Siti Nilam sudah menangis meli-hat penderitaan anak muda itu. Pandeka Sangek pemgumpulkan pula tenaga batinnya. Menyalurkan ke kakinya yang linu dan lumpuh. Mereka tetap saling pandang. Kemudian terdengar suara anak muda itu perlahan:
"Silat Harimau sanak sangat sempurna... Saya benar-benar mendapat pelajaran yang berharga...." Pandeka Sangek tersenyum. Dia mengagumi anak muda itu. Dia yakin pujian itu bukan sekedar basa-basi. Tapi suatu kejujuran. "Tenaga dalammu juga sangat ampuh Giring-Giring Perak. Saya sampai tak bisa beranjak setelah engkau pukul..." Dia juga berkata jujur. "Ah, tendanganmu justru meremukkan belikat saya. Dan membuat luka dalam yang bisa merenggut nyawa..." Pandeka Sangek tertawa bergumam. "Kalau saja orang lain, yang kepandaiannya cukup tinggi yang kena seranganku tadi, saya jamin mati hanya karena tendangan itu. Saya yakin akan hal itu...." Teman-teman Datuk sipasan dan anak buah Pandeka Sangek mendengar dialog kedua orang ini dengan terheran-heran. Aneh, orang berkelahi, tapi mereka saling mengatakan celaka yang mereka alami akibat pukulan lawan. Bukankah hal itu berarti memberi tahu kepada lawan kelemahan kita sendiri ? Namun Datuk Sipasan arif, demikianlah cara pesilat-pesilat tangguh berkelahi. Dan saat itu, Pandeka itu sudah merasa kakinya kembali bisa digerakkan. Dia kembali meng-angkat kedua tangannya setinggi dada. Dari mulutnya terdengar geraman. Mukanya jadi keras. Kedua tangannya tiba-tiba terangkat tinggi dengan jari-jari membentuk cakar Harimau!. "Silat Harimau dari Tumbun Tulang!!"
Datuk Sipasan berseru. Dia sengaja berkata keras, agar didengar oleh Si Giring-Giring Perak. Dia ingin memberi ingat anak muda itu, bahwa berbeda dari serangan yang mematahkan bulang belikatnya tadi, silat Harimau yang dilancarkan Pandeka Sangek sekarang ini adalah asli Silat Harimau dari Tambun Tulang. Yaitu yang diajarkan oleh gurunya Harimau Tambun Tulang. Ilmu ini berbeda dengan Silat Harimau yang berkembang di Koto Anau Solok. Yang dari Koto Anau, adalah jurus yang dipergunakan ketika melambung dan menghantam belikatnya tadi. Si Giring-Giring Perak sendiri merasa bulu tengkuknya berdiri melihat mimik muka Pandeka Sangek yang menyeringai. Tangannya yang terentang seperti cakar harimau.
Anak-anak buah Pandeka itu sendiri pada melangkah surut melihat Pandeka Sangek. Mereka merasa 'ngeri. Seingat mereka, belum pernah Pandeka ini berkelahi mempergunakan ilmu silat ini, Ilmu ini merupakan semacam ilmu simpanannya. Kini dia mengeluarkan ilmunya itu, itu suatu pertanda bahwa lawan yang dia hadapi bukan sembarang lawan, Dan Pandeka ini berniat berkelahi hidup atau mati. Gerakannya tiba-tiba jadi gesit dan mantap. Dari mulutnya tiap sebentar terdengar geraman dengan dengus. Mirip suara harimau yang sedang berang. Pembuka langkah silat itu saja amat ber- , bahaya bila digunakan untuk menyerang. Hanya dalam beberapa gerak, Pandeka Sangek yang mirip harimau jadi-jadian itu sudah dua kali mengelilingi tubuh Si Giring-Giring Perak.
Datuk Sipasan, yang masih memegang tangan Siti Nilam ikut merasa ngeri melihat kejadian itu. Dia melepaskan tangan Siti Nilam. Gadis itu tertegak dengan diam melihat cara silat Pandeka yang aneh itu. Datuk Sipasan memegang hulu kerisnya. Dia memutuskan, bila dalam serangan pertama anak muda itu tak bergerak, berarti anak muda itu hams dibantu. Dan dia menyiapkan diri untuk berjuang sampai mati membela anak muda itu.
Karena bukankah anak muda itu sekarang sebenarnya berkelahi untuk menyelamatkan nyawa dia dan teman-temannya? Pandeka Sangek tiba-tiba merunduk rendah. Kedua tangannya mencekam tanah. Mulutnya mendengus. Matanya yang merah menatap lurus dan tajam pada tengkuk Si Giring-Giring Perak yang membelakanginya. Anak muda itu masih tetap diam tak bergerak. Matanya terpejam. Tangan kanannya tetap terkulai layu dan lumpuh. Mulutnya masih merah karena darah yang tadi dia muntahkan.
Dia yakin, lawannya menghendaki nyawanya. Dan itu rasanya sudah pantas dari pihak Tambun Tulang. Kalaupun dia yang menjadi Pandeka Sangek, kalau ada lebih dari selusin anak buahnya mati di tangan orang, maka orang itu harus mati pula di tangannya. Hukum karma di rimba persilatan. Dan kini, murid kedua Harimau Tambun Tulang itu menghendaki nyawanya. Terus terang harus dia akui, bahwa dengan mengandalkan jlmu silatnya saja, dia takkan berhasil menundukkan Pandeka Sangek, Ilmu Silek Tuo yang dia pelajari memang tinggi. Tetapi dia kalah dibanding Pandeka Sangek yang telah merancah dunia persilatan ini selama puluhan tahun.
Dan ilmu tanpa pengalaman bisa-bisa menyebabkan pemakainya celaka. Si Giring-Giring Perak maklum akan hal ini. Dia mengakui dan meng-agumi ketinggian ilmu si Sangek dari Gunung Rajo ini. Kalau dengan tubuh yang sehat walaffiat saja dia sudah kewalahan dan malah hampir celaka menghadapi Sangek, apalagi kini dalam keadaan luka dalamnya belum begitu sembuh, dan belikat kanannya retak dan tangan kanannya lumpuh. Kalau dia bertahan juga menggunakan ilmu silat tua itu, alamat dia segera akan menamatkan riwayat-nya di hutan Silaing ini.
Dengan kesimpulan demikian, anak muda itu lalu memutuskan untuk mengimbangi Silat Harimau Tambun Tulang itu dengan mengandalkan ilmu ringan tubuh dan tenaga dalamnya. Dan saat itu, Pandeka Sangek yang sudah mendekam beberapa saat dj tanah, persis seperti harimau akan menerkam mangsa, tiba-tiba meng-geram dahsyat. Saat berikutnya, kelihatan garis merah melayang ke arah Si Giring-Giring Perak. Itulah jurus 'tumpu Terkam", yang merupakan jurus pertama serangan silat Harimau itu.
Datuk Sipasan menahan nafas. Keterlambatan sedetik bisa menyebabkan nyawa melayang. Di saat garis merah yang ditimbulkan oleh warna baju Pandeka Sangek itu melayang, di saat itu pula garis putih melesat ke atas. Si Giring-Giring Perak melon cat tinggi tepat pada waktunya. Pandeka Sangek menerpa tempat kosong. Si Giring-Giring Perak tidak turun di tanah. Dia berpijak ke sebuah dahan dua depa dari tanah. Hanya ada dua detik saat berhenti bagi Pandeka Sangek, seketika dia kembali melambung dengan suara menggeram ke tempat anak muda itu. Kembali sedetik sebelum terpaan itu tiba, anak muda itu menggenjot tubuhnya, kemudian melambung kembali ke tanah.
Terdengar suara berderak tatkala cakar Pandeka itu menghantam kayu sepagutan orang dewasa di mana si Giring-Giring Perak tadi tegak
Kayu itu rengkah, kemudian dengan menim-bulkan suara hiruk, rubuh ke tanah!
"Bukan main... bukan main...!!" Datuk Sipasan menggeleng. Belum pernah dia melihat ilmu silat seperti itu. Dirinya terasa makin kecil. Padahal dia guru silat yang disegani di Pariaman.
Pandeka Sangek menggeram dan tegak persis di cabang di mana si Giring-Giring Perak itu berdiri tadi. Dia mencari anak muda itu, Dan anak muda itu tegak enam depa di samping
kirinya di dekat sebuah suluh.
Dengan lengkingan yang menegakkan bulu roma, dia kembali melambung. Tubuhnya persis seperti harimau yang meluncur turun dari pohon kayu. Memanjang dengan dua tangan mencakar kedepan serta mulut ternganga memperlihatkan gigi. Suatu pemandangan yang membuat bulu tengkuk pada berdiri. Pengungsi pengungsi dari Piaman itu, termasuk anak buah Pandeka Sangek, pada tegak diam dengan ngeri.
Namun Si Giring-Giring Perak mempergunakan akal yang tak terpikirkan sama sekali. Begitu tubuh Pandeka Sangek melejit ke dekatnya, tangan kirinya bergerak menghantam sulu di dekatnya. Dan seiring dengan itu dia sendiri kembali melambung ke udara.
Serangan dengan suluh menyala ini di luar dugaan Pandeka Sangek. Dia memukul suluh itu dengan tangannya. Namun api suluh itu pecan. dan sebahagian menerpa mukanya. Sebagian lagi menghantam pakaiannya. Yang menerpa muka sempat dia elakkan dengan meniupkan angin yang berasal dari tenaga dalamnya. Api itu terpental kembali. Mali di tanah. Namun pecahan damar yang lainnya, yang menerpa bajunya, hinggap di sana dan baju merahnyayang terbuat dari kain beludu itu dimamah api tiba-tiba.
Dia memekik. Api nyala di punggung dan di dadanya. Dia menggeram. Api itu jelas tak menya-kiti tubuhnya. Karena dia memasang ilmu kebal. Namun matanya tak bisa dia lindungi. Rambut dan alis matanya dijilat api. Inilah yang menyebabkan dirinya berang.
Dan dalam saat dia menguasai api itu, serangan Si Giring-Giring Perak datang. Serangannya berbentuk sebuah hantaman pada lutut dengan sisi kaki. Hantaman ini menyebabkan suara berderak di tempurung lutut lelaki itu. Hantaman kedua mengarah ke leher. Namun dia rupanya sudah waspada. Dia menangkap tumit si Giring-Giring Perak. Tapi anak muda itu mengikuti tangkapan itu, Dia naik dan kaki kirinya menghantam kepala Pandeka Sangek.
Tendangan itu mendarat di keningnya. Untung-lah yang kena adalah Pandeka Sangek, kalau tidak, kepalanya pasti sudah rengkah.
Pandeka Sangek terguling. Dan muntah darah! Namun dia memang kuat. Segera bangkit lagi. Dan menyerang lagi. Serangannya mulai merendah -dengan jurus-jurus mencakar dan menangkap yang tangguh. Si Giring-Giring Perak dibuat sibuk lagi mengelak. Dia tak melompat jauh. Tapi berkelit dan melambung dengan mengandalkan ilmu si ringan-ringannya yang tangguh.
Dua puluh lima jurus berlalu, dalam serangan mempergunakan silat harimau itu. Tapi Pandeka Sangek belum berhasil menundukkan si Giring-Giring Perak. Malah kepalanya yang kena tendang. Datuk Sipasan dan teman-temannya serta anak buah si Sangek hanya melihat berkelebatnya caha-ya putih dan merah. Mereka tak sempat melihat tubuh kedua orang itu saking cepatnya mereka bergerak. Pada jurus ketiga puluh, Si Giring-Giring gerak kembali kena hantam perutnya oleh tendangan Pandeka Sangek.
Anak muda itu terlambung dan jatuh dua depa jauhnya. Sebelum dia bangkit, Pandeka Sangek menyerangnya dengan terkaman buas. Namun anak muda itu bergerak cepat, kaki kanannya menanti terkaman itu. Han-taman kaki kanan yang kukuh itu menyambut Pandeka Sangek pada kepalanya. Dua kali kepalanya kena hantam, membuat kepala lanun itu jadi berpusing. Si Giring-Giring Perak segera memper-gunakan kesempatan itu. Dia meloncat tegak ke-mudian sebuah tendangan yang telak lagi meng-hantam perut Pandeka itu. Tubuhnya tercampak. Dan lagi lagi dia rnuntah darah.
Dia tegak menggerendeng. Bersuit panjang. Kemudian tubuhnya melenting. Si Giring-Giring Perak bersiap. Namun Pandeka Sangek melenting ke samping. Melewati suluh. Dan lenyap dalam kegelapan rimba Silaing itu. Dan ketika dia melihat ke arah anak buah si Pandeka yang tadi mengelilingi mereka, ternyata semua telah lenyap. Yang tinggal kini hanya suluh yang tertegak dan bergoyang ditiup angin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar