemparkan tadi.
Dia melambung tinggi sambil berkata :
Bagus!
Dalam melompat itu, dia menghantamkan sebuah pukulan tenaga dalam kepada Si Giring-Giring Perak. Namun dia segera jadi terkejut dan merasa dikicuh tegak-tegak tatkala dia dengar anak buahnya pada memekik! Dia tak jadi menghantamkan pukulannya. Tetapi turun kembali cepat-cepat.
Dan dia segera sadar, senjata rahasia yang dia lemparkan tadi, dan dipukul berbalik, ternyata bukan diarahkan pada dirinya. Melainkan pada anak buahnya. Dan empat orang anak buahnya yang tegak menjaga suluh melosoh jatuh dengan dada dan jidat ditembus pisau beracun milik pimpinannya sendiri! Saat dia turun itu, suluh yang lain pada padam. Tapi yang empat buah itu masih hidup. Dan Pandeka ini segera tahu, keempat anak buah-nya itu telah pugat oleh pisau beracunnya.
"Luar biasa!!!" dia bergumam setelah tegak dengan sempurna di tanah. Dan pada saat itu keenam batang tombak yang dilemparkan ke arah Datuk Sipasan dan teman-temannya juga telah dipukul jatuh ke tanah. Pandeka Sangek jadi maklum, bahwa dengan perkelahian jarak jauh, dia'akan banyak mengalami kerugian. Karenanya dia lalu mengatur siasat baru.
"Anak muda, ilmu bathinmu ternyata amat tinggi. Saya ingin belajar sedikit ilmu silat dari Gunung Talang"
Sehabis berkata begitu dia memberi isyarat lagi. Dan kembali suluh-suluh yang tadi dipadamkan, hidup kembali. Kemudian, setelah membungkuk sedikit tanda memberi hormat, Pandeka Sangek mulai membuka langkah silat. Dan pada langkah kedua, anak muda itu segera tahu, Pandeka ini membuka dengan jurus silat Starlak. Dia tetap tegak menanti. Pada langkah ketiga, dengan sebuah langkah panjang menyam-ping, Pandeka itu telah berada di sisi kirinya.
Anak muda itu masih tegak diam. Dan Pandeka itupun membuka serangan pertamanya. Dengan masih tetap menyamping, dia mengirimkan tendangan dengan sisi kaki ke rusuk Si Giring-Giring Perak. Tendangan itu luar biasa cepatnya. Anak muda ini membuang langkah ke samping. Tapi tendangan itu beruntun sebanyak tiga kali. Mengarah ke rusuk, ke lutut ke kepala. Dilakukan dengan cepat dan tanpa kaki kanannya yang menendang itu mencecah tanah. Dia tegak hanya dengan kaki kiri. Dan kaki kirinya membuat loncatan kecil mendekati anak muda itu setiap menendang. Si Giring-Giring Perak bukannya tak sering melihat serangan Starlak yang tangguh. Tapi cara bersilat Pandeka ini cukup aneh dan serangannya berbahaya. Ketika dia terpaksa membuang langkah ke kiri menghindarkan tendangan ke kepala. Pandeka itu tiba-tiba menarik kakinya dan kini ujung-ujung jari tangannya menghunjam ke dada. Ujung jari-jari yang dirapatkan itu seperti ujung pisau. Melaju ke arah jantung. Kembali Si Giring-Giring Perak dibuat kagum dengan kecepatan lelaki ini bergerak. Jurus serangan ke.empat ini dia hindarkan dengan merendah-kan diri.
Tapi serangan berikutnya benar-benar membuat anak muda ini tidak hanya sekedar kagum tetapi juga kaget. Begitu dia menunduk, dan tikaman dengan ujung-ujung jari-jari itu lewat di atas kepalanya dengan cepat sekali serangan itu berobah menjadi hantaman dengan siku! Siku-nya i menghujam ke bawah, ke arah tengkuk Si Giring-Giring Perak. Semua orang yang tegak menonton pertarungan itu dengan diam dan tegang, tak melihat apa yang tengah terjadi. Gerakan kedua lelaki itu amat cepat untuk mereka tangkap dengan pandangan. Hanya Datuk Sipasan yang masih mampu mengikuti pertarungan itu dengan baik dengan tatapan matanya yang cukup a was.
Dia jadi berdebar melihat siku tangan Pandeka yang memburu tengkuk anak muda itu. Dia tak mau berteriak meskipun dia ingin sekali berseru memperingati bahaya itu. Tapi anak muda itu su-dah mencium bahaya. Dengan cepat dia menjatuh-kan diri ke tanah. Dengan demikian dirinya terhin-dar dari terkaman siku lawan, Namun sebelum dirinya sempurna jatuh ke tanah kaki kiri Pandeka itu bergerak. Dia berusaha menangkap namun, sebuah kibasan kaki yang ligat tetap saja meng-hantam rusuknya.
Terdengar suara berdebuk dan tubuh anak muda itu tercampak dua depa! Anak muda itu bukannya tak merasakan datang-nya tendangan itu, ia telah berusaha menyambut-nya dengan tangan. Namun posisinya dalam keada-an tidak menguntungkan. Dia tengah menjatuhkan diri. Betapapun jua, saat itu dia tak bisa bergerak banyak. Makanya dia lalu menyalurkan tenaga bathinnya ke rusuk. Ke tempat yang dia duga akan diterpa tendangan itu. Dan hal itupun terjadi-lah! Si Giring-Giring Perak segera merasakan sakit yang menyengat di rusuknya. Dia mengerahkan lagi tenaga bathinnya ke sana. Namun rasa sakit yang menyengat itu masih membakar. Dia meraba rusuknya dan dengan terkejut dia merasakan beta-pa rusuknya basah. Dan ketika dia melihat tangan-nya, dia jadi keget. Telapak tangannya merah oleh darah! Dan rasa sakit makin menyengat. Pukulan dengan siku dan tendangan tadi jelas serangan yang berasal dari Silat Pangian. Silat tangguh yang berasal dari Pangian Tanah Datar,
Ternyata Pandeka ini menggabungkan silat Starlak dengan Pangian dalam jurus-jurus yang berbahaya. Dia menarik nafas. Kemudian tegak. Tangannya masih menutup luka di rusuknya.
"Serangan Pangian yang luar biasa..." katanya perlahan dengan jujur. Pandeka itu tak menjawab. Tapi kembali membuka langkah. Dan seperti tadi, dalam tiga langkah yang panjang dan menyamping kembali dia berada di sisi kiri anak muda itu. Kali ini si Giring-Giring Perak berlaku waspada. Rasa pedih bekas tendangan tadi masih terasa menyengat. Menyengat! Ya, pedihnya menyengat. Anak muda ini segera sadar, nama lelaki yang dia hadapi itu adalah Pandeka Sangek. Gelar yang di-berikan bagi pesilat biasanya ada sangkut pautnya dengan kepandaian yang dia andalkan.
Datuk Sipasan misalnya bergelar demikian karena tangannya dicelup dengan bisa ribuan Lipan. Dan cara dia menyudahi lawannya persis seperti sipasan (Lipan). Yaitu dengan mempergu-nakan dua jarinya sebagai taring untuk memasuk-kan bisa. Dan kini Pandeka Sangek tentulah punya keistimewaan menurut namanya itu
Bukan main berbahayanya serangan ini. Baik Si Giring-Giring Perak maupun Datuk sipasan dan teman-temannya tak mengetahui darimana datang nya serangan itu. Mata mereka tak melihat apa-apa. Dalam keadaan seperti itu, Si Giring-Giring Perak terpaksa mengeluarkan seluruh kepandaian-nya untuk menolong nyawa mereka. Dengan mempergunakan pendengarannya yang amat tajam, kemudian menggabungkan dengan ilmu meringankan tubuh yang tangguh, anak muda dari Gunung Talang ini melompat ke udara. Tangannya masih memegang selendang Siti Nilam. Di udara dia berjumpalitan dalam gelap. Dan tangannya bekerja cepat. Dia tak menangkap seluruh tombak itu dengan belitan selendangnya. Tapi dengan tenaga bathinnya yang tinggi dia mengibaskan selendang itu berputar di udara. Sungguh hebat! Seluruh tombak itu mencong arahnya terkena sambaran angin yang dikibaskan dari selendang di tangannya. Dan hanya dalam enam hitungan sejak dia melompat tadi, anak muda ini turun lagi di tanah. Persis di tempatnya semula. Dan itu pula semula suluh dihidupkan lagi secara serentak.
Sekilas saja, Pandeka Sangek mengerti bahwa serangan dengan tombak yang pertama tadi tak satupun yang mengenai lawan. Dia sempat mendengar suara desakan angin ketika anak muda itu melambung ke udara dalam gelap tadi, dan dia juga mendengar suara tombak yang terpukul arahnya oleh kibasan tenaga dalamnya itu. Kini dia mempergunakan taktik kedua.
Begitu suluh hidup, dan si Giring-Giring Perak serta teman-temannya tiba-tiba kembali merasa silau di sebabkan nyala suluh yang tiba-tiba itu, kembali beberapa tombak melayang. Tombak-tombang itu diarahkan pada rombongan Datuk Sipasan.
Sementara Pandeka Sangek sendiri menyerang anak muda itu dengan serangan pisau beracun. Lemparan pisau beracun-nya yang kecil-kecil, tak lebih dari sebesar keling-king, amat berbahaya.
Pisau itu selain amat tajam dan runcing, juga telah disepuh dengan bisa yang amat tangguh. Tak usah tertancap, goresan kecil saja yang dia timbul-kan pada salah satu bahagian kulit di tubuh manu-sia, sanggup merenggut nyawa. Dan anak muda itu amat arif akan hal ini.
Karenanya dia tak mau berlaku gegabah. Saat itu matanya masih dalam keadaan silau karena puluhan suluh yang dihidupkan tiba-tiba. Kini dia hanya mengandalkan pen-dengarannya yang amat tajam itu. Dia memejam-kan mata. Mendengar pisau-pisau kecil itu menggebu ke arahnya.
Lebih dari lima buah. Dan enam batang tombak melesat pula ke atari teman-teman di belakangnya. Kalau keadaan begini terus, yaitu jika mereka diserang terus-terusan dalam keadaan silau, di mana suluh tiba-tiba dihidupkan, kemudian dimatikan, dihidupkan lagi, dan seterusnya, dan mereka diserang dalam keadaan begitu, lama-lama pasti banyak korban yang jatuh. Karena itu, dia harus mencari akal untuk mengatasi taktik Pandeka Sangek ini. Dia yakin, di tiap suluh yang dihidup matikan itu, pasti ada seorang lelaki yang menjaga. Mereka
siap meniup suluh itu hingga padam jika diisyaratkan oleh pimpinan mereka. Dan siap pula menghidupkannya dengan catuih api begitu isyarat berupa suitan berbunyi.
Dia tak ingin suluh itu dimatikan. Karena kegelapan bisa membuat rombongan Datuk Sipasan jadi celaka. Karenanya untuk menolong dan meng-awasi mereka, suluh itu harus hidup terus. Dengan pikiran begini, Si Giring-Giring Perak lalu memu-satkan perhatiannya pada suluh-suluh itu. Jumlah suluh itu yang hidup kini hanya lima belas buah. Tegak mengelilingi mereka dalam jarak delapan depa.
Dia yakin, taman-temannya yang berada di belakang pasti mampu menghindarkan hunjaman tombak itu. Mereka bukan pesilat-pesilat awam. Meski belum mempunyai ilmu tinggi, namun tidak terlalu rendah. Dengan berfikiran demikian, anak muda ini menanti datangnya pisau-pisau beracun yang dilemparkan oleh Pandeka Sangek.
Dia tidak mau mengambil resiko untuk me-nyambutnya, lalu melemparkan ke arah orang-orang yang menjaga suluh itu.
Tidak, itu terlalu berbahaya.
Karena itu, begitu pisau itu dia taksir berjarak dua depa dari dirinya, anak muda ini kembali mempergunakan selendang Siti Nilam yang masih berada di tangannya. Dengan menyalurkan tenaga bathinnya yang tinggi, selendang itu tiba-tiba menggeliat dan bergulung ujungnya. Kemudian dengan sebuah sentakan keras, gulungan itu lepas dan terdengar suara letusan kecil. Kibasan ujung selendang itu membuat pisau-pisau kecil tersebut seperti membentur dinding karet yang liat dan kenyal. Senjata itu berbalik arah dengan kecepatan yang lebih tinggi dari saat dia datang tadi. Pandeka Sangek sudah menduga bahwa anak muda ini pasti sanggup menangkis serangannya. Beberapa pisau-pisaunya akan dipu-kul berbalik menyerang dirinya. Dan hal itu ter-nyata benar. Pisau-pisaunya itu berbalik arah. Malahan dengan kekuatan dan kecepatan yang lebih hebat dari yang dia lemparkan tadi.
Dia melambung tinggi sambil berkata :
Bagus!
Dalam melompat itu, dia menghantamkan sebuah pukulan tenaga dalam kepada Si Giring-Giring Perak. Namun dia segera jadi terkejut dan merasa dikicuh tegak-tegak tatkala dia dengar anak buahnya pada memekik! Dia tak jadi menghantamkan pukulannya. Tetapi turun kembali cepat-cepat.
Dan dia segera sadar, senjata rahasia yang dia lemparkan tadi, dan dipukul berbalik, ternyata bukan diarahkan pada dirinya. Melainkan pada anak buahnya. Dan empat orang anak buahnya yang tegak menjaga suluh melosoh jatuh dengan dada dan jidat ditembus pisau beracun milik pimpinannya sendiri! Saat dia turun itu, suluh yang lain pada padam. Tapi yang empat buah itu masih hidup. Dan Pandeka ini segera tahu, keempat anak buah-nya itu telah pugat oleh pisau beracunnya.
"Luar biasa!!!" dia bergumam setelah tegak dengan sempurna di tanah. Dan pada saat itu keenam batang tombak yang dilemparkan ke arah Datuk Sipasan dan teman-temannya juga telah dipukul jatuh ke tanah. Pandeka Sangek jadi maklum, bahwa dengan perkelahian jarak jauh, dia'akan banyak mengalami kerugian. Karenanya dia lalu mengatur siasat baru.
"Anak muda, ilmu bathinmu ternyata amat tinggi. Saya ingin belajar sedikit ilmu silat dari Gunung Talang"
Sehabis berkata begitu dia memberi isyarat lagi. Dan kembali suluh-suluh yang tadi dipadamkan, hidup kembali. Kemudian, setelah membungkuk sedikit tanda memberi hormat, Pandeka Sangek mulai membuka langkah silat. Dan pada langkah kedua, anak muda itu segera tahu, Pandeka ini membuka dengan jurus silat Starlak. Dia tetap tegak menanti. Pada langkah ketiga, dengan sebuah langkah panjang menyam-ping, Pandeka itu telah berada di sisi kirinya.
Anak muda itu masih tegak diam. Dan Pandeka itupun membuka serangan pertamanya. Dengan masih tetap menyamping, dia mengirimkan tendangan dengan sisi kaki ke rusuk Si Giring-Giring Perak. Tendangan itu luar biasa cepatnya. Anak muda ini membuang langkah ke samping. Tapi tendangan itu beruntun sebanyak tiga kali. Mengarah ke rusuk, ke lutut ke kepala. Dilakukan dengan cepat dan tanpa kaki kanannya yang menendang itu mencecah tanah. Dia tegak hanya dengan kaki kiri. Dan kaki kirinya membuat loncatan kecil mendekati anak muda itu setiap menendang. Si Giring-Giring Perak bukannya tak sering melihat serangan Starlak yang tangguh. Tapi cara bersilat Pandeka ini cukup aneh dan serangannya berbahaya. Ketika dia terpaksa membuang langkah ke kiri menghindarkan tendangan ke kepala. Pandeka itu tiba-tiba menarik kakinya dan kini ujung-ujung jari tangannya menghunjam ke dada. Ujung jari-jari yang dirapatkan itu seperti ujung pisau. Melaju ke arah jantung. Kembali Si Giring-Giring Perak dibuat kagum dengan kecepatan lelaki ini bergerak. Jurus serangan ke.empat ini dia hindarkan dengan merendah-kan diri.
Tapi serangan berikutnya benar-benar membuat anak muda ini tidak hanya sekedar kagum tetapi juga kaget. Begitu dia menunduk, dan tikaman dengan ujung-ujung jari-jari itu lewat di atas kepalanya dengan cepat sekali serangan itu berobah menjadi hantaman dengan siku! Siku-nya i menghujam ke bawah, ke arah tengkuk Si Giring-Giring Perak. Semua orang yang tegak menonton pertarungan itu dengan diam dan tegang, tak melihat apa yang tengah terjadi. Gerakan kedua lelaki itu amat cepat untuk mereka tangkap dengan pandangan. Hanya Datuk Sipasan yang masih mampu mengikuti pertarungan itu dengan baik dengan tatapan matanya yang cukup a was.
Dia jadi berdebar melihat siku tangan Pandeka yang memburu tengkuk anak muda itu. Dia tak mau berteriak meskipun dia ingin sekali berseru memperingati bahaya itu. Tapi anak muda itu su-dah mencium bahaya. Dengan cepat dia menjatuh-kan diri ke tanah. Dengan demikian dirinya terhin-dar dari terkaman siku lawan, Namun sebelum dirinya sempurna jatuh ke tanah kaki kiri Pandeka itu bergerak. Dia berusaha menangkap namun, sebuah kibasan kaki yang ligat tetap saja meng-hantam rusuknya.
Terdengar suara berdebuk dan tubuh anak muda itu tercampak dua depa! Anak muda itu bukannya tak merasakan datang-nya tendangan itu, ia telah berusaha menyambut-nya dengan tangan. Namun posisinya dalam keada-an tidak menguntungkan. Dia tengah menjatuhkan diri. Betapapun jua, saat itu dia tak bisa bergerak banyak. Makanya dia lalu menyalurkan tenaga bathinnya ke rusuk. Ke tempat yang dia duga akan diterpa tendangan itu. Dan hal itupun terjadi-lah! Si Giring-Giring Perak segera merasakan sakit yang menyengat di rusuknya. Dia mengerahkan lagi tenaga bathinnya ke sana. Namun rasa sakit yang menyengat itu masih membakar. Dia meraba rusuknya dan dengan terkejut dia merasakan beta-pa rusuknya basah. Dan ketika dia melihat tangan-nya, dia jadi keget. Telapak tangannya merah oleh darah! Dan rasa sakit makin menyengat. Pukulan dengan siku dan tendangan tadi jelas serangan yang berasal dari Silat Pangian. Silat tangguh yang berasal dari Pangian Tanah Datar,
Ternyata Pandeka ini menggabungkan silat Starlak dengan Pangian dalam jurus-jurus yang berbahaya. Dia menarik nafas. Kemudian tegak. Tangannya masih menutup luka di rusuknya.
"Serangan Pangian yang luar biasa..." katanya perlahan dengan jujur. Pandeka itu tak menjawab. Tapi kembali membuka langkah. Dan seperti tadi, dalam tiga langkah yang panjang dan menyamping kembali dia berada di sisi kiri anak muda itu. Kali ini si Giring-Giring Perak berlaku waspada. Rasa pedih bekas tendangan tadi masih terasa menyengat. Menyengat! Ya, pedihnya menyengat. Anak muda ini segera sadar, nama lelaki yang dia hadapi itu adalah Pandeka Sangek. Gelar yang di-berikan bagi pesilat biasanya ada sangkut pautnya dengan kepandaian yang dia andalkan.
Datuk Sipasan misalnya bergelar demikian karena tangannya dicelup dengan bisa ribuan Lipan. Dan cara dia menyudahi lawannya persis seperti sipasan (Lipan). Yaitu dengan mempergu-nakan dua jarinya sebagai taring untuk memasuk-kan bisa. Dan kini Pandeka Sangek tentulah punya keistimewaan menurut namanya itu
Giring Giring Perak : Episode 20 Terpotong
Kami mohon maaf, karena kerusakan yg terdapat pada buku yg kami miliki Episode ke 20 ini hanya dapat kami tampilkan sebagian
...
cukup banyak anak buah kami di sana...."
"Kematian dibalas kematian?"
"Ya"
"Bagaimana dengan rombongan Datuk ini, yang juga banyak yang mati hari itu?"
"Itu urusan mereka untuk membalaskannya. Apakah mereka mampu atau tidak untuk mem-balas"
"Kalau mereka tak mampu?"
"Hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat dia yang berkuasa"
"Lalu bagaimana dengan puluhan atau ratusan orang yang telah kalian rampok dan kalian sembelih di bukit itu selama puluhan tahun ini?"
"Kalau mereka ingin membalas, silahkan datang ke sana!"
Si Giring-Giring Perak tersenyum tipis. Mereka bertatapan. Dan Pandeka Sangek ingin memulai perkelahian ini. Dia tahu bahwa dia berada di pihak yang menang.
Anak muda itu terpaksa melindungi pengungsi-pengungsi tersebut. Terlebih lagi dia harus melindungi perempuannya. Dia melihat tadi betapa salah seorang dari perempuan-perempuan itu, yang paling muda, dan yang paling cantik pula, mende-kap anak muda itu ketika mula-mula muncul.
nan, kelemahan itu akan dia pergunakan. Betapapun jua, serangan harus diarahkan pada dua sasaran. Pertama pada anak muda itu sendiri, dan yang kedua pada para pengungsi itu untuk memecah konsentrasi anak muda tangguh ini.
Dengan perhitungan demikian, Pandeka Sangek mengibaskan tangan memberi isyarat.Bagi Si Giring-Giring Perak maupun Datuk sipasan belum bisa menduga apa arti kibasan tangan penguasa dari Gunung Rajo itu, ketika tiba-tiba seluruh suluh dan damar yang nyala mengeli-lingi mereka pada padam serentak!
...
cukup banyak anak buah kami di sana...."
"Kematian dibalas kematian?"
"Ya"
"Bagaimana dengan rombongan Datuk ini, yang juga banyak yang mati hari itu?"
"Itu urusan mereka untuk membalaskannya. Apakah mereka mampu atau tidak untuk mem-balas"
"Kalau mereka tak mampu?"
"Hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat dia yang berkuasa"
"Lalu bagaimana dengan puluhan atau ratusan orang yang telah kalian rampok dan kalian sembelih di bukit itu selama puluhan tahun ini?"
"Kalau mereka ingin membalas, silahkan datang ke sana!"
Si Giring-Giring Perak tersenyum tipis. Mereka bertatapan. Dan Pandeka Sangek ingin memulai perkelahian ini. Dia tahu bahwa dia berada di pihak yang menang.
Anak muda itu terpaksa melindungi pengungsi-pengungsi tersebut. Terlebih lagi dia harus melindungi perempuannya. Dia melihat tadi betapa salah seorang dari perempuan-perempuan itu, yang paling muda, dan yang paling cantik pula, mende-kap anak muda itu ketika mula-mula muncul.
nan, kelemahan itu akan dia pergunakan. Betapapun jua, serangan harus diarahkan pada dua sasaran. Pertama pada anak muda itu sendiri, dan yang kedua pada para pengungsi itu untuk memecah konsentrasi anak muda tangguh ini.
Dengan perhitungan demikian, Pandeka Sangek mengibaskan tangan memberi isyarat.Bagi Si Giring-Giring Perak maupun Datuk sipasan belum bisa menduga apa arti kibasan tangan penguasa dari Gunung Rajo itu, ketika tiba-tiba seluruh suluh dan damar yang nyala mengeli-lingi mereka pada padam serentak!
Giring Giring Perak : Episode 19 - Pengepungan Tengah Malam
Akan halnya si Giring Giring Perak, begitu mendengar cerita lelaki besar dalam kedai itu bahwa .Datuk Sipasan dalam bahaya, segera berjalan cepat menuju ke rumah Datuk itu di Silaing. Sudan lebih dari sepekan dia pergi me-ninggalkan rumah Datuk itu. Dia telah mengitari negeri-negeri di sekitar Silaing ini untuk mencari ayah dan ibunya. Namun usahanya tetap tak ber-hasil. Tak seorangpun yang pernah mendengarkan tentang ada keluarga yang kehilangan anak, Dalam terpaan angin dingin serta gerimis yang menusuk tulang, dia berlari cepat menuju rumah Datuk Sipasan itu. Firasatnya mengatakan bahwa Datuk itu pasti tengah dalam bahaya besar.
Saat itu, di dalam rimba Silaing, Datuk Sipasan dan teman-temannya tengah dikepung oleh anak buah Pandeka Sangek. Anak-anak dan perempuan mereka letakkan di tengan lingkaran yang mereka belakangi. Datuk Sipasan tahu bahwa nyawa mereka dalam bahaya besar. Dia berfikir cepat sementara lebih dari dua puluh lelaki kini dengan pedang di tangan maju langkah demi langkah niemperkecil kepungan mereka, Anak buah Pandeka Sangek bukannya tak tahu, bahwa ketujuh lelaki yang kini mereka kepung adalah pengungsi dari Pariaman yang secara "ajaib" lolos dari penyembelihan di Bukit Tambun Tulang.
Tak ada orang yang bisa selamat melewati bukit itu. Apalagi bila dalam rombongan ada perempuan-perempuan cantik seperti yang ikut dalam rombongan Datuk ini. Dan lolosnya rombongan Datuk Sipasan bukannya tak menjadi buah bibir di kalangan penduduk. Namun tak seorangpun yang berani bertanya bagaimana caranya mereka lolos dari maut yang bertahta di Bukit Tambun tulang itu. Sebab satu hal telah pasti, yaitu: Yang berhasil lolos dari sana pastilah pesilat-pesilat tangguh. Dan hal itu telah terbukti tatkala beberapa hari yang lalu empat orang anak buah Pandeka Sangek mati pula di rumah Datuk ini di Silaing. Akan halnya Pandeka Sangek, yang memang hadir dalam pengepungan Datuk Sipasan di hutan Silaing itu, belum menampakkan diri. Dia masih tegak di balik pohon, berlindung dalam gelap. Dia adalah kakak seperguruan Gampo Bumi yang terlibat perkelahian dengan Datuk Sipasan dan Si Giring-Giring Perak itu di Bukit Tambun Tulang. Begitu rombongan Datuk Sipasan lolos bersama anak muda itu, Gampo Bumi mengirim pesan melalui kurirnya pada kakak seperguruannya ini di Gunung Rajo.
Isi pesan sederhana saja. Bunuh semua lelaki yang datang dari Pariaman itu. Tapi ketika pesan itu disampaikan ke Gunung Rajo, Pandeka Sangek tengah tak di tempat. Dia berada di Pagaruyung. Di rumah bininya yang ke 14. Itulah sebabnya rombongan Datuk Sipasan tetap aman sampai dua pekan di Silaing. Datuk Sipasan bersiap menanti kepungan yang makin merapat itu. Dia berbisik pada Lebak Tuah di sampingnya. Lebak ini berbisik pula pada temannya. Dan bisik itu diteruskan beranting dalam keadaan waspada penuh. Dan ketika bisik itu sudah mencapai ke-7 lelaki teman Datuk itu terdengar pekik menyerang dari Pandeka Sangek. Kibasan pedang berkilat ditimpa cahaya obor. Ke tujuh lelaki dari Pariaman itu tak bergerak sedikitpun. Musuh mereka sudah menyerang beberapa jurus. Namun suatu saat, dalam suatu gerakan yang sempurna, ketujuh lelaki itu tiba-tiba maju beberapa langkah. Dan dalam waktu enam hitungan, secara mengagumkan sekali ketujuh mereka telah menangkap masing-masing seorang anak buah Pandeka Sangek.
Ke tujuh lelaki yang mereka tangkap itu kini mereka jadikan tameng. Mereka kunci lehernya dari belakang, dan mereka buat pagar din.
"Pandeka Sangek, anak buahmu ini kami jadikan sandera. Kalau kau tak memberi kami jalan, mereka akan kami bunuh."
Datuk Sipasan mengancam. Semua anak buah Pandeka Sangek jadi terdiam.
Mereka tak menyangka siasat Datuk ini seperti itu. Itulah tadi rupanya yang dibisikkan mereka, Gerakan mereka menangkap itu benar-benar luar biasa.
Dan kini mereKa memang tak bisa maju menyerang. Sebab salah-salah bisa mengenai dan melukai teman mereka sendiri yang kini tengah disekap oleh ketujuh lelaki dari Pariaman itu.
Namun sebagai jawaban, terdengar tawa berguman. Dan suatu suara yang mencemeeh:
"He...he... kau takkan lolos Datuk. Perempuan-perempuan harus menjadi bini kami. Dan kalian akan menjadi cacing atau dilahap binatang buas di,rimba ini. Kalian takkan lolos...."
"Tapi kalian juga takkan berhasil melawan kami. Kami akan bunuh teman-teman kalian ini...."
"He,..he... nyawa mereka sama tak berharganya seperti nyawa kalian,..".
Dan sehabis berkata begini terdengar desiran perlahan. Datuk Sipasan terkejut.
Suara itu pasti-ih suara senjata rahasia. Dan sebelum dia sempat 4nemberi ingat dan temantemannya, terdengar jeritan-jeritan. Dan Datuk itu tiba-tiba merasa lelaki yang dia katuk sebagai tameng itu terlon-jak. Dan kemudian terkulai. Layu. Mati Datuk Sipasan keget, Dia inenatap ke kiri, ke kanan dan memutar kepala ke belakang. Dan ke-enam lelaki lainnya, yang dikatuk pula oleh teman-temannya, semua pada terkulai mati!
Dada mereka semua ditembus oleh senjata rahasia. Datuk Sipasan tertegun. Kali ini wajahnya benar-benar pucat. Dia sudah hanyak mendengar kekejaman orang. Sudah sering mendengar tingkah penyamun yang kejam-kejam, Tapi melihat pimpinan yang membunuh anak buahnya sendiri, baru kali ini dia temui.
Hampir serentak mereka melepaskan tubuh ketujuh lelaki yang telah jadi mayat itu. Dan kini, ketujuh lelaki dari Paiaman itu kembali tegak dengan keris di tangan. Dengan membuat lingkaran. Dengan anak-anak dan perempuan berada dalam iingkaran di belakang mereka.
"Kejam... benar-benar kejam..." Datuk Sipasan bergumam. Sementara matanya coba menembus kegelapan malam dirimba itu untuk mencari di mana beradanya orang yang bernama Pandeka Sangek itu.
"Tak ada yang kejam Datuk. Kami memang tak memerlukan orang-orang bodoh. Dan demi mendapatkan perempuan-perempuan kalian, mereka harus mati. Tangkap mereka!!"
Saat itu, di dalam rimba Silaing, Datuk Sipasan dan teman-temannya tengah dikepung oleh anak buah Pandeka Sangek. Anak-anak dan perempuan mereka letakkan di tengan lingkaran yang mereka belakangi. Datuk Sipasan tahu bahwa nyawa mereka dalam bahaya besar. Dia berfikir cepat sementara lebih dari dua puluh lelaki kini dengan pedang di tangan maju langkah demi langkah niemperkecil kepungan mereka, Anak buah Pandeka Sangek bukannya tak tahu, bahwa ketujuh lelaki yang kini mereka kepung adalah pengungsi dari Pariaman yang secara "ajaib" lolos dari penyembelihan di Bukit Tambun Tulang.
Tak ada orang yang bisa selamat melewati bukit itu. Apalagi bila dalam rombongan ada perempuan-perempuan cantik seperti yang ikut dalam rombongan Datuk ini. Dan lolosnya rombongan Datuk Sipasan bukannya tak menjadi buah bibir di kalangan penduduk. Namun tak seorangpun yang berani bertanya bagaimana caranya mereka lolos dari maut yang bertahta di Bukit Tambun tulang itu. Sebab satu hal telah pasti, yaitu: Yang berhasil lolos dari sana pastilah pesilat-pesilat tangguh. Dan hal itu telah terbukti tatkala beberapa hari yang lalu empat orang anak buah Pandeka Sangek mati pula di rumah Datuk ini di Silaing. Akan halnya Pandeka Sangek, yang memang hadir dalam pengepungan Datuk Sipasan di hutan Silaing itu, belum menampakkan diri. Dia masih tegak di balik pohon, berlindung dalam gelap. Dia adalah kakak seperguruan Gampo Bumi yang terlibat perkelahian dengan Datuk Sipasan dan Si Giring-Giring Perak itu di Bukit Tambun Tulang. Begitu rombongan Datuk Sipasan lolos bersama anak muda itu, Gampo Bumi mengirim pesan melalui kurirnya pada kakak seperguruannya ini di Gunung Rajo.
Isi pesan sederhana saja. Bunuh semua lelaki yang datang dari Pariaman itu. Tapi ketika pesan itu disampaikan ke Gunung Rajo, Pandeka Sangek tengah tak di tempat. Dia berada di Pagaruyung. Di rumah bininya yang ke 14. Itulah sebabnya rombongan Datuk Sipasan tetap aman sampai dua pekan di Silaing. Datuk Sipasan bersiap menanti kepungan yang makin merapat itu. Dia berbisik pada Lebak Tuah di sampingnya. Lebak ini berbisik pula pada temannya. Dan bisik itu diteruskan beranting dalam keadaan waspada penuh. Dan ketika bisik itu sudah mencapai ke-7 lelaki teman Datuk itu terdengar pekik menyerang dari Pandeka Sangek. Kibasan pedang berkilat ditimpa cahaya obor. Ke tujuh lelaki dari Pariaman itu tak bergerak sedikitpun. Musuh mereka sudah menyerang beberapa jurus. Namun suatu saat, dalam suatu gerakan yang sempurna, ketujuh lelaki itu tiba-tiba maju beberapa langkah. Dan dalam waktu enam hitungan, secara mengagumkan sekali ketujuh mereka telah menangkap masing-masing seorang anak buah Pandeka Sangek.
Ke tujuh lelaki yang mereka tangkap itu kini mereka jadikan tameng. Mereka kunci lehernya dari belakang, dan mereka buat pagar din.
"Pandeka Sangek, anak buahmu ini kami jadikan sandera. Kalau kau tak memberi kami jalan, mereka akan kami bunuh."
Datuk Sipasan mengancam. Semua anak buah Pandeka Sangek jadi terdiam.
Mereka tak menyangka siasat Datuk ini seperti itu. Itulah tadi rupanya yang dibisikkan mereka, Gerakan mereka menangkap itu benar-benar luar biasa.
Dan kini mereKa memang tak bisa maju menyerang. Sebab salah-salah bisa mengenai dan melukai teman mereka sendiri yang kini tengah disekap oleh ketujuh lelaki dari Pariaman itu.
Namun sebagai jawaban, terdengar tawa berguman. Dan suatu suara yang mencemeeh:
"He...he... kau takkan lolos Datuk. Perempuan-perempuan harus menjadi bini kami. Dan kalian akan menjadi cacing atau dilahap binatang buas di,rimba ini. Kalian takkan lolos...."
"Tapi kalian juga takkan berhasil melawan kami. Kami akan bunuh teman-teman kalian ini...."
"He,..he... nyawa mereka sama tak berharganya seperti nyawa kalian,..".
Dan sehabis berkata begini terdengar desiran perlahan. Datuk Sipasan terkejut.
Suara itu pasti-ih suara senjata rahasia. Dan sebelum dia sempat 4nemberi ingat dan temantemannya, terdengar jeritan-jeritan. Dan Datuk itu tiba-tiba merasa lelaki yang dia katuk sebagai tameng itu terlon-jak. Dan kemudian terkulai. Layu. Mati Datuk Sipasan keget, Dia inenatap ke kiri, ke kanan dan memutar kepala ke belakang. Dan ke-enam lelaki lainnya, yang dikatuk pula oleh teman-temannya, semua pada terkulai mati!
Dada mereka semua ditembus oleh senjata rahasia. Datuk Sipasan tertegun. Kali ini wajahnya benar-benar pucat. Dia sudah hanyak mendengar kekejaman orang. Sudah sering mendengar tingkah penyamun yang kejam-kejam, Tapi melihat pimpinan yang membunuh anak buahnya sendiri, baru kali ini dia temui.
Hampir serentak mereka melepaskan tubuh ketujuh lelaki yang telah jadi mayat itu. Dan kini, ketujuh lelaki dari Paiaman itu kembali tegak dengan keris di tangan. Dengan membuat lingkaran. Dengan anak-anak dan perempuan berada dalam iingkaran di belakang mereka.
"Kejam... benar-benar kejam..." Datuk Sipasan bergumam. Sementara matanya coba menembus kegelapan malam dirimba itu untuk mencari di mana beradanya orang yang bernama Pandeka Sangek itu.
"Tak ada yang kejam Datuk. Kami memang tak memerlukan orang-orang bodoh. Dan demi mendapatkan perempuan-perempuan kalian, mereka harus mati. Tangkap mereka!!"
Giring Giring Perak : Episode 18 - Maling Budiman
Si Giring-Giring Perak merasa cukup mendapat informasi: Dia membasuh tangan. Tegak, kemudian melangkah menemui orang yang punya lepau.
"Hei, ketan waang belum liabis. Kemana waang buyung?" Si pendek teman sitinggi bertanya, "Saya mau tidur..."
"Ya. Lebih baik waang cepat tidur. Hari sudah larut. Nanti waang masuk angin, Besok waang seko-lah bukan?. He...he..Jie" Sitinggi berkata sambil menyumpalkan sekepal ketan dan empat buah isi durian ke mulutnya. Dan terdengar bunyi gemertak gemertak tatkala giginya mengunyah biji durian bersama ketan itu. Lelaki ini memakan durian ber-sama biji-bijinya
sekaligus.
Si Giring-Giring Perak memberikan sebuah mata uang terbuat dari perak. Kemudian dia berjalan.
"Hei, ini terlalu banyak anak muda..?." orang lepau berseru.
"Ambil saja. Dan semua yang makan dan minum di lepau ini malam saya bayarkan.... kata-nya sambil menoleh pada ketiga orang di mejanya tadi. Ketiga orang itu berhenti menyuap.
Mereka memandang pada anak muda itu.
"Hei buhung, waang membayarkan kami?" Anak muda itu mengangguk.
"Kaya waang ya? Apakah waang ulang tahun, makanya teragak membayarkan kami malam ini?"
"Tidak, duit itu kalian yang punya...." sehabis berkata begini, anak muda itu melangkah keluar. Menutupkan pintu dan berjalan ke dalam gelapnya malam.
Ketiga lelaki itu termangu. Saling pandang. Tiba-tiba sitinggi besar yang tadi duduk dekat anak muda itu merogoh puro di pinggangnya. Dia menyimpan uang rampokan di puro itu. Puronya masih ada. Dan -masih penuh. Dia ambil puro itu, kelihatan masih gembung.
"He....he....masih penuh. Anak muda itu bergarah. Dia pandai melawak...." kata Sitinggi. Tapi teman-temannya tak tertawa. Mereka melihat ada yang ganjil di puro itu. Sitinggi sadar akan tatapan teman-temannya.
Dia memperhatikan puronya baik-baik. Tiba-tiba dia membuka puro itu. Menunggangkannya kemeja. Dan dari dalam puro itu, berjatuhan biji-biji durian.
"Beruk! Anjing! Anjing beruk!! Anak itu anak anjing dan anak beruk sekaligus!! Dia cilok duit saya. Pancilok dia!!"
Berkata begini, lelaki tinggi besar itu melompat berdiri memburu anak muda itu ke pintu. Namun teman-temannya jadi tertawa tatkala lelaki itu ter-henti. Dan celananya melorot jatuh ke bawah. Di balik celana galembongnya itu lelaki tersebut tak memakai apa-apa. Tangannya segera bergerak menutup anu-nya. Muka lelaki ini jadi pucat karena berang.
Rupanya anak muda tadi benar-benar menger-jakan lelaki ini dengan sempurna. Puro tempat inenyimpan uang itu dia simpan di balik ikat pinggangnya, Dan ternyata ikat pinggang dari kulit itu diputus oleh si Giring-Giring perak tanpa dia ketahui. Lelaki itu menunduk memungut celananya. Karena dia menungging pantatnya menghadap pada keenam lelaki yang datang dari Lima Kaum. Kelima lelaki itu, yang tadi ikut tertawa tergelak, kecuali si ga'gap yang masih merasakan Jinu tulang belulangnya, tiba-tiba jadi terdiam melihat pantat yang tersonggeng tak bertutup itu. Mereka terdiam karena pantat lelaki itu bopeng dan berkudis. Dan kudis yang banyak itu jelas terlihat dalam cahaya lampu di kedai tersebut.
Dua orang yang sedang makan ketan durian merasa perut mereka mual. Dan mereka lalu muntah. Si tinggi besar memakai celananya. Dia menyumpah panjang pendek. Berjalan kepintu, menerjang pintu kedai itu hingga somprak. Lalu menghambur keluar. Dia berharap masih bisa melihat anak muda itu. Dia akan menyambak rambutnya. Akan dia hempaskan sampai patah patah ke dalarn kedai. Namun di luar dia hanya di sambut oleh terpaan angin dan gerimis.
"Kaleraaa......!! Awas waang kalera!! Kalau waang kutemui suatu saat kelak, saya lulur waang dengan seluruh bulu-bulu waang!!"
Lelaki itu berteriak dalam gelapnya malam.
Teriakannya yang mengguntur membuat kerbau pedati-pedati yang tertambat di luar kedai jadi menggado-gah terkejut. Lelaki itu melompat kaget mendengar suara kerbau pada melenguh itu. Tapi dia jadi malu sendiri ketika dia sadar bahwa suara lenguh itu adalah suara kerbau. Dia masuk lagi ke kedai, menyumpah panjang pendek. Lalu duduk di dekat teman-temannya yang masih tertawa.
"Tumbuang! Apa yang kalian gelakkan..,!!" Lelaki itu menyumpah dan membentak.
Temannya pada terdiam. Lelaki itu meraup ketan dan durian di piring kemudian sambil tetap -menyumpah-nyumpah, ketan dan durian itu dia sumbatkan ke mulutnya. Matanya terbualang-bulalang mene-lan makanan itu.
Dan ketika dia selesai makan, lelaki tinggi besar ini berjalan, ke tempat pemilik kedai. "Mana duit yang diberikan anak muda itu tadi..." bentaknya,
Pemilik kedai ini tak mau can penyakit. Dia memberikan duit itu. Lelaki besar tersebut berjalan mengitari meja, dan Klni dia berada di dekat pemilik kedai. Tangannya meraih lad, membukanya dan dari dalam dia mengeruk uang yang ada, kemudian memasukkan semua ke dalam uncangnya.
"Anak beruk itu mencilok duitku di dalam kedaimu ini. Karena itu kau wajib menggantinya.."
Dia berkata sambil mendorong kepala pemilik kedai tersebut. Si pemilik kedai sebenarnya juga seorang pesilat. Tapi dia yakin ketiga lelaki anak buah Pandeka Sangek ini bukan tandingannya. Karena itu dia hanya menunduk diam. Meski pun hasil pencahariannya dalam sepekan ini ludes sudah. Kemudian ketiga lelaki itu berjalan mening-gaJkan lepau tersebut. Si pemilik kedai membetul-kan pintu kedainya yang sudah copot kena terjang. Kemudian membetulkan meja.
"Orang bagak nampaknya ketiga orang tadi engku..." salah seorang lelaki bertanya, Lelaki tua pemilik kedai itu menatapnya. Si gagap yang tadi kena hajar dan seorang temannya Jagi, sudah duduk dan menelungkup kemeja menahan sakit.
"Dia tidak hanya bagak. Tapi juga berkuasa. Mereka anak buah Pandeka Sangek. Dan mereka tengah mengadakan pembalasan dan pengejaran terhadap beberapa pengungsi yang datang dari Pariaman. . . . .!!
"Kenapa permusuhan itu timbul?" "Orang-orang Pariarnan itu membunuh empat orang anak buah Pandeka Sangek beberapa hari yang lalu...."
"Hmm... nampaknya orang Pariaman itu juga orang bagak..."
"Mereka membunuh ada alasan, Isteri Pimpin-an pengungsi itu hampir diperkosa oleh anak buah Pandeka Sangek. Itu sebabnya dia dibunuh..." Lelaki pemilik kedai itu berhenti bicara, tatkala di balik gelas-gelas dia melihat bungkusan kecil. Dia mengambilnya, dan membuka bungkusan itu. Matanya terbelalak, di dalam bungkusan itu terdapat banyak sekali uang perak dan benggol. Tak pelak lagi duit itu pastilah dit sitinggi besar tadi. Anak muda berbaju putih dan bergiringgiring perak itu rupanya telah menyikat seluruh duit milik lelaki itu. Dan meletakkannya di dekat gelas ketika akan keluar. Anak muda itu rupanya sudah menduga, bahwa silelaki besar itu pasti akan menyikat duit pemilik kedai. Dan kini, pemilik kedai itu mendapat ganti puluhan kali lebih banyak dari duitnya yang disikat anak buah Pandeka Sangek tadi. Mukanya berobah jadi berseri-seri. "Anak muda luar biasa. Berhati budiman...." Katanya sambil menyimpan duit itu. Keenam lelaki dari Lima Kaum itu pada terheran-heran. "Siapa yang luar biasa dan budiman?" "Anak muda - bergiring-giring perak itu....." "Anak muda kerempeng tadi?" "Ya...." "Puih, saya lihat dia diam saja ketika sitinggi besar itu menolakkan kepalanya ketika mereka akan duduk di sisinya tadi. Tak ada orang yang mau kepalanya dipegang begitu saja. Kalau kepala saya tadi yang didorong begitu, nyawa ketiga lelaki itu pasti sudah saya habisi...."
Lelaki tua pemilik kedai itu hanya tersenyum. Dia tahu, lelaki dari Lima Kaum ini hanya besar bual. Padahal tadi dia diam saja ketika dua temannya hampir disunat oleh lelaki tinggi itu.
"Hei, ketan waang belum liabis. Kemana waang buyung?" Si pendek teman sitinggi bertanya, "Saya mau tidur..."
"Ya. Lebih baik waang cepat tidur. Hari sudah larut. Nanti waang masuk angin, Besok waang seko-lah bukan?. He...he..Jie" Sitinggi berkata sambil menyumpalkan sekepal ketan dan empat buah isi durian ke mulutnya. Dan terdengar bunyi gemertak gemertak tatkala giginya mengunyah biji durian bersama ketan itu. Lelaki ini memakan durian ber-sama biji-bijinya
sekaligus.
Si Giring-Giring Perak memberikan sebuah mata uang terbuat dari perak. Kemudian dia berjalan.
"Hei, ini terlalu banyak anak muda..?." orang lepau berseru.
"Ambil saja. Dan semua yang makan dan minum di lepau ini malam saya bayarkan.... kata-nya sambil menoleh pada ketiga orang di mejanya tadi. Ketiga orang itu berhenti menyuap.
Mereka memandang pada anak muda itu.
"Hei buhung, waang membayarkan kami?" Anak muda itu mengangguk.
"Kaya waang ya? Apakah waang ulang tahun, makanya teragak membayarkan kami malam ini?"
"Tidak, duit itu kalian yang punya...." sehabis berkata begini, anak muda itu melangkah keluar. Menutupkan pintu dan berjalan ke dalam gelapnya malam.
Ketiga lelaki itu termangu. Saling pandang. Tiba-tiba sitinggi besar yang tadi duduk dekat anak muda itu merogoh puro di pinggangnya. Dia menyimpan uang rampokan di puro itu. Puronya masih ada. Dan -masih penuh. Dia ambil puro itu, kelihatan masih gembung.
"He....he....masih penuh. Anak muda itu bergarah. Dia pandai melawak...." kata Sitinggi. Tapi teman-temannya tak tertawa. Mereka melihat ada yang ganjil di puro itu. Sitinggi sadar akan tatapan teman-temannya.
Dia memperhatikan puronya baik-baik. Tiba-tiba dia membuka puro itu. Menunggangkannya kemeja. Dan dari dalam puro itu, berjatuhan biji-biji durian.
"Beruk! Anjing! Anjing beruk!! Anak itu anak anjing dan anak beruk sekaligus!! Dia cilok duit saya. Pancilok dia!!"
Berkata begini, lelaki tinggi besar itu melompat berdiri memburu anak muda itu ke pintu. Namun teman-temannya jadi tertawa tatkala lelaki itu ter-henti. Dan celananya melorot jatuh ke bawah. Di balik celana galembongnya itu lelaki tersebut tak memakai apa-apa. Tangannya segera bergerak menutup anu-nya. Muka lelaki ini jadi pucat karena berang.
Rupanya anak muda tadi benar-benar menger-jakan lelaki ini dengan sempurna. Puro tempat inenyimpan uang itu dia simpan di balik ikat pinggangnya, Dan ternyata ikat pinggang dari kulit itu diputus oleh si Giring-Giring perak tanpa dia ketahui. Lelaki itu menunduk memungut celananya. Karena dia menungging pantatnya menghadap pada keenam lelaki yang datang dari Lima Kaum. Kelima lelaki itu, yang tadi ikut tertawa tergelak, kecuali si ga'gap yang masih merasakan Jinu tulang belulangnya, tiba-tiba jadi terdiam melihat pantat yang tersonggeng tak bertutup itu. Mereka terdiam karena pantat lelaki itu bopeng dan berkudis. Dan kudis yang banyak itu jelas terlihat dalam cahaya lampu di kedai tersebut.
Dua orang yang sedang makan ketan durian merasa perut mereka mual. Dan mereka lalu muntah. Si tinggi besar memakai celananya. Dia menyumpah panjang pendek. Berjalan kepintu, menerjang pintu kedai itu hingga somprak. Lalu menghambur keluar. Dia berharap masih bisa melihat anak muda itu. Dia akan menyambak rambutnya. Akan dia hempaskan sampai patah patah ke dalarn kedai. Namun di luar dia hanya di sambut oleh terpaan angin dan gerimis.
"Kaleraaa......!! Awas waang kalera!! Kalau waang kutemui suatu saat kelak, saya lulur waang dengan seluruh bulu-bulu waang!!"
Lelaki itu berteriak dalam gelapnya malam.
Teriakannya yang mengguntur membuat kerbau pedati-pedati yang tertambat di luar kedai jadi menggado-gah terkejut. Lelaki itu melompat kaget mendengar suara kerbau pada melenguh itu. Tapi dia jadi malu sendiri ketika dia sadar bahwa suara lenguh itu adalah suara kerbau. Dia masuk lagi ke kedai, menyumpah panjang pendek. Lalu duduk di dekat teman-temannya yang masih tertawa.
"Tumbuang! Apa yang kalian gelakkan..,!!" Lelaki itu menyumpah dan membentak.
Temannya pada terdiam. Lelaki itu meraup ketan dan durian di piring kemudian sambil tetap -menyumpah-nyumpah, ketan dan durian itu dia sumbatkan ke mulutnya. Matanya terbualang-bulalang mene-lan makanan itu.
Dan ketika dia selesai makan, lelaki tinggi besar ini berjalan, ke tempat pemilik kedai. "Mana duit yang diberikan anak muda itu tadi..." bentaknya,
Pemilik kedai ini tak mau can penyakit. Dia memberikan duit itu. Lelaki besar tersebut berjalan mengitari meja, dan Klni dia berada di dekat pemilik kedai. Tangannya meraih lad, membukanya dan dari dalam dia mengeruk uang yang ada, kemudian memasukkan semua ke dalam uncangnya.
"Anak beruk itu mencilok duitku di dalam kedaimu ini. Karena itu kau wajib menggantinya.."
Dia berkata sambil mendorong kepala pemilik kedai tersebut. Si pemilik kedai sebenarnya juga seorang pesilat. Tapi dia yakin ketiga lelaki anak buah Pandeka Sangek ini bukan tandingannya. Karena itu dia hanya menunduk diam. Meski pun hasil pencahariannya dalam sepekan ini ludes sudah. Kemudian ketiga lelaki itu berjalan mening-gaJkan lepau tersebut. Si pemilik kedai membetul-kan pintu kedainya yang sudah copot kena terjang. Kemudian membetulkan meja.
"Orang bagak nampaknya ketiga orang tadi engku..." salah seorang lelaki bertanya, Lelaki tua pemilik kedai itu menatapnya. Si gagap yang tadi kena hajar dan seorang temannya Jagi, sudah duduk dan menelungkup kemeja menahan sakit.
"Dia tidak hanya bagak. Tapi juga berkuasa. Mereka anak buah Pandeka Sangek. Dan mereka tengah mengadakan pembalasan dan pengejaran terhadap beberapa pengungsi yang datang dari Pariaman. . . . .!!
"Kenapa permusuhan itu timbul?" "Orang-orang Pariarnan itu membunuh empat orang anak buah Pandeka Sangek beberapa hari yang lalu...."
"Hmm... nampaknya orang Pariaman itu juga orang bagak..."
"Mereka membunuh ada alasan, Isteri Pimpin-an pengungsi itu hampir diperkosa oleh anak buah Pandeka Sangek. Itu sebabnya dia dibunuh..." Lelaki pemilik kedai itu berhenti bicara, tatkala di balik gelas-gelas dia melihat bungkusan kecil. Dia mengambilnya, dan membuka bungkusan itu. Matanya terbelalak, di dalam bungkusan itu terdapat banyak sekali uang perak dan benggol. Tak pelak lagi duit itu pastilah dit sitinggi besar tadi. Anak muda berbaju putih dan bergiringgiring perak itu rupanya telah menyikat seluruh duit milik lelaki itu. Dan meletakkannya di dekat gelas ketika akan keluar. Anak muda itu rupanya sudah menduga, bahwa silelaki besar itu pasti akan menyikat duit pemilik kedai. Dan kini, pemilik kedai itu mendapat ganti puluhan kali lebih banyak dari duitnya yang disikat anak buah Pandeka Sangek tadi. Mukanya berobah jadi berseri-seri. "Anak muda luar biasa. Berhati budiman...." Katanya sambil menyimpan duit itu. Keenam lelaki dari Lima Kaum itu pada terheran-heran. "Siapa yang luar biasa dan budiman?" "Anak muda - bergiring-giring perak itu....." "Anak muda kerempeng tadi?" "Ya...." "Puih, saya lihat dia diam saja ketika sitinggi besar itu menolakkan kepalanya ketika mereka akan duduk di sisinya tadi. Tak ada orang yang mau kepalanya dipegang begitu saja. Kalau kepala saya tadi yang didorong begitu, nyawa ketiga lelaki itu pasti sudah saya habisi...."
Lelaki tua pemilik kedai itu hanya tersenyum. Dia tahu, lelaki dari Lima Kaum ini hanya besar bual. Padahal tadi dia diam saja ketika dua temannya hampir disunat oleh lelaki tinggi itu.
Giring Giring Perak : Episode 17 - Di Kedai Kopi
Udara malam yang dingin amat me-nusuk tulang, terasa makin meli-nukan tubuh ketika gelegar guruh menurunkan renyai hujan seperti embun. Anak muda itu melangkah ke dalam kedai kopi yang masih terbuka. Dari dalamnya dia dengar suara percakapan orang dan suara sendok beradu dengan gelas. Di luar di lihat beberapa pedati di istirahatkan. Semua orang yang ada di dalam kedai kecil itu pada menoleh kepintu tatkala dia masuk. Bukan pakaiannya yang serba putih dan ikat kepalanya yang juga putih yang menyebabkan orang-orang menoleh ke pintu. Bukan pula karena dia datang di tengah malam buta. Tidak, saat itu orang bisa saja berpakaian serba aneh dan menyisipkan golok atau keris di pinggang. Dan orang bisa saja masuk ke kedai kopi di tengah malam atau subuh buta. Yang menyebabkan enam orang lelaki yang ada dalam kedai kecil itu menoleh ke pintu justru bunyi yang ditimbullcan oleh kedatangannya. Ada suara aneh. Seperti suara giring-giring berdering pada tiap langkah orang yang baru datang itu. Dan anak muda yang baru masuk ke kedai itu bukannya tak tahu, bahwa suara giring-giring di kakinya menyebabkan orang pada menoleh. Dia tegak di pintu. Menatap orang-orang yang masih memandangnya.
"Maafkah saya. Adakah di antara bapak-bapak pernah mendengar seseorang di daerah ini, atau di manapun, yang kehilangan seorang anak lelaki, yang memakai giring-giring perak di kaki kanannya?"
Dia menanti. Orang yang ada dalam kedai itu tak menyahut seorangpun. Kebanyakan di antara mereka justru heran akan pertanyaan itu. Lebih banyak yang tak mengerti daripada tak tahu.
Karena tak ada yang menyahut, anak muda itu bicara lagi, suaranya perlahan: "Belasan tahun yang lalu, saya dipungut oleh seseorang dari reruntuhan sebuah rumah. Dia tak tahu apakah orang tua saya masih hidup atau tidak. Dia tak ingat lagi di mana saya dia temukan. Kini saya tengah mencari kampung halaman dan orang tua saya. Pernahkah mendengar ada orang yang kehilangan anak dengan giring-giring di kakinya?"
Kali ini beberapa orang menggeleng perlahan.
"Tak seorangpun yang tahu. Tak seorangpun.," Anak muda itu bicara seperti pada dirinya sendiri. Ucapannya mirip keluhan. Dan dia berjalan ke sudut ruangan. Duduk di sebuah kursi yang masih kosong. Lelaki yang ada dalam kedai kecil itu pada berbisik sesamanya.
"Engkau akan minum atau makan apa anak muda?'.' Orang lepau bertanya. "Kopi,..."
"Di sini ada ketan dan durian. juga ada nasi dengan ikan panggang. Kalau engkau lapar engkau bisa minta nasi..." "Baik, ketan dengan durian...."
Orang lepau itu mengambilkan pesanan anak muda itu. Sementara lelaki yang lain melanjutkan obrolan mereka. Ada yang meneruskan makan atau minum.
'Tapi mereka yang ada dalam ruangan kedai kecil itu terhenti lagi makan dan minum ketika pintu kedai dibuka dengan keras.'Barangkali pintu itu ditendang dari luar. Semua pada menolch ke pintu.
Dari luar masuk bergantian tiga lelaki dengan janggut berseliweran dan dengan pedang di ping-gang. Ketiganya membawa pedang. Mereka tegak sejajar di depan pintu. Menatap setiap yang ada di dalam lepau itu dengan tajam. Pandangan mereka pertama jatuh pada anak muda yang ber-baju putih itu. Tapi anak muda bertubuh semampai dan tak berdegap itu tak menarik perhatiah mereka. Mereka lalu memandang keenam lelaki yang lain.
"Ada di antara kalian anggota rombongan yang baru datang dari Pariaman sepekan yang lalu?" Lelaki yang tegak di tengah bertanya dengan suara berat. Tak ada yang menyahut.
Bagi keenam lelaki itu nampaknya raalam ini banyak hal aneh yang terjadi. Dalam waktu tak sampai lima menit yang lalu anak muda berbaju putih itu masuk. Bertanya kalau-kalau ada yang mengetahui orang tua yang kehilangan anak dengan giring-giring perak. Kemudian kini ketiga lelaki itu pula yang masuk dan bertanya pula "Kami bertanya, apakah ada di antara kalian anggota rombongan yang baru datang dari Pariaman?" si tinggi besar yang di tengah itu bertanya 'Tidak, kami yang berenam ini dari Lima Kaum. Akan terus ke Kota Baru. Diperjalanan dua hari yang lalu kami memang berternu dengan serombongan orang yang mengaku dari Pariaman. Mereka katanya akan ke Pagaruyung". Yang bertanya tadi menggerutu tak menentu. Kemudian mereka melangkah masuk terus mencari tempat duduk. Satu-satunya tempat yang masih kosong adalah tempat di mana anak muda berbaju putih dan bergiring-giring perak itu duduk. Kesanalah ketiga orang yang menyandang pedang di pinggangnya itu menuju.
"Geser ke sana buyung...." yang tinggi besar itu mendorong bahu anak muda tersebut dengan tangan kirinya. Dan anak rnuda itu memang meng-geser duduk hingga keujung bangku.
Ketiga lelaki itu duduk. Pakaian mereka yang basah karena hujan rinai di luar mereka kirai.
Tak perduli apakah mengenai orang lain atau tidak.
"Jahannam. Hujan jahannam. Orang Pariaman Jahannam....!" yang pendek buncit menggerutu sambil duduk.
"Kabarnya mereka berjumlah dua puluh orang...." yang tinggi bicara sambil mencabut pedang dan meletakkan di atas meja.
"Hei, kopi tiga. Bikin yang pahit. Ada ketan atau ikan panggang?"
"Ada ketan, ada ikan panggang"
"Bawa semua kemari...."
Kemudian ketiga lelaki itu menatap keenam lelaki yang duduk dalam kedai itu.
"Apakah orang Pariaman yang kalian temui di Lima Kaum itu adalah pesilat-pesilat?" Si tinggi besar bertanya dari tempat duduknya.
Yang tadi mengatakan bertemu dengan orang Pariaman itu menggeleng.
"Tak tahu kami. Kami tak sempat melihat mereka bersilat. Dan tak pula mengajak mereka berkelahi..." jawab lelaki yang mengaku datang dari Lima Kaum itu, teman temannya yang lain tertawa karena merasa lucu akan jawaban temannya itu. Namun tawa mereka j ustru m endatangkan penyakit pada mereka sendiri. Mereka tak tahu dengan siapa mereka berhadap-an. Ketika mereka masih tertawa berguman lelaki tinggi besar yang bertanya itu bangkit. Berjalan mendekati keenam lelaki itu. Dan tiba-tiba plak.. puk...pak..,!
Dia menampar lelaki dari Lima Kaum itu. Lelaki itu terjengkang. Namun dia bangkit segera, dan tangannya terkatuyang-katuyang seperti orang silat. Lelaki tinggi itu jadi mengkal. Kakinya me-layang dan orang dari Lima Kaum itu ternyata tak bisa menangkis tendangan tersebut meskipun dia telah berlagak seperti orang pandai silat. Tendangan itu mendarat. Menimbulkan suara berdehek. Dan malangnya, tanpa dapat dia tahan, kentutnya ikut terbosai dua tiga kali karena tendangan itu. Kelima temannya yang lain yang tadi juga sudah siapbersilat, tiba-tiba jadi patah semangat melihat makan tangan dan kaki sitinggi besar itu. Mereka tetap duduk diam. Tanpa menengok pada sitinggi besar. Bahkan pada temannya yang terkepepe ke bawah meja itupun mereka tak berani melihat. Takut kalau dianggap sebagai suatu tantangan pula oleh sitinggi besar ini.
"Lihat-lihat orang yang akan dipegarahkan sanak." Sitinggi besar itu menyumpah. "Ya...ya...ya!" kata salah seorang yang duduk. "Apanya yang iya?" "Ya. apa ya?! Eha.,.maap... maap, "Apa yang maap!!" "Ami pak..eh anu, kami mintak maap....!" "Maap apa!" "Maap lahir bathin....!"
Dan sampai di sini, sitinggi besar tak dapat menahan tawanya melihat lelaki dari Lima Kaum yang gagap itu. Dia tertawa. Begitu juga kedua. temannya yang duduk semeja dengan si Giring-Giring Perak. Kelima lelaki di meja si gagap itu juga ikut tertawa. Mula-mula perlahan, karena takut. Tapi melihat sitinggi besar itu tertawa terbahak-bahak, mereka ikut tertawa terbahak bahak.
"Apa yang kalian ketawakan, beruk!"
Lelaki tinggi itu berhenti dan bertanya dengan bentakan. Tawa kelima lelaki dari Lima Kaum itu terhenti pula tiba-tiba. Mereka jadi pucat. Dan, malang yang akan tumbuh, mungkin karena terlalu takut, si gagap tadi terpancar kentutnya. Mula-mula sekali. Perlahan tapi agak panjang. Namun karena ketakutan yang sangat, kentut besarnya tak mampu dia tahan.
"Pouuuut. prep!"
Tak tanggung berangnya sitinggi besar itu. Dia jambak rambut si gagap. Namun kentut si gagap keluar lagi. Teman teman sitinggi yang duduk di sudut tak mampu menahan tawa dan geli. Mereka sampai-sampai menekan perut karena sakit saking gelinya. Si gagap terpekik-pekik minta ampun. Tapi sitinggi makin berang.
"Ampounnn pak... ampounn. Bapak ken-tut...eh...maaf..."
"Beruk. Waang beruk. Waang katakan saya kentut he!?"
"Ya pak... eh bukan pak,.. bukan! Bapak bukan kentut, tapi kentutlah bapak!" Malang lelaki gagap ini. Makin ditanya, makin tak menentu jawabnya. Dan akhirnya teman-temannya yang lain tak pula dapat menahan gelak. Meraka ada yang menangkup di meja karena takut kelihatan gelak. Ada yang merukuk dalam-dalam.
Dan akhirnya, lelaki besar itu mencampakkan tubuh sigagap ke meja. Dan keadaan lepau itu jadi kacau. Si Gagap bercarut-carut tak menentu. Suasana heboh tak terhindarkan. Heboh kerena gelak. Sitinggi besar akhirnya ikut gelak ketika dia duduk di dekat teman-temannya.
Dia terhenti, ketika melihat anak muda di sisinya. Anak muda itu menunduk. Menghirup kopi perlahan, mema-kan ketan dan duriannya perlahan. Anak muda itu agak kurus. Si lelaki besar menepuk punggungnya.
"Hei buyung, waang tak ikut gelak he?" tanyanya. Anak muda itu lambat-lambat menoleh pada-nya. Kemudian tersenyum tipis. Lalu kembali menunduk dan memakan ketannya perlahan. lelaki tinggi itu merasa dianggap enteng. Padahal sebentar ini dia telah membikin gacar enam lelaki yang tak boleh disebut kecil. dalam lepau itu. Karenanya dia menepuk lagi bahu anak muda itu, dan berkata;
"Hei buyung! Saya bertanya, apakah waang tak ikut tertawa??" Tepukan di punggungnya itu menimbulkan bunyi. Karena memang sengaja dikuatkan sitinggi besar. Kembali anak muda itu memutar kepala. Kali ini tak tersenyum. Dia menatap lelaki itu dengan tatapan matanya yang lembut. Lalu berkata perlahan:
"Apakah pernah mendengar suara giring-giring perak??"
Pertanyaan ini membuat ketiga lelaki itu tertegun. Suatu pertanyaan yang mereka anggap tak berkelincitan. Yang tak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan sitinggi barusan.
"Saya bertanya pada waang buyung, apakah waang tak ikut gelak mendengar kentut si gagap itu meletup-letup seperti bunyi keraben Ulando?"
Anak muda itu seperti tak mengacuhkan pertanyaan lelaki tersebut. Justru dia kembali melontarkan tanya :
"Apakah kalian pernah mendengar ada orang yang kehilangan anak lelaki, yang memakai giring-giring perak di kaki kanannya?"
Ketiga lelaki itu kembali saling pandang. Gila-kah anak muda ini? Atau dia adalah seorang pekak? Hingga lain yang ditanya lain yang dijawab?"
Namun, lelaki ini merasa tersinggung. Karena anak muda itu jelas tadi menyebut mereka dengan kalimat "Kalian", Tidak menyebut; "bapak". Dia ingin menampar anak muda ini. Tapi anak muda itu terlalu lemah lembut kelihatan. Dia yakin sekali tampar, anak muda itu tidak hanya kentut-nya yang akan terpancar seperti lelaki dari Lima Kaum, tapi ciritnya juga akan ikut terbudur. Mengingat ini, lelaki besar itu tertawa sendiri. "Pernah mendengar ada yang kehilangan anak?" anak muda itu bertanya kembali. "Tidak buyung. Belum ada yang kehilangan anak di sini. Tapi yang akan kehilangan ayah, sebentar lagi mungkin akan banyak. Di Silaing ada beberapa lelaki yang baru datang dari Pariaman. Beberapa liari yang lalu mereka telaji membunuh empat orang teman kami. Tapi sebentar lagi, me-raka juga akan mengalami nasib yang sama. Dan isteri mereka, kabarnya perempuan-perempuan itu cantik-cantik, ada pula seorang gadis jolong mekar, akan kami bawa ke Gunung Rajo. Menjadi teman tidur ...,he....he...,he.,.." Si Giring-Giring perak tertegun mendengar cerita lelaki besar di sisinya ini. Kalau begitu, Datuk Sipasan dalam keadaan bahaya besar. Tapi dia ingin mendengar sedikit lagi tentang keadaan datuk itu.
"Tapi saya dengar, Datuk itu tinggi ilmu silat-nya. Begitu pula teman-temannya dari Pariaman. Tak mungkin mereka bisa dikalahkan..."
Sitinggi besar melotot pada anak muda ini. Tapi kemudian dia menggerendeng.
"Tak ada yang bisa melawan Pandeka Sangek buyung. Sudan lama dia tak pernah turun gunung. Kali ini dia benar yang memimpin. Waang tau siapa dia? Tak sia-sia dia berguru pada Harimau Tambun Tulang. Kami adalah pengikutnya. Dan Pandeka Sangek tak sendirian, dia datang bersama tiga puluh temannya.
"Maafkah saya. Adakah di antara bapak-bapak pernah mendengar seseorang di daerah ini, atau di manapun, yang kehilangan seorang anak lelaki, yang memakai giring-giring perak di kaki kanannya?"
Dia menanti. Orang yang ada dalam kedai itu tak menyahut seorangpun. Kebanyakan di antara mereka justru heran akan pertanyaan itu. Lebih banyak yang tak mengerti daripada tak tahu.
Karena tak ada yang menyahut, anak muda itu bicara lagi, suaranya perlahan: "Belasan tahun yang lalu, saya dipungut oleh seseorang dari reruntuhan sebuah rumah. Dia tak tahu apakah orang tua saya masih hidup atau tidak. Dia tak ingat lagi di mana saya dia temukan. Kini saya tengah mencari kampung halaman dan orang tua saya. Pernahkah mendengar ada orang yang kehilangan anak dengan giring-giring di kakinya?"
Kali ini beberapa orang menggeleng perlahan.
"Tak seorangpun yang tahu. Tak seorangpun.," Anak muda itu bicara seperti pada dirinya sendiri. Ucapannya mirip keluhan. Dan dia berjalan ke sudut ruangan. Duduk di sebuah kursi yang masih kosong. Lelaki yang ada dalam kedai kecil itu pada berbisik sesamanya.
"Engkau akan minum atau makan apa anak muda?'.' Orang lepau bertanya. "Kopi,..."
"Di sini ada ketan dan durian. juga ada nasi dengan ikan panggang. Kalau engkau lapar engkau bisa minta nasi..." "Baik, ketan dengan durian...."
Orang lepau itu mengambilkan pesanan anak muda itu. Sementara lelaki yang lain melanjutkan obrolan mereka. Ada yang meneruskan makan atau minum.
'Tapi mereka yang ada dalam ruangan kedai kecil itu terhenti lagi makan dan minum ketika pintu kedai dibuka dengan keras.'Barangkali pintu itu ditendang dari luar. Semua pada menolch ke pintu.
Dari luar masuk bergantian tiga lelaki dengan janggut berseliweran dan dengan pedang di ping-gang. Ketiganya membawa pedang. Mereka tegak sejajar di depan pintu. Menatap setiap yang ada di dalam lepau itu dengan tajam. Pandangan mereka pertama jatuh pada anak muda yang ber-baju putih itu. Tapi anak muda bertubuh semampai dan tak berdegap itu tak menarik perhatiah mereka. Mereka lalu memandang keenam lelaki yang lain.
"Ada di antara kalian anggota rombongan yang baru datang dari Pariaman sepekan yang lalu?" Lelaki yang tegak di tengah bertanya dengan suara berat. Tak ada yang menyahut.
Bagi keenam lelaki itu nampaknya raalam ini banyak hal aneh yang terjadi. Dalam waktu tak sampai lima menit yang lalu anak muda berbaju putih itu masuk. Bertanya kalau-kalau ada yang mengetahui orang tua yang kehilangan anak dengan giring-giring perak. Kemudian kini ketiga lelaki itu pula yang masuk dan bertanya pula "Kami bertanya, apakah ada di antara kalian anggota rombongan yang baru datang dari Pariaman?" si tinggi besar yang di tengah itu bertanya 'Tidak, kami yang berenam ini dari Lima Kaum. Akan terus ke Kota Baru. Diperjalanan dua hari yang lalu kami memang berternu dengan serombongan orang yang mengaku dari Pariaman. Mereka katanya akan ke Pagaruyung". Yang bertanya tadi menggerutu tak menentu. Kemudian mereka melangkah masuk terus mencari tempat duduk. Satu-satunya tempat yang masih kosong adalah tempat di mana anak muda berbaju putih dan bergiring-giring perak itu duduk. Kesanalah ketiga orang yang menyandang pedang di pinggangnya itu menuju.
"Geser ke sana buyung...." yang tinggi besar itu mendorong bahu anak muda tersebut dengan tangan kirinya. Dan anak rnuda itu memang meng-geser duduk hingga keujung bangku.
Ketiga lelaki itu duduk. Pakaian mereka yang basah karena hujan rinai di luar mereka kirai.
Tak perduli apakah mengenai orang lain atau tidak.
"Jahannam. Hujan jahannam. Orang Pariaman Jahannam....!" yang pendek buncit menggerutu sambil duduk.
"Kabarnya mereka berjumlah dua puluh orang...." yang tinggi bicara sambil mencabut pedang dan meletakkan di atas meja.
"Hei, kopi tiga. Bikin yang pahit. Ada ketan atau ikan panggang?"
"Ada ketan, ada ikan panggang"
"Bawa semua kemari...."
Kemudian ketiga lelaki itu menatap keenam lelaki yang duduk dalam kedai itu.
"Apakah orang Pariaman yang kalian temui di Lima Kaum itu adalah pesilat-pesilat?" Si tinggi besar bertanya dari tempat duduknya.
Yang tadi mengatakan bertemu dengan orang Pariaman itu menggeleng.
"Tak tahu kami. Kami tak sempat melihat mereka bersilat. Dan tak pula mengajak mereka berkelahi..." jawab lelaki yang mengaku datang dari Lima Kaum itu, teman temannya yang lain tertawa karena merasa lucu akan jawaban temannya itu. Namun tawa mereka j ustru m endatangkan penyakit pada mereka sendiri. Mereka tak tahu dengan siapa mereka berhadap-an. Ketika mereka masih tertawa berguman lelaki tinggi besar yang bertanya itu bangkit. Berjalan mendekati keenam lelaki itu. Dan tiba-tiba plak.. puk...pak..,!
Dia menampar lelaki dari Lima Kaum itu. Lelaki itu terjengkang. Namun dia bangkit segera, dan tangannya terkatuyang-katuyang seperti orang silat. Lelaki tinggi itu jadi mengkal. Kakinya me-layang dan orang dari Lima Kaum itu ternyata tak bisa menangkis tendangan tersebut meskipun dia telah berlagak seperti orang pandai silat. Tendangan itu mendarat. Menimbulkan suara berdehek. Dan malangnya, tanpa dapat dia tahan, kentutnya ikut terbosai dua tiga kali karena tendangan itu. Kelima temannya yang lain yang tadi juga sudah siapbersilat, tiba-tiba jadi patah semangat melihat makan tangan dan kaki sitinggi besar itu. Mereka tetap duduk diam. Tanpa menengok pada sitinggi besar. Bahkan pada temannya yang terkepepe ke bawah meja itupun mereka tak berani melihat. Takut kalau dianggap sebagai suatu tantangan pula oleh sitinggi besar ini.
"Lihat-lihat orang yang akan dipegarahkan sanak." Sitinggi besar itu menyumpah. "Ya...ya...ya!" kata salah seorang yang duduk. "Apanya yang iya?" "Ya. apa ya?! Eha.,.maap... maap, "Apa yang maap!!" "Ami pak..eh anu, kami mintak maap....!" "Maap apa!" "Maap lahir bathin....!"
Dan sampai di sini, sitinggi besar tak dapat menahan tawanya melihat lelaki dari Lima Kaum yang gagap itu. Dia tertawa. Begitu juga kedua. temannya yang duduk semeja dengan si Giring-Giring Perak. Kelima lelaki di meja si gagap itu juga ikut tertawa. Mula-mula perlahan, karena takut. Tapi melihat sitinggi besar itu tertawa terbahak-bahak, mereka ikut tertawa terbahak bahak.
"Apa yang kalian ketawakan, beruk!"
Lelaki tinggi itu berhenti dan bertanya dengan bentakan. Tawa kelima lelaki dari Lima Kaum itu terhenti pula tiba-tiba. Mereka jadi pucat. Dan, malang yang akan tumbuh, mungkin karena terlalu takut, si gagap tadi terpancar kentutnya. Mula-mula sekali. Perlahan tapi agak panjang. Namun karena ketakutan yang sangat, kentut besarnya tak mampu dia tahan.
"Pouuuut. prep!"
Tak tanggung berangnya sitinggi besar itu. Dia jambak rambut si gagap. Namun kentut si gagap keluar lagi. Teman teman sitinggi yang duduk di sudut tak mampu menahan tawa dan geli. Mereka sampai-sampai menekan perut karena sakit saking gelinya. Si gagap terpekik-pekik minta ampun. Tapi sitinggi makin berang.
"Ampounnn pak... ampounn. Bapak ken-tut...eh...maaf..."
"Beruk. Waang beruk. Waang katakan saya kentut he!?"
"Ya pak... eh bukan pak,.. bukan! Bapak bukan kentut, tapi kentutlah bapak!" Malang lelaki gagap ini. Makin ditanya, makin tak menentu jawabnya. Dan akhirnya teman-temannya yang lain tak pula dapat menahan gelak. Meraka ada yang menangkup di meja karena takut kelihatan gelak. Ada yang merukuk dalam-dalam.
Dan akhirnya, lelaki besar itu mencampakkan tubuh sigagap ke meja. Dan keadaan lepau itu jadi kacau. Si Gagap bercarut-carut tak menentu. Suasana heboh tak terhindarkan. Heboh kerena gelak. Sitinggi besar akhirnya ikut gelak ketika dia duduk di dekat teman-temannya.
Dia terhenti, ketika melihat anak muda di sisinya. Anak muda itu menunduk. Menghirup kopi perlahan, mema-kan ketan dan duriannya perlahan. Anak muda itu agak kurus. Si lelaki besar menepuk punggungnya.
"Hei buyung, waang tak ikut gelak he?" tanyanya. Anak muda itu lambat-lambat menoleh pada-nya. Kemudian tersenyum tipis. Lalu kembali menunduk dan memakan ketannya perlahan. lelaki tinggi itu merasa dianggap enteng. Padahal sebentar ini dia telah membikin gacar enam lelaki yang tak boleh disebut kecil. dalam lepau itu. Karenanya dia menepuk lagi bahu anak muda itu, dan berkata;
"Hei buyung! Saya bertanya, apakah waang tak ikut tertawa??" Tepukan di punggungnya itu menimbulkan bunyi. Karena memang sengaja dikuatkan sitinggi besar. Kembali anak muda itu memutar kepala. Kali ini tak tersenyum. Dia menatap lelaki itu dengan tatapan matanya yang lembut. Lalu berkata perlahan:
"Apakah pernah mendengar suara giring-giring perak??"
Pertanyaan ini membuat ketiga lelaki itu tertegun. Suatu pertanyaan yang mereka anggap tak berkelincitan. Yang tak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan sitinggi barusan.
"Saya bertanya pada waang buyung, apakah waang tak ikut gelak mendengar kentut si gagap itu meletup-letup seperti bunyi keraben Ulando?"
Anak muda itu seperti tak mengacuhkan pertanyaan lelaki tersebut. Justru dia kembali melontarkan tanya :
"Apakah kalian pernah mendengar ada orang yang kehilangan anak lelaki, yang memakai giring-giring perak di kaki kanannya?"
Ketiga lelaki itu kembali saling pandang. Gila-kah anak muda ini? Atau dia adalah seorang pekak? Hingga lain yang ditanya lain yang dijawab?"
Namun, lelaki ini merasa tersinggung. Karena anak muda itu jelas tadi menyebut mereka dengan kalimat "Kalian", Tidak menyebut; "bapak". Dia ingin menampar anak muda ini. Tapi anak muda itu terlalu lemah lembut kelihatan. Dia yakin sekali tampar, anak muda itu tidak hanya kentut-nya yang akan terpancar seperti lelaki dari Lima Kaum, tapi ciritnya juga akan ikut terbudur. Mengingat ini, lelaki besar itu tertawa sendiri. "Pernah mendengar ada yang kehilangan anak?" anak muda itu bertanya kembali. "Tidak buyung. Belum ada yang kehilangan anak di sini. Tapi yang akan kehilangan ayah, sebentar lagi mungkin akan banyak. Di Silaing ada beberapa lelaki yang baru datang dari Pariaman. Beberapa liari yang lalu mereka telaji membunuh empat orang teman kami. Tapi sebentar lagi, me-raka juga akan mengalami nasib yang sama. Dan isteri mereka, kabarnya perempuan-perempuan itu cantik-cantik, ada pula seorang gadis jolong mekar, akan kami bawa ke Gunung Rajo. Menjadi teman tidur ...,he....he...,he.,.." Si Giring-Giring perak tertegun mendengar cerita lelaki besar di sisinya ini. Kalau begitu, Datuk Sipasan dalam keadaan bahaya besar. Tapi dia ingin mendengar sedikit lagi tentang keadaan datuk itu.
"Tapi saya dengar, Datuk itu tinggi ilmu silat-nya. Begitu pula teman-temannya dari Pariaman. Tak mungkin mereka bisa dikalahkan..."
Sitinggi besar melotot pada anak muda ini. Tapi kemudian dia menggerendeng.
"Tak ada yang bisa melawan Pandeka Sangek buyung. Sudan lama dia tak pernah turun gunung. Kali ini dia benar yang memimpin. Waang tau siapa dia? Tak sia-sia dia berguru pada Harimau Tambun Tulang. Kami adalah pengikutnya. Dan Pandeka Sangek tak sendirian, dia datang bersama tiga puluh temannya.
Giring Giring Perak : Episode 16 - Terperangkap
Dan sampai malam merangkak larut, dia memang tak pernah muncul, Ketika bunyi jangkrik melantunkan suaranya di malam pe-kat itu, di antara suara guruh yang menderam seka-lisekali, keenam lelaki itu kembali naik dan ber-kumpul di ruang tengah bersama Datuk Sipasan. Datuk ini sudah baik keadaannya.
Rumah itu gelap. Yang hidup hanya sebuah jampu lilin yang dibuat dari sarang lebah. Terletak di tengah ruangan. Di keliling lilin kecil yang ter-letak dalam piring itu, duduk dengan diam keenam lelaki tersebut bersama anak dan isteri mereka. Datuk Sipasan menatap kelima temannya. Sementara yang seorang tetap berada di luar, melihat kalau-kalau ada orang yang datang. "Apakah aman untuk memulai perjalanan?" Datuk itu bertanya. Sidi Kasim mengangguk. Datuk Sipasan menoleh pada isterinya. "Sudah dibungkus semua yang perlu dibawa?" Perempuan itu mengangguk. Anak-anak mereka pada diam. Ada yang tidur dalam pangkuan kain. Ada yang bangun, namun kanakkanak itu seperti punya firasat akan bahaya yang mengancam orang tuanya. Tak ada di antara mereka yang menangis. Tak ada yang gelisah. Bahaya dan perjalanan malam di antara gemuruh guruh atau hujan badai ataupun di antara terik panas yang membakar. nampaknya sudah tak menjadi halangan lagi bagi para perantau dari Pariaman ini. "Baiklah, kita berangkat.,.." itulah ucapan Datuk Sipasan. Kelima lelaki itu pada tegak. Isteri dan anak-anak mereka juga. Dalam cahaya yang samar, Datuk Sipasan menghitung, ada 17 orang mereka semua. Lelaki dewasa, para wanita dan anak-anak. Jadi delapan belas orang dengan yang menjaga di luar.
Sidi Kasim memberi isyarat kepada teman yang di luar. Yang di luar memberi isyarat dengan ber-siul kecil. "Kita lewat pintu belakang, Saya yang akan berada di depan sekali. Tak ada suluh atau damar yang boleh dinyalakan. Semua barang-barang, dipikul oleh lelaki. Setiap orang harus berpegangan tangan untuk memudahkan perjalanan. Setelah jauh ke dalam rimba kita baru bisa menghidupkan suluh...."
Sidi Kasimlah yang bicara ini. Sudah dua hari ini dia menyiasati jalan untuk melarikan diri bila terpaksa. Sendirian dia telah menyelusupi hutan di belakang rumah Datuk Sipasan. Dia menemui jalan setapak yang mudah dilalui. Barangkali menjelang subuh mereka bisa mencapai bahagian huiu air terjun batang Anai.
Lilin dalam rumah itu dihidupkan dua buah lagi. Ditaruh di ruang tengah dan bi bilik serta di dapur. Dengan demikian, kepada orang yang mengintai, diberi kesan, bahwa penghuni rumah itu masih ada. Kemudian Sidi Kasim mulai turun dari pintu1 belakang. Yang menjaga di depan yaitu Lebak Tuah meniup salung. Suara salung yang mengalun lemah, mengiringkan ke 17 orang di rumah itu turun perlahan dari pintu belakang. Angin malam yang dingin dan basah menerpa mereka ketika berada di luar. Kanak-kanak merapatkan pelukannya ke dada ayah atau ibu mereka. Menyurukkan wajah mereka sedalam mungkin ke pelukkan orang tuanya. Beberapa saat mereka lalui dengan tegang. Melangkah tapak demi tapak dalam kegelapan dengan saling berpegangan tangan. Suara Salung Lebak Tuah terdengar sayup di kejauhan. Dan ketika jarak mereka sudah sampai di tempat yang dirasa cukup aman, Sidi Kasim memberi isyarat pada Lebak Tuah dengan membunyikan suitan tajam seperti bunyi burunghantu.
Tanda itu dia bunyikan tiga kali. Suara salung Lebak Tuah berhenti sebentar. Kemudian terdengar lagi perlahan. "Kita teruskan perjalanan. Dia akan menyusul." Mereka menapak lagi dalam kegelapan itu. Kini mereka telah berada dalam rimba di belakang rumah Datuk Sipasan. Dan betul juga, tak lama kemudian Lebak Tuah telah bergabung di bagian belakang.
Namun Datuk Sipasan merasa tak sedap di hatinya. Ada sesuatu yang ganjil dalam kegelapan malam itu terasa. Ada yang menakutkan terasa melihat bayangan pohon dalam hutan itu. Dia ingin berbisik memanggil Sidi Kasim yang berada di depannya, tatkala tiba-tiba mereka seperti dipakukan ke tempatnya karena suara tawa yang terbahak-bahak.
"He....hee....hee...."
Mereka terhenti. Para perempuan seperti kehilang-an semangat.
"He...hee.....ha....hee....
Suara tawa itu menggema lagi. Dan tiba-tiba Datuk Sipasan serta teman-temannya ingat, tawa itu seperti tawa yang pernah mereka dengar di Bukit Tambun Tulang!
"Gampo Bumi!!" Datuk Sipasan berkata lambat. Dan suaranya di dengar oleh semua orang. Hal itu benar-benar membuat mereka merasa kecut. Tawa itu memang seperti tawa di Bukit Tambun Tulang. Di -saat mana mereka hampir saja mati, kalau si Giring-Giring Perak tak segera me-nolong.
"Perangkap. Kita masuk perangkap...." Suara Sidi Kasim terdengar dari depan. Ya, tak dapat mereka pungkiri, mereka kini berada dalam perangkap.
Lebak Tuah menarik tangan teman-temannya untuk kembali ke rumah. Namun Datuk Sipasan menahannya. Dan tiba-tiba puluhan damar dan suluh dihidupkan dalam rimba itu. Ke 18 orang itu kini berada di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh suluh. Mereka terdiam. Anak-anak itu mulai menangis.
"He....he....he... Akan ke mana kalian he...??" Sebuah suara terdengar dari balik suluh yang me-nyala itu. Tak ada yang menyahut.
"Kalian akan pergi begitu saja setelah membunuh empat orang anak buahku yang tak berdosa? Begitu hm.....? Kalian sengaja datang dari Pariaman untuk mengacau di sini hem.....?"
Datuk Sipasan maju selengkah. "Kami tak bersalah dalam hal ini. Siapa yang bicara tadi, haraplah perlihatkan diri..." Sebagai jawabannya kembali terdengar tawa berguman. Datuk Sipasan .sekilas lihat saja menghitung, ada tiga puluh buah suluh dan damar yang mengelilingi mereka. Kalau satu suluh satu orang, maka berarti ada 30 orang yang mengelihngi mereka. Tapi dia yakin, jumlah itu jauh lebih banyak. Suatu pertarungan dalam hutan dalam situasi begini, adalah bunuh diri bagi rombongannya, Karena itu dia berusaha untuk mengulur waktu. Kalau mungkin berembuk.
"Kau katakan tak bersalah setelah membunuh keempat anak buahku? Hmm... enaknya. Tapi kenapa kalian harus melarikan diri begini kalau mengaku tak bersalah?"
Datuk Sipasan segera menangkap sesuatu dalam ucapan lelaki yang tertawa itu. Lelaki itu ,sudah dua kali berkata tentang "anak buahku". Itu berarti lelaki ini pastilah si Pandeka Sangek. Jadi bukan si Gampo Bumi. Tapi tak ada bedanya. Gampo Bumi atau Pandeka Sangek, mereka pastilah menghendaki satu hal: kematiannya dan kehormatan perempuan-perempuan mereka.
"Tangkap mereka semua!" Tiba-tiba terdengar suara perintah bergema. Lebih dari dua puluh lelaki yang memakai keris dan golok di tangan muncul dari balik suluh. Ketujuh laki-laki dari Pariaman itu. serentak membuat lingkaran. Menempatkan perempuan dan anak-anak di bahagian tengah. Dan mereka semua mencabut keris. Nampaknya mereka tak berniat sedikitpun untuk menyerah begitu saja.
Rumah itu gelap. Yang hidup hanya sebuah jampu lilin yang dibuat dari sarang lebah. Terletak di tengah ruangan. Di keliling lilin kecil yang ter-letak dalam piring itu, duduk dengan diam keenam lelaki tersebut bersama anak dan isteri mereka. Datuk Sipasan menatap kelima temannya. Sementara yang seorang tetap berada di luar, melihat kalau-kalau ada orang yang datang. "Apakah aman untuk memulai perjalanan?" Datuk itu bertanya. Sidi Kasim mengangguk. Datuk Sipasan menoleh pada isterinya. "Sudah dibungkus semua yang perlu dibawa?" Perempuan itu mengangguk. Anak-anak mereka pada diam. Ada yang tidur dalam pangkuan kain. Ada yang bangun, namun kanakkanak itu seperti punya firasat akan bahaya yang mengancam orang tuanya. Tak ada di antara mereka yang menangis. Tak ada yang gelisah. Bahaya dan perjalanan malam di antara gemuruh guruh atau hujan badai ataupun di antara terik panas yang membakar. nampaknya sudah tak menjadi halangan lagi bagi para perantau dari Pariaman ini. "Baiklah, kita berangkat.,.." itulah ucapan Datuk Sipasan. Kelima lelaki itu pada tegak. Isteri dan anak-anak mereka juga. Dalam cahaya yang samar, Datuk Sipasan menghitung, ada 17 orang mereka semua. Lelaki dewasa, para wanita dan anak-anak. Jadi delapan belas orang dengan yang menjaga di luar.
Sidi Kasim memberi isyarat kepada teman yang di luar. Yang di luar memberi isyarat dengan ber-siul kecil. "Kita lewat pintu belakang, Saya yang akan berada di depan sekali. Tak ada suluh atau damar yang boleh dinyalakan. Semua barang-barang, dipikul oleh lelaki. Setiap orang harus berpegangan tangan untuk memudahkan perjalanan. Setelah jauh ke dalam rimba kita baru bisa menghidupkan suluh...."
Sidi Kasimlah yang bicara ini. Sudah dua hari ini dia menyiasati jalan untuk melarikan diri bila terpaksa. Sendirian dia telah menyelusupi hutan di belakang rumah Datuk Sipasan. Dia menemui jalan setapak yang mudah dilalui. Barangkali menjelang subuh mereka bisa mencapai bahagian huiu air terjun batang Anai.
Lilin dalam rumah itu dihidupkan dua buah lagi. Ditaruh di ruang tengah dan bi bilik serta di dapur. Dengan demikian, kepada orang yang mengintai, diberi kesan, bahwa penghuni rumah itu masih ada. Kemudian Sidi Kasim mulai turun dari pintu1 belakang. Yang menjaga di depan yaitu Lebak Tuah meniup salung. Suara salung yang mengalun lemah, mengiringkan ke 17 orang di rumah itu turun perlahan dari pintu belakang. Angin malam yang dingin dan basah menerpa mereka ketika berada di luar. Kanak-kanak merapatkan pelukannya ke dada ayah atau ibu mereka. Menyurukkan wajah mereka sedalam mungkin ke pelukkan orang tuanya. Beberapa saat mereka lalui dengan tegang. Melangkah tapak demi tapak dalam kegelapan dengan saling berpegangan tangan. Suara Salung Lebak Tuah terdengar sayup di kejauhan. Dan ketika jarak mereka sudah sampai di tempat yang dirasa cukup aman, Sidi Kasim memberi isyarat pada Lebak Tuah dengan membunyikan suitan tajam seperti bunyi burunghantu.
Tanda itu dia bunyikan tiga kali. Suara salung Lebak Tuah berhenti sebentar. Kemudian terdengar lagi perlahan. "Kita teruskan perjalanan. Dia akan menyusul." Mereka menapak lagi dalam kegelapan itu. Kini mereka telah berada dalam rimba di belakang rumah Datuk Sipasan. Dan betul juga, tak lama kemudian Lebak Tuah telah bergabung di bagian belakang.
Namun Datuk Sipasan merasa tak sedap di hatinya. Ada sesuatu yang ganjil dalam kegelapan malam itu terasa. Ada yang menakutkan terasa melihat bayangan pohon dalam hutan itu. Dia ingin berbisik memanggil Sidi Kasim yang berada di depannya, tatkala tiba-tiba mereka seperti dipakukan ke tempatnya karena suara tawa yang terbahak-bahak.
"He....hee....hee...."
Mereka terhenti. Para perempuan seperti kehilang-an semangat.
"He...hee.....ha....hee....
Suara tawa itu menggema lagi. Dan tiba-tiba Datuk Sipasan serta teman-temannya ingat, tawa itu seperti tawa yang pernah mereka dengar di Bukit Tambun Tulang!
"Gampo Bumi!!" Datuk Sipasan berkata lambat. Dan suaranya di dengar oleh semua orang. Hal itu benar-benar membuat mereka merasa kecut. Tawa itu memang seperti tawa di Bukit Tambun Tulang. Di -saat mana mereka hampir saja mati, kalau si Giring-Giring Perak tak segera me-nolong.
"Perangkap. Kita masuk perangkap...." Suara Sidi Kasim terdengar dari depan. Ya, tak dapat mereka pungkiri, mereka kini berada dalam perangkap.
Lebak Tuah menarik tangan teman-temannya untuk kembali ke rumah. Namun Datuk Sipasan menahannya. Dan tiba-tiba puluhan damar dan suluh dihidupkan dalam rimba itu. Ke 18 orang itu kini berada di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh suluh. Mereka terdiam. Anak-anak itu mulai menangis.
"He....he....he... Akan ke mana kalian he...??" Sebuah suara terdengar dari balik suluh yang me-nyala itu. Tak ada yang menyahut.
"Kalian akan pergi begitu saja setelah membunuh empat orang anak buahku yang tak berdosa? Begitu hm.....? Kalian sengaja datang dari Pariaman untuk mengacau di sini hem.....?"
Datuk Sipasan maju selengkah. "Kami tak bersalah dalam hal ini. Siapa yang bicara tadi, haraplah perlihatkan diri..." Sebagai jawabannya kembali terdengar tawa berguman. Datuk Sipasan .sekilas lihat saja menghitung, ada tiga puluh buah suluh dan damar yang mengelilingi mereka. Kalau satu suluh satu orang, maka berarti ada 30 orang yang mengelihngi mereka. Tapi dia yakin, jumlah itu jauh lebih banyak. Suatu pertarungan dalam hutan dalam situasi begini, adalah bunuh diri bagi rombongannya, Karena itu dia berusaha untuk mengulur waktu. Kalau mungkin berembuk.
"Kau katakan tak bersalah setelah membunuh keempat anak buahku? Hmm... enaknya. Tapi kenapa kalian harus melarikan diri begini kalau mengaku tak bersalah?"
Datuk Sipasan segera menangkap sesuatu dalam ucapan lelaki yang tertawa itu. Lelaki itu ,sudah dua kali berkata tentang "anak buahku". Itu berarti lelaki ini pastilah si Pandeka Sangek. Jadi bukan si Gampo Bumi. Tapi tak ada bedanya. Gampo Bumi atau Pandeka Sangek, mereka pastilah menghendaki satu hal: kematiannya dan kehormatan perempuan-perempuan mereka.
"Tangkap mereka semua!" Tiba-tiba terdengar suara perintah bergema. Lebih dari dua puluh lelaki yang memakai keris dan golok di tangan muncul dari balik suluh. Ketujuh laki-laki dari Pariaman itu. serentak membuat lingkaran. Menempatkan perempuan dan anak-anak di bahagian tengah. Dan mereka semua mencabut keris. Nampaknya mereka tak berniat sedikitpun untuk menyerah begitu saja.
Giring Giring Perak : Episode 15 - Rencana Mengungsi
Tengah malam keenam lelaki yang berjaga di keliling rumah itu jadi terkejut melihat rombongan lelaki datang dengan suluh daun kelapa. Tapi ketika sudah dekat, mereka segera tahu, bahwa itu adalah rombongan Kepala Nagari. Dia tak naik ke rumah.
Tapi pada keenam lalaki yang mengelilingi, dia berkata:
"Kami harap Datuk itu dibawa ke Pos Kapitan Vender di Kabun Sikolos. Begitu juga isteri dan gadis yang bernama Siti Nilam itu....."
Dan tanpa menunggu jawaban ba atau bu, kepala nagari itu bersama tiga orang lainnya balik kanan. Berjalan meninggalkan rumah ter-sebut. Keenam lelaki dari Pariaman itu tertegak diam. Mereka saling pandang. Kemudian tanpa bicara sepatah katapun, mereka kembali ketem-pat di mana mereka tadi tegak menjaga, Tak ada niat sedikitpun bagi mereka untuk menyerahkan datuk itu. Dari Pariaman mereka datang kemari untuk mencari bantuan guna menyerang Belanda yang datang menjajah. Mereka sudah berniat untuk sesakit sesenang.
Kini salah seorang dari mereka mendapat kesulitan, maka mereka ber-tekad untuk memikulnya bersama.
Tapi 3 hari pula berlalu sejak itu tak seorang-pun yang datang ke rumah tersebut. Hal itu sebenarnya menguritungkan bagi Datuk Sipasan. Keadaan tubuhnya makin lama makin membaik. Menjelang hari keempat dia sudah bisa duduk di tempat tidur. Obat yang diramu dari daun dan akar kayu seperti yang diajarkan si Giring-Giring Perak itu ternyata arnat mujarab.
"Nilam... panggil Sidi dan teman-teman ke atas..."
Nilam melaksanakan permintaan itu. Lima orang dari yang berenam yang berada di keliling rumah itu segera naik. Sementara yang seorang tetap berjaga-jaga di bawah. Mereka tegak dalam bilik kecil itu di depan pembaringan Datuk Sipasan. Tegak dengan diam. Dengan tatapan yang teguh Datuk Sipasan me-natap mereka satu demi satu bergantian. "Kalian harus menghindarkan pertikaian dengan penduduk di sini. Kita datang untuk mencari bantuan. Ingat, di Pariaman, puluhan teman-teman menggantungkan nasibnya dari tugas yang kita pikul untuk menyusun kekuatan. Di sini Islam juga sudah mulai bangkit. Kalau terpaksa, tinggalkan negeri ini. Menyingkir ke Luhak Agam atau ke Sungai Jambu dan Lima Kaum..." "Tapi yang menyerang Datuk bukan orang Islam. Mereka anak buah Pandeka Sangek...." "Darimana kalian tahu..." "Begitu cerita yang kami dengar di lepau dan di balai sebelum kami datang kemari......" "Pandeka Sangek? Saya seperti pernah mendengar nama itu di Pariaman. Kalau tak salah dia adalah utusan Kompeni ke perundingan dengan Belanda di pulau Cingkuk setahun yang lalu..." "Kabarnya dia memang punya hubungan yang erat dengan kapitan Vender di kampung Sikolos..." "Bagaimana kalau malam ini kita menyingkir semua dan sini?" tiba-tiba salah seoran,mengajukan saran. "Ya. Saya rasa itu jalan yang baik. Sebab, penduduk di sini nampaknya takut semua pada Pandeka Sangek. Mereka lebih suka diam dan membiarkan diri dan keluarga mereka di bawah cengkeraman penyamun-penyamun itu daripada bangkit melawan. Karenanya, kalau akan melawan juga, kita tak bisa niengharapkan bantuan dari penduduk di sini. Kita hanya tujuh orang, semen-tara mereka puluhan. Apalagi di tambah dengan dua puluh orang Kompeni yang bermarkas di kebun Sikolos...."
Semuanya kini terdiam. Mereka menanti putusan Datuk Sipasan. Perempuan-perempuan yang mendengarkah pembicaraan itu dari kamar sebelah, menanti dengan perasan tegang.
"Apakah ada jalan lain yang aman untuk melarikan diri malam ini?"
"Sudan kami selidiki. Nampaknya jalan yang aman adalah kembali ke arah air terjun di mana Siti Nilam diculik. Dari sana kita naik ke atas, dan memutus ke Balingka."
"Suatu perjalanan yang amat berat. Apakah sudah ada jalan pedati?"
"Pedati harus kita tinggalkan. Kita menyela-matkan badan saja...."
Datuk Sipasan terdiam lagi. Dia menatap teman-temannya itu kembali.
"Putusannya kami serahkan pada Datuk. Tak usah terburu-buru. Malam nanti bisa Datuk sampai-kan putusan Datuk pada kami. Kalau satu orang pergi menyelamatkan diri, yang lain harus ikut. Kalau Datuk tinggal di sini, semua kami juga akan tetap tinggal. Dari Pariaman kita telah sesakit sesenang. Begitu dulu, begitu sekarang, dan begitu seterusnya...."
Yang bicara ini adalah Sidi Kasim. Orang yang menjadi tangan kanan Datuk Sipasan selama ini. Yang lain mengangguk. Datuk Sipasan tak dapat berbuat lain, kecuali menarik nafas dalam. Tiba tiba dia teringat sesuatu. Matanya menatap keliling, lalu bertanya:
"Apakah kalian melihat si Giring-GiringPerak?" Pertanyaan ini menyadarkan semua orang, termasuk semua perempuan yang ada di kamar sebelah tentang diri anak muda itu. Mereka saling pandang. Siti Nilam yang ada di sebelah, menunduk. Isteri Datuk Sipasan menatapnya. Kedua perempuan ini yang mula-mula sekali ditimpa bencana hampir diperkosa itu, adalah orang yang pertama mengingat dan mengharapkan kedatangan anak muda itu untuk menolong mereka.
"Tidak ada yang melihat dia di pasar atau di kedai kopi?" Datuk Sipasan kembali bertanya.
Dan yang lain pada menggeleng. Mereka ini tiba-tiba saja mengharapkan kehadiran anak muda itu. Kalau dia ada, mereka yakin akan terhindar dari pembalasan dendam Pandeka Sangek. Tapi anak muda itu sudah enam hari pergi. Dia memang tidak meninggalkan mereka untuk seterusnya. Dia mengatakan pergi hanya dua hari. Tapi kini sudah hari ke enam, dia
tetap tak muncul
Tapi pada keenam lalaki yang mengelilingi, dia berkata:
"Kami harap Datuk itu dibawa ke Pos Kapitan Vender di Kabun Sikolos. Begitu juga isteri dan gadis yang bernama Siti Nilam itu....."
Dan tanpa menunggu jawaban ba atau bu, kepala nagari itu bersama tiga orang lainnya balik kanan. Berjalan meninggalkan rumah ter-sebut. Keenam lelaki dari Pariaman itu tertegak diam. Mereka saling pandang. Kemudian tanpa bicara sepatah katapun, mereka kembali ketem-pat di mana mereka tadi tegak menjaga, Tak ada niat sedikitpun bagi mereka untuk menyerahkan datuk itu. Dari Pariaman mereka datang kemari untuk mencari bantuan guna menyerang Belanda yang datang menjajah. Mereka sudah berniat untuk sesakit sesenang.
Kini salah seorang dari mereka mendapat kesulitan, maka mereka ber-tekad untuk memikulnya bersama.
Tapi 3 hari pula berlalu sejak itu tak seorang-pun yang datang ke rumah tersebut. Hal itu sebenarnya menguritungkan bagi Datuk Sipasan. Keadaan tubuhnya makin lama makin membaik. Menjelang hari keempat dia sudah bisa duduk di tempat tidur. Obat yang diramu dari daun dan akar kayu seperti yang diajarkan si Giring-Giring Perak itu ternyata arnat mujarab.
"Nilam... panggil Sidi dan teman-teman ke atas..."
Nilam melaksanakan permintaan itu. Lima orang dari yang berenam yang berada di keliling rumah itu segera naik. Sementara yang seorang tetap berjaga-jaga di bawah. Mereka tegak dalam bilik kecil itu di depan pembaringan Datuk Sipasan. Tegak dengan diam. Dengan tatapan yang teguh Datuk Sipasan me-natap mereka satu demi satu bergantian. "Kalian harus menghindarkan pertikaian dengan penduduk di sini. Kita datang untuk mencari bantuan. Ingat, di Pariaman, puluhan teman-teman menggantungkan nasibnya dari tugas yang kita pikul untuk menyusun kekuatan. Di sini Islam juga sudah mulai bangkit. Kalau terpaksa, tinggalkan negeri ini. Menyingkir ke Luhak Agam atau ke Sungai Jambu dan Lima Kaum..." "Tapi yang menyerang Datuk bukan orang Islam. Mereka anak buah Pandeka Sangek...." "Darimana kalian tahu..." "Begitu cerita yang kami dengar di lepau dan di balai sebelum kami datang kemari......" "Pandeka Sangek? Saya seperti pernah mendengar nama itu di Pariaman. Kalau tak salah dia adalah utusan Kompeni ke perundingan dengan Belanda di pulau Cingkuk setahun yang lalu..." "Kabarnya dia memang punya hubungan yang erat dengan kapitan Vender di kampung Sikolos..." "Bagaimana kalau malam ini kita menyingkir semua dan sini?" tiba-tiba salah seoran,mengajukan saran. "Ya. Saya rasa itu jalan yang baik. Sebab, penduduk di sini nampaknya takut semua pada Pandeka Sangek. Mereka lebih suka diam dan membiarkan diri dan keluarga mereka di bawah cengkeraman penyamun-penyamun itu daripada bangkit melawan. Karenanya, kalau akan melawan juga, kita tak bisa niengharapkan bantuan dari penduduk di sini. Kita hanya tujuh orang, semen-tara mereka puluhan. Apalagi di tambah dengan dua puluh orang Kompeni yang bermarkas di kebun Sikolos...."
Semuanya kini terdiam. Mereka menanti putusan Datuk Sipasan. Perempuan-perempuan yang mendengarkah pembicaraan itu dari kamar sebelah, menanti dengan perasan tegang.
"Apakah ada jalan lain yang aman untuk melarikan diri malam ini?"
"Sudan kami selidiki. Nampaknya jalan yang aman adalah kembali ke arah air terjun di mana Siti Nilam diculik. Dari sana kita naik ke atas, dan memutus ke Balingka."
"Suatu perjalanan yang amat berat. Apakah sudah ada jalan pedati?"
"Pedati harus kita tinggalkan. Kita menyela-matkan badan saja...."
Datuk Sipasan terdiam lagi. Dia menatap teman-temannya itu kembali.
"Putusannya kami serahkan pada Datuk. Tak usah terburu-buru. Malam nanti bisa Datuk sampai-kan putusan Datuk pada kami. Kalau satu orang pergi menyelamatkan diri, yang lain harus ikut. Kalau Datuk tinggal di sini, semua kami juga akan tetap tinggal. Dari Pariaman kita telah sesakit sesenang. Begitu dulu, begitu sekarang, dan begitu seterusnya...."
Yang bicara ini adalah Sidi Kasim. Orang yang menjadi tangan kanan Datuk Sipasan selama ini. Yang lain mengangguk. Datuk Sipasan tak dapat berbuat lain, kecuali menarik nafas dalam. Tiba tiba dia teringat sesuatu. Matanya menatap keliling, lalu bertanya:
"Apakah kalian melihat si Giring-GiringPerak?" Pertanyaan ini menyadarkan semua orang, termasuk semua perempuan yang ada di kamar sebelah tentang diri anak muda itu. Mereka saling pandang. Siti Nilam yang ada di sebelah, menunduk. Isteri Datuk Sipasan menatapnya. Kedua perempuan ini yang mula-mula sekali ditimpa bencana hampir diperkosa itu, adalah orang yang pertama mengingat dan mengharapkan kedatangan anak muda itu untuk menolong mereka.
"Tidak ada yang melihat dia di pasar atau di kedai kopi?" Datuk Sipasan kembali bertanya.
Dan yang lain pada menggeleng. Mereka ini tiba-tiba saja mengharapkan kehadiran anak muda itu. Kalau dia ada, mereka yakin akan terhindar dari pembalasan dendam Pandeka Sangek. Tapi anak muda itu sudah enam hari pergi. Dia memang tidak meninggalkan mereka untuk seterusnya. Dia mengatakan pergi hanya dua hari. Tapi kini sudah hari ke enam, dia
tetap tak muncul
Giring Giring Perak : Episode 14 - Pandeka Sangek
Isteri Datuk itu segera arif akan bahaya yang mengancam diri suaminya Sejak awal tubuhnya dipangku naik oleh baji-ngan itu tadi, dia sadar sepenuhnya. Dia dapat merasa sakit atau geli, tapi tak dapat melawan karena totokan itu. Dia dapat melihat perkelahian antara suaminya dengan kedua lelaki itu. Kini dengan air mata membasahi pipi, dia menyambar kain panjangnya. Dengan melekatkan kain seadanya dia melompat turun. Menggendong kedua anaknya, lalu membawa naik ke rumah.
Setelah meletakkan anak, dia mengurut tengkuk Siti Nilam. Dan sebelum gadis ini sadar sepenuh'nya, dia telah melompat turun. Kemudian bergegas ke tepi rimba di belakang rumah. Dari sana dia mengambil dua macam akar kayu, lalu empat macam dedaunan yang dia kenal sebagai ramuan obat.
Akar dan daun ini dia remas. Dia masih ingat cara pengobatan yang diajarkan oleh Si Giring:Giring Perak sebulan yang lalu di Air Terjun Anai tatkala mereka baru saja selamat dari serangan pe-nyamun Bukit Tambun Tulang. Siti Nilam yang segera dapat bergerak, setelah melekatkan kain sekedarnya, langsung menendang kedua tubuh lelaki yang hampir saja menodai diri mereka itu. Begitu kakinya bergerak, tubuh lelaki itu bergantian terlambung kebawah. Dia kemudian memangku anak Datuk Sipasan yang kecil. Yang sejak tadi tak henti-hentinya menangis.
Isteri Datuk Sipasan segera menggiling dedaunan dan akar-akar yang baru dia ambil. Kemudian mengambil persediaan madu lebah yang selalu dibawa. Dia tak sempat menangisi nasib. Tak sempat bersedih. Perempuan-perempuan dari Pariaman ini, telah terbiasa hidup dalam kekerasan. Peperangan antara kaum mereka dengan Belanda, atau peperangan sesama kaum karena judi, perempuan harta dan sebagainya, membuat perempuan perempuan di Pariaman menjadi wanita-wanita yang punya rasa tanggung jawab yang besar. Tidak hanya sekedar melahirkan anak bagi suami-suami-nya, Tidak pula hanya sekedar menanakkan nasi, membuatkan kopi atau teman di tempat tidur saja. Tetapi mereka adalah perempuan yang ikut berjuang bersama suaminya. Keadaan membuat mereka menjadi perempuan-perempuan yang mampu menekan rasa takut dan lemah seperti umumnya dimiliki oleh kaum perempuan yang lain.
Ketika dia selesai meramu obat dari dedaunan itu, anaknya telah tidur dan diletakkan oleh Siti Nilam di pembaringan. Beberapa orang lelaki yang tadi melihat Datuk itu berlari melintasi sawah mereka,pada mendatangi rumah Datuk tersebut. Dan mereka, kaum lelaki penduduk Silaing itu jadi terkejut melihat keempat tubuh yang tergolek di halaman yang telah jadi mayat itu. Mereka amat kenal pada keempat lelaki itu. Yaitu anak buah Pandeka Sangek. Dan mereka juga tahu sangat, Pandeka Sangek ini adalah salah seorang murid Harimau Tambun Tulang yang kesohor itu.
Karenanya, mereka segera surut kembali ke sawah atau cepat-cepat pulang ke rumah. Mereka tak mau kena getah dari peristiwa mengerikan itu. Sudah cukup sering merka melihat pembalasan dari anak buah Pandeka Sangek. Pandeka itu sendiri jarang sekali turun dari pusat "Pemerin-tahannya". Dia "memerintah" dari puncak Gunung Rajo di balik Bukit Tui. Yang sering turun adalah anak buahnya. Penduduk di negeri Sikolos, I Silaing, Kampung Manggis, Gunung, Tanah Hitam, Bukit Surungan dan Gunung Malintang, setiap 1 purnama harus membayar upeti pada Pandeka Sangek. Upeti itu berupa uang. Atau perhiasan emas untuk beberapa purnama. Gunanya sebagai uang keamanan. Bagi yang membayar, keamanan-nya dijamin. Bagi yang tidak membayar, ada-ada saja musibah yang datang. Sekurang-kurangnya kerbaunya mati kena racun. Atau anak gadisnya diperkosa. Bahkan tak jarang yang kedapatan mati di sembelih di Bancah Laweh. Bancah Laweh ini suatu tempat yang menakut-kan penduduk di kampung-kampung sekitarnya. Asal mereka tertangkap dan dibawa ke sana oleh Kompeni, maka itu berarti yang pulang hanya nama.
Seorang Kapiten Berkedudukan di pasar Kebun Sikolos. Di bawah si Kapiten, ada satu peleton tentara Kompeni. Nah, ada dua tulang punggung Pandeka Sangek dan anak buahnya. Yang pertama adalah murid Harimau Tambun Tulang. Yang kedua sahabat dekat yang rajin membayar upeti berjumlah banyak pada Kompeni.
Untuk itu, dia dipercaya memungut pajak dari rakyat. Dan cerita tentang matinya empat orang anak buah Pandeka Sangek di tangan datuk Sipasan, pengungsi yang baru datang dari Pariaman itu, segera menjalar seperti api melahap padang lalang yang kering. Di mana-mana, di lepau, di pancuran mandi, di sawah, di ladang, di sasaran silat, di pos penjagaan Kompeni, di tempat judi, di tempat orang berandal, bersalung, cerita itu merambat seperti ular belang yang menjalar amat mengerikan. Setiap orang kini menanti pembalasan yang akan dilakukan pihak Pandeka Sangek. Pengikut Datuk Sipasan, yang bersama-sama dengannya datang dari Pariaman dalam kafilah Pedati yang dicegat di Bukit Tambun Tulang itu, juga mendengar cerita tersebut. Hanya ada enam orang lelaki di daerah tersebut. Enam keluarga, Yang lain sudah sepekan me-neruskan perjalanan ke Luhak Agam dan ke Pa-garuyung. Keenam lelaki ini, segera datang ke rumah Datuk Sipasan. Ketika mereka. datang senja di hariitu,mayat keempat lelaki tersebut sudah dibawa pergi oleh teman-temannya. Belum ada kejadian apa-apa. Tapi mereka yakin, tak lama lagi, pasti akan ada pembalasan. Kini, semua rombongan dari Pariaman yang ber-jumlah enam orang itu, mengumpulkan anak isteri-nya di rumah Datuk tersebut. Mereka sudah ber-tekad. Kalau penduduk nagari ini akan berpihak pada Pandeka Sangek, atau Pandeka Sangek meng-adakan pembalasan, mereka akan melawan sampai tetes darah terakhir.
Keenam lelaki itu tegak di keliling rumah Datuk tersebut. Sementara semua perempuan berada dalam rumah. Mereka tegak sepuluh depa dari rumah itu. Menjaga kemungkinan terhadap serangan mendadak. Di atas rumah, Datuk Sipasan belum bisa bangkit. Bahkan belum sadar. Keris berbisa itu sudah dicabut isterinya dari perutnya. Dia sebe-narnya seorang ahli bisa. Bahkan dalam tubuhnya berkumpul bisa Lipan (sipesan) yang mematikan musuh. Namun menghadapi racun yang terdapat diujung keris lawannya siang tadi, nampaknya dia tak berdaya. Ketika dia sadar dan membukakan mata, Datuk itu melihat isterinya tegak dengan wajah pucat di sisinya. Lampu damar telah terpasang. Dan dia segera mengetahui, di dalam rumahnya ini penuh oleh manusia. Dia ingin bangkit. Tapi tubuhnya terasa amat lemah. "Air..." desahnya. Siti Nilam memberikan labu yang telah dikeringkan dan diisi air mentah dari pincuran. Datuk itu minum dengan lahap. "Saya mendengar rumah ini seakan-akan penuh..." Isterinya mengangguk. "Siapa..,.?" "Isteri Lebak Tuah dan anak-anaknya. Isteri Sidi Tuah. Isteri Sidi Kasim. Dan semua temanteman dari Pariaman yang berdiam di Nagari ini..." "Mengapa mereka berkumpul di sini?" "Yang empat orang mati tadi adalah anak buah Pandeka Sangek. Dan mereka penguasa di Nagari ini. Kabarnya mereka akan membalas dendam. Dan teman-teman semua berada di keliling rumah..." Datuk Sipasan menggeleng. Dia tak ingin teman-temannya itu ikut dalam peristiwa ini.
Namun dia tak kuasa bangkit.
Setelah meletakkan anak, dia mengurut tengkuk Siti Nilam. Dan sebelum gadis ini sadar sepenuh'nya, dia telah melompat turun. Kemudian bergegas ke tepi rimba di belakang rumah. Dari sana dia mengambil dua macam akar kayu, lalu empat macam dedaunan yang dia kenal sebagai ramuan obat.
Akar dan daun ini dia remas. Dia masih ingat cara pengobatan yang diajarkan oleh Si Giring:Giring Perak sebulan yang lalu di Air Terjun Anai tatkala mereka baru saja selamat dari serangan pe-nyamun Bukit Tambun Tulang. Siti Nilam yang segera dapat bergerak, setelah melekatkan kain sekedarnya, langsung menendang kedua tubuh lelaki yang hampir saja menodai diri mereka itu. Begitu kakinya bergerak, tubuh lelaki itu bergantian terlambung kebawah. Dia kemudian memangku anak Datuk Sipasan yang kecil. Yang sejak tadi tak henti-hentinya menangis.
Isteri Datuk Sipasan segera menggiling dedaunan dan akar-akar yang baru dia ambil. Kemudian mengambil persediaan madu lebah yang selalu dibawa. Dia tak sempat menangisi nasib. Tak sempat bersedih. Perempuan-perempuan dari Pariaman ini, telah terbiasa hidup dalam kekerasan. Peperangan antara kaum mereka dengan Belanda, atau peperangan sesama kaum karena judi, perempuan harta dan sebagainya, membuat perempuan perempuan di Pariaman menjadi wanita-wanita yang punya rasa tanggung jawab yang besar. Tidak hanya sekedar melahirkan anak bagi suami-suami-nya, Tidak pula hanya sekedar menanakkan nasi, membuatkan kopi atau teman di tempat tidur saja. Tetapi mereka adalah perempuan yang ikut berjuang bersama suaminya. Keadaan membuat mereka menjadi perempuan-perempuan yang mampu menekan rasa takut dan lemah seperti umumnya dimiliki oleh kaum perempuan yang lain.
Ketika dia selesai meramu obat dari dedaunan itu, anaknya telah tidur dan diletakkan oleh Siti Nilam di pembaringan. Beberapa orang lelaki yang tadi melihat Datuk itu berlari melintasi sawah mereka,pada mendatangi rumah Datuk tersebut. Dan mereka, kaum lelaki penduduk Silaing itu jadi terkejut melihat keempat tubuh yang tergolek di halaman yang telah jadi mayat itu. Mereka amat kenal pada keempat lelaki itu. Yaitu anak buah Pandeka Sangek. Dan mereka juga tahu sangat, Pandeka Sangek ini adalah salah seorang murid Harimau Tambun Tulang yang kesohor itu.
Karenanya, mereka segera surut kembali ke sawah atau cepat-cepat pulang ke rumah. Mereka tak mau kena getah dari peristiwa mengerikan itu. Sudah cukup sering merka melihat pembalasan dari anak buah Pandeka Sangek. Pandeka itu sendiri jarang sekali turun dari pusat "Pemerin-tahannya". Dia "memerintah" dari puncak Gunung Rajo di balik Bukit Tui. Yang sering turun adalah anak buahnya. Penduduk di negeri Sikolos, I Silaing, Kampung Manggis, Gunung, Tanah Hitam, Bukit Surungan dan Gunung Malintang, setiap 1 purnama harus membayar upeti pada Pandeka Sangek. Upeti itu berupa uang. Atau perhiasan emas untuk beberapa purnama. Gunanya sebagai uang keamanan. Bagi yang membayar, keamanan-nya dijamin. Bagi yang tidak membayar, ada-ada saja musibah yang datang. Sekurang-kurangnya kerbaunya mati kena racun. Atau anak gadisnya diperkosa. Bahkan tak jarang yang kedapatan mati di sembelih di Bancah Laweh. Bancah Laweh ini suatu tempat yang menakut-kan penduduk di kampung-kampung sekitarnya. Asal mereka tertangkap dan dibawa ke sana oleh Kompeni, maka itu berarti yang pulang hanya nama.
Seorang Kapiten Berkedudukan di pasar Kebun Sikolos. Di bawah si Kapiten, ada satu peleton tentara Kompeni. Nah, ada dua tulang punggung Pandeka Sangek dan anak buahnya. Yang pertama adalah murid Harimau Tambun Tulang. Yang kedua sahabat dekat yang rajin membayar upeti berjumlah banyak pada Kompeni.
Untuk itu, dia dipercaya memungut pajak dari rakyat. Dan cerita tentang matinya empat orang anak buah Pandeka Sangek di tangan datuk Sipasan, pengungsi yang baru datang dari Pariaman itu, segera menjalar seperti api melahap padang lalang yang kering. Di mana-mana, di lepau, di pancuran mandi, di sawah, di ladang, di sasaran silat, di pos penjagaan Kompeni, di tempat judi, di tempat orang berandal, bersalung, cerita itu merambat seperti ular belang yang menjalar amat mengerikan. Setiap orang kini menanti pembalasan yang akan dilakukan pihak Pandeka Sangek. Pengikut Datuk Sipasan, yang bersama-sama dengannya datang dari Pariaman dalam kafilah Pedati yang dicegat di Bukit Tambun Tulang itu, juga mendengar cerita tersebut. Hanya ada enam orang lelaki di daerah tersebut. Enam keluarga, Yang lain sudah sepekan me-neruskan perjalanan ke Luhak Agam dan ke Pa-garuyung. Keenam lelaki ini, segera datang ke rumah Datuk Sipasan. Ketika mereka. datang senja di hariitu,mayat keempat lelaki tersebut sudah dibawa pergi oleh teman-temannya. Belum ada kejadian apa-apa. Tapi mereka yakin, tak lama lagi, pasti akan ada pembalasan. Kini, semua rombongan dari Pariaman yang ber-jumlah enam orang itu, mengumpulkan anak isteri-nya di rumah Datuk tersebut. Mereka sudah ber-tekad. Kalau penduduk nagari ini akan berpihak pada Pandeka Sangek, atau Pandeka Sangek meng-adakan pembalasan, mereka akan melawan sampai tetes darah terakhir.
Keenam lelaki itu tegak di keliling rumah Datuk tersebut. Sementara semua perempuan berada dalam rumah. Mereka tegak sepuluh depa dari rumah itu. Menjaga kemungkinan terhadap serangan mendadak. Di atas rumah, Datuk Sipasan belum bisa bangkit. Bahkan belum sadar. Keris berbisa itu sudah dicabut isterinya dari perutnya. Dia sebe-narnya seorang ahli bisa. Bahkan dalam tubuhnya berkumpul bisa Lipan (sipesan) yang mematikan musuh. Namun menghadapi racun yang terdapat diujung keris lawannya siang tadi, nampaknya dia tak berdaya. Ketika dia sadar dan membukakan mata, Datuk itu melihat isterinya tegak dengan wajah pucat di sisinya. Lampu damar telah terpasang. Dan dia segera mengetahui, di dalam rumahnya ini penuh oleh manusia. Dia ingin bangkit. Tapi tubuhnya terasa amat lemah. "Air..." desahnya. Siti Nilam memberikan labu yang telah dikeringkan dan diisi air mentah dari pincuran. Datuk itu minum dengan lahap. "Saya mendengar rumah ini seakan-akan penuh..." Isterinya mengangguk. "Siapa..,.?" "Isteri Lebak Tuah dan anak-anaknya. Isteri Sidi Tuah. Isteri Sidi Kasim. Dan semua temanteman dari Pariaman yang berdiam di Nagari ini..." "Mengapa mereka berkumpul di sini?" "Yang empat orang mati tadi adalah anak buah Pandeka Sangek. Dan mereka penguasa di Nagari ini. Kabarnya mereka akan membalas dendam. Dan teman-teman semua berada di keliling rumah..." Datuk Sipasan menggeleng. Dia tak ingin teman-temannya itu ikut dalam peristiwa ini.
Namun dia tak kuasa bangkit.
Langganan:
Postingan (Atom)