Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Jumat, 20 Agustus 2010

Giring Giring Perak : Episode6 - Malam Mencekam di Batang Anai

Lewat tengah malam, ketika semua rombongan bergelung di keliling api untuk tidur, sementara yang perempuan masuk ke pedati, anak muda itu berjalan lambat-lambat menjauhi lingkaran api unggun itu.
Beberapa orang terbangun mendengar suara giring-giring perak di kakinya ketika dia melangkah. Suara giring-giring itu melantun lemah. Seperti se-buah dendang rindu dan putus asa seorang anak yang mencari kedua orang tuanya.

"Si giring-giring perak itu pergi" bisik seorang lelaki pada Datuk Sipasan. Datuk itu
membuka matanya.
"Saya juga mendengar suara giring-giringnya. Tapi saya rasa dia takkan pergi..." jawab si Datuk perlahan.
"Kenapa begitu?"
"Entahlah, pokoknya saya rasa dia akan tetap bersama kita sampai besok. Dia takkan mau meninggalkan rombongan yang telah ditolongnya di kaki bukit ini. Tempat ini masih sangat berba-haya. Barangkali penyamun-penyamun itu tengah mengintai kita. . ."
"Aneh, siang tadi sama sekali saya tak melihat dia bersilat..."
"Maksudmu...?" seorang lain di dekat api unggun yang mendengar pembicaraan perlahan itu bertanya sambil mengangkat kepala dari batu yang dia jadikan sebagai bantal. Nada tanyanya agak berang.
"Maaf, bukan saya menyangsikan kepandaian-nya. Tapi...saya tak punya kesempatan melihat dia bergerak. Terlalu cepat..."
"Ya. saya sendiri tak tahu bagaimana cara dia bergerak. Hanya melesatnya bayangan putih yang nampak ketika dia menyerang Gampo Bumi dua kali. Dan tombak yang hampir menyudahi nyawa saya, dia hantam dengan ranting kayu.. Gerakannya benar-benar cepat. Hei, dia memang belum mengatakan siapa gurunya tadi bukan?..." Ucapan Datuk Sipasan ini membuat beberapa lelaki bangkit dari pembaringan mereka. Pembicaraan itu memang menarik perhatian .mereka semua.
"Ya. Dia tak pernah bicara tentang siapa nama gurunya. Yang dia katakan hanyalah bahwa gurunya berdiam di Gunung Talang...."
"Gunung Talang... Seingat saya tak pernah ada seorangpun guru silat tinggal di sana. Ataukah pengetahuan saya demikian sempitnya hingga yang saya ketahui hanyalah perguruan-perguruan kecil saja?" Datuk Sipasan seperti bicara pada dirinya sendiri.

Suara giring-giring itu sudah senyap. Yang terdengar kini hanyalah suara desah air terjun Anai dan bisikan malam bersahutan dengan suara peng-huni hutan.

"Hei Datuk, bagaimana kalau dia kita jodohkan dengan Siti Nilam?" Seorang lelaki separoh baya bicara. Ucapannya tak begitu keras. Tapi hampir semua lelaki yang tidur di keliling api unggun itu pada menyumburkan kepala mereka dari bawah selimut. Beberapa orang di antaranya malah du-duk. Datuk Sipasan masih diam.

"Apa maksudmu?" tanyanya perlahan.
"Ehm...maksud saya... maksud saya mereka nampaknya saling jatuh hati."
"Darimana kau tahu?" Seorang lelaki dekat pohon tumbang yang telah duduk dari berbaring-nya bertanya.
"Saya melihat mereka saling menatap lama sekali tadi...."
"Ya, saya juga melihat..." kata lelaki lain.
"Ya, saya juga!"

"Saya juga..."
"Ketika berkelahi di Bukit Tambun Tulang tadi, dia bertatapan cukup lama dengan Kepala Penyamun itu. Juga dengan saya. Apakah itu pertanda cinta pula?" Suara Datuk Sipasan masih terdengar perlahan tanpa merobah posisinya ber-baring.

Ucapannya ini disambut oleh tawa bergumam beberapa orang. Tapi lelaki yang bicara pertama tadi menyela lagi:
"Pandangannya pada Datuk dan kepada Kepala Penyamun itu sudah tentu berlainan dengan pan-dangannya pada Nilam. Jangan disamakan. Dia pastilah anak muda normal Datuk...."

Kembali beberapa orang tertawa mendengar kilah ini. Datuk Sipasan sendiri ikut tersenyum.
"Ya. saya juga melihat dia menatap lama sekali pada Nilam"
"Tidak hanya dia Datuk. Nilam juga membalas tatapannya lama sekali. Dan itu bukan hanya seke-dar tatap-tatapan. Tatapannya punya arti"
"Arti yang dalam...." sambung yang lain.
"Dalam dan bermakna..." sahut yang lain pula.
"Bermakna dan indah...." yang lain lagi bicara.

Dan mereka jadinya bicara bergalau. Kemudian galau itu terhenti tatkala sayup-sayup terdengar suara bansi. Suara bansi di tengah malam!
Bunyi bansi itu lembut mendayu. Mereka saling pandang. Kemudian beberapa orang merebahkan badannya kembali. Beberapa orang lagi mengikuti berbaring perlahan. Menarik selimut, berkelumun. Namun suara bansi itu tetap mereka dengar. Ada relung hati mereka yang serasa teriris pilu bersama suara bansi yang alangkah menghibanya itu.

"Dia merindukan orang tuanya. Saudaranya. Kakaknya, atau siapa saja yang bisa mengenal nya.." seorang berkata dari balik kain sarung yang menutupi wajahnya."Suara bansi itu adalah suara hatinya...""Alangkah sepinya malam ini. Malam yang gelap di tengah rimba. Namun dirinya ratusan kali lebih sepi dari kesepian rimba ini. Hidup tanpa mengenal apa-apa. Bahkan nama dan � dirinya sendiri tak dia kenal..." Datuk Sipasan berkata perlahan. Yang lain mendengarkan sementara hati mereka jatuh hiba mendengar suara bansi itu."Kalau dia memang punya hati pada Nilam, saya amat bersyukur. Nilam baru kehilangan ayah. Kehilangan ibu. Kini dia sebatang kara. Kalau mereka dijodohkan Tuhan, saya yakin mereka akan bahagia. Nilam akan mendapat pelindungan dari lelaki yang gagah perkasa. Sementara anak muda itu akan menemukan ibu, adik dan saudaranya dalam diri Nilam..."
Datuk itu berkata perlahan.
Malampun berangkat larut. Tak ada lagi di antara mereka yang bicara. Barangkali semua ter-tidur karena lelah. Tapi barangkali juga tak seorang pun yang bisa memejamkan mata.
Salah seorang di antara yang tak bisa memejamkan mata itu adalah Siti Nilam. Dia terbaring
dengan gelisah dalam ruang pedatinya. Suara bansi itu amat menggelisahkan hatinya. Dia tak tahu kenapa dia menangis. Dia tak ingin menangis. Tapi air mata menggabak terus di pipinya.

Dia teringat pada almarhum ibunya. Pada ayah-nya yang baru saja meninggal siang tadi. Dia kini sebatang kara. Tak ada famili. Kemana dia harus pergi? Ikut terus dengan rombongan ini? Kemudian mengapa? Sebagai gadis yang baru saja mekar, dia tahu cukup banyak lelaki yangjatuh hati padanya. Namun dia tak pernah memikirkan lelaki sekali-pun. Tak pernah!
Tapi tatapan anak muda berbaju putih dan bergiring-giring perak itu membuat hatinya berdebar.

Dia berbalik ke kiri. Ke kanan. Menghapus air mata. Suara bansi tadi sudah lama lenyap. Yang terdengar hanya suara burung hantu dan desahan air terjun. Desah air itu seperti desah hatinya yang sepi. Desah hatinya yang sendiri tanpa ayah dan ibu. Dia menghapus air mata.
Dia duduk Dia berdi-ri. Dia turun ketanah. Menghirup udara malam yang alangkah sejuk dan segarnya.

Dia melangkah. Di kanannya kelihatan api unggun. di mana para lelaki pada berbaring, di sekelilingnya. Dia melangkah ke kiri. Dia ingin ' menceritakan penderitaan hatinya pada orang lain. Pada perempuan lain. Dia menol'eh ke pedati Rahimah yang ada di belakang pedatinya. Sunyi. Sudah tidurkah dia? Pasti sudah. Ke sanakah aku? Ah, dia sudah tidur.
Kenapa harus kuikut serta . dia ke dalam rusuh hatikku?
Dengan fikiran demikian dia melangkah terus. Dia ingin ke dekat air mancur. Ingin
mendengar resahnya air terjun itu. Barangkali keresahan air terjun itu bisa mengalahkan resah hatinya. Bukankah dengan mendengar keresahan lain keresahan kita terasa lebih ringan?

Tapi kenapa bansi itu tak lagi berbunyi? Ah, lebih baik memang dia tak berbunyi. Tapi aku ingin mendengar bunyinya lagi. pikirnya sambil tetap melangkah ke air terjun.
Namun gadis ini tak mengetahui bahwa ke-inginannya untuk lepas dari kegundahan hatinya itu justru menyeretnya ke dalam bahaya yang mengerikan.
Dugaan Datuk Sipasan memang benar. pimpinan Penyamun Bukit Tambun Tulang itu memang tak mau menyerah begitu saja.

Belum pernah dalam sejarah liidup mereka melepaskan mangsa pergi tanpa upeti. Apalagi rombongan Datuk ini telah mendatangkan celaka pada mereka.Untuk itu Gampo Bumi mengirimkan empat orang anak buahnya yang tangguh-tangguh untuk mengikuti rombongan itu. Dan mereka jadi gcmbira bahwa rombongan itu justru bermalam dekat air terjun. Hariya mereka jadi kecut melihat anak muda itu tak pernah lepas dari rombongan ter-sebut.Mereka menanti di seberang air terjun sana. Menanti saat yang baik untuk membalaskan sakit hati dan dendam. Nyamuk dan kegelapan malam bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka. Bahkan harimau dan ular tak bisa menggetarkan mereka. Mereka sudah terlalu biasa dengan hutan ini. Ini adalah rumah mereka. Mereka mengenal setiap jengkal hutan ini. Karenanya ketika rombongan Datuk itu terlena tidur di serang kantuk nyamuk dan rasa dingin yang menusuk, mereka enak-enak saja di dahan kayu mengintai.
Suatu saat salah seorang di antara mereka berbisik: '
"Sst, lihat itu...."
Tiga orang lainnya menoleh. Dan mereka melihat sesosok tubuh berjalan ke air terjun.
"Hei, itu perempuan..."
"Sst, jangan ribut. Biarkan dia. Ini umpan yang empuk...."
"Hei, bukankah gadis itu yang gagal dilahap Lelo Cindai siang tadi?"

Lelaki yang bernama Lelo Cindai, yang memimpin rombongan kecil itu mempertajam pandangan. Dan jakunnya turun naik."Ya..Ya! Dialah gadis itu. Amboi, gadis yang jolong mekar. Susunya sekepalan tangan. Mengkal dan harum. Aku sempat meremasnya tadi siang. Pinggulnya.... amboiii. Ini bahagianku. Daripada batang pisang, lebih baik merapalam dan kuini. Tak dapat tadi siang lebih nikmat malam ini...ke-marilah upik.. kemarilah sayang. Ini udamu.. ku-beri kau yang nikmat di dunia ini..." Lelo Cindai berbisik dan perpantun.
"Jangan terlalu panjang pantunnya Lelo. Yang perlu Lelo ingat adateh pantun ini: Di mana tumbuhnya padi, kalau tidak di sungai Batang Had. Kalau Lelo mendapat empat kali, jangan lupa kami seorang sekali".
Pantun ini disambut dengan tawa yang ditahan oleh tiga orang lainnya.
"Berees! Bukankah selama ini saya selalu mem-beri kalian giliran? Kalau saya selesai empat kali, kalian kuberi dua kali seorang Okey?"
"Oke sih Oke Lelo. Tapi apakah gadis itu akan tahan?"
"Jangan khawatir dia tidak hanya "tahan" tapi akan melayani kita semua dengan
keahliannya".
"Dengan keahliannya?"
"Ya!"
"Saya rasa dia belum pernah disentuh lelaki Lelo..."
"Jahannam. Siang tadi saya meremasnya. Apakah saya kau anggap bukan lelaki?"
"Bukan! Bukan itu maksud saya Lelo. Selain Lelo saya rasa dia masih perawan. Barangkali
umurnya paling tinggi delapan belas...."
"Enam belas! Dia pasti enam belas" kata Lelo Cindai membetulkan.
"Ya, saya percaya itu. Tapi ini dia datang. Lihat dia membasuh mukanya dengan air sedingin ini. Gila. Apakah dia seorang yang berdarah panas makanya malam sedingin ini mencuci muka?
"Ya, dia gadis berdarah panas. Itu bagus bukan? Nah siap-siaplah"

Tidak ada komentar: