Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Jumat, 20 Agustus 2010

Giring Giring Perak : Episode 19 - Pengepungan Tengah Malam

Akan halnya si Giring Giring Perak, begitu mendengar cerita lelaki besar dalam kedai itu bahwa .Datuk Sipasan dalam bahaya, segera berjalan cepat menuju ke rumah Datuk itu di Silaing. Sudan lebih dari sepekan dia pergi me-ninggalkan rumah Datuk itu. Dia telah mengitari negeri-negeri di sekitar Silaing ini untuk mencari ayah dan ibunya. Namun usahanya tetap tak ber-hasil. Tak seorangpun yang pernah mendengarkan tentang ada keluarga yang kehilangan anak, Dalam terpaan angin dingin serta gerimis yang menusuk tulang, dia berlari cepat menuju rumah Datuk Sipasan itu. Firasatnya mengatakan bahwa Datuk itu pasti tengah dalam bahaya besar.
Saat itu, di dalam rimba Silaing, Datuk Sipasan dan teman-temannya tengah dikepung oleh anak buah Pandeka Sangek. Anak-anak dan perempuan mereka letakkan di tengan lingkaran yang mereka belakangi. Datuk Sipasan tahu bahwa nyawa mereka dalam bahaya besar. Dia berfikir cepat sementara lebih dari dua puluh lelaki kini dengan pedang di tangan maju langkah demi langkah niemperkecil kepungan mereka, Anak buah Pandeka Sangek bukannya tak tahu, bahwa ketujuh lelaki yang kini mereka kepung adalah pengungsi dari Pariaman yang secara "ajaib" lolos dari penyembelihan di Bukit Tambun Tulang.
Tak ada orang yang bisa selamat melewati bukit itu. Apalagi bila dalam rombongan ada perempuan-perempuan cantik seperti yang ikut dalam rombongan Datuk ini. Dan lolosnya rombongan Datuk Sipasan bukannya tak menjadi buah bibir di kalangan penduduk. Namun tak seorangpun yang berani bertanya bagaimana caranya mereka lolos dari maut yang bertahta di Bukit Tambun tulang itu. Sebab satu hal telah pasti, yaitu: Yang berhasil lolos dari sana pastilah pesilat-pesilat tangguh. Dan hal itu telah terbukti tatkala beberapa hari yang lalu empat orang anak buah Pandeka Sangek mati pula di rumah Datuk ini di Silaing. Akan halnya Pandeka Sangek, yang memang hadir dalam pengepungan Datuk Sipasan di hutan Silaing itu, belum menampakkan diri. Dia masih tegak di balik pohon, berlindung dalam gelap. Dia adalah kakak seperguruan Gampo Bumi yang terlibat perkelahian dengan Datuk Sipasan dan Si Giring-Giring Perak itu di Bukit Tambun Tulang. Begitu rombongan Datuk Sipasan lolos bersama anak muda itu, Gampo Bumi mengirim pesan melalui kurirnya pada kakak seperguruannya ini di Gunung Rajo.
Isi pesan sederhana saja. Bunuh semua lelaki yang datang dari Pariaman itu. Tapi ketika pesan itu disampaikan ke Gunung Rajo, Pandeka Sangek tengah tak di tempat. Dia berada di Pagaruyung. Di rumah bininya yang ke 14. Itulah sebabnya rombongan Datuk Sipasan tetap aman sampai dua pekan di Silaing. Datuk Sipasan bersiap menanti kepungan yang makin merapat itu. Dia berbisik pada Lebak Tuah di sampingnya. Lebak ini berbisik pula pada temannya. Dan bisik itu diteruskan beranting dalam keadaan waspada penuh. Dan ketika bisik itu sudah mencapai ke-7 lelaki teman Datuk itu terdengar pekik menyerang dari Pandeka Sangek. Kibasan pedang berkilat ditimpa cahaya obor. Ke tujuh lelaki dari Pariaman itu tak bergerak sedikitpun. Musuh mereka sudah menyerang beberapa jurus. Namun suatu saat, dalam suatu gerakan yang sempurna, ketujuh lelaki itu tiba-tiba maju beberapa langkah. Dan dalam waktu enam hitungan, secara mengagumkan sekali ketujuh mereka telah menangkap masing-masing seorang anak buah Pandeka Sangek.
Ke tujuh lelaki yang mereka tangkap itu kini mereka jadikan tameng. Mereka kunci lehernya dari belakang, dan mereka buat pagar din.
"Pandeka Sangek, anak buahmu ini kami jadikan sandera. Kalau kau tak memberi kami jalan, mereka akan kami bunuh."
Datuk Sipasan mengancam. Semua anak buah Pandeka Sangek jadi terdiam.

Mereka tak menyangka siasat Datuk ini seperti itu. Itulah tadi rupanya yang dibisikkan mereka, Gerakan mereka menangkap itu benar-benar luar biasa.
Dan kini mereKa memang tak bisa maju menyerang. Sebab salah-salah bisa mengenai dan melukai teman mereka sendiri yang kini tengah disekap oleh ketujuh lelaki dari Pariaman itu.

Namun sebagai jawaban, terdengar tawa berguman. Dan suatu suara yang mencemeeh:
"He...he... kau takkan lolos Datuk. Perempuan-perempuan harus menjadi bini kami. Dan kalian akan menjadi cacing atau dilahap binatang buas di,rimba ini. Kalian takkan lolos...."
"Tapi kalian juga takkan berhasil melawan kami. Kami akan bunuh teman-teman kalian ini...."
"He,..he... nyawa mereka sama tak berharganya seperti nyawa kalian,..".
Dan sehabis berkata begini terdengar desiran perlahan. Datuk Sipasan terkejut.

Suara itu pasti-ih suara senjata rahasia. Dan sebelum dia sempat 4nemberi ingat dan temantemannya, terdengar jeritan-jeritan. Dan Datuk itu tiba-tiba merasa lelaki yang dia katuk sebagai tameng itu terlon-jak. Dan kemudian terkulai. Layu. Mati Datuk Sipasan keget, Dia inenatap ke kiri, ke kanan dan memutar kepala ke belakang. Dan ke-enam lelaki lainnya, yang dikatuk pula oleh teman-temannya, semua pada terkulai mati!
Dada mereka semua ditembus oleh senjata rahasia. Datuk Sipasan tertegun. Kali ini wajahnya benar-benar pucat. Dia sudah hanyak mendengar kekejaman orang. Sudah sering mendengar tingkah penyamun yang kejam-kejam, Tapi melihat pimpinan yang membunuh anak buahnya sendiri, baru kali ini dia temui.

Hampir serentak mereka melepaskan tubuh ketujuh lelaki yang telah jadi mayat itu. Dan kini, ketujuh lelaki dari Paiaman itu kembali tegak dengan keris di tangan. Dengan membuat lingkaran. Dengan anak-anak dan perempuan berada dalam iingkaran di belakang mereka.

"Kejam... benar-benar kejam..." Datuk Sipasan bergumam. Sementara matanya coba menembus kegelapan malam dirimba itu untuk mencari di mana beradanya orang yang bernama Pandeka Sangek itu.
"Tak ada yang kejam Datuk. Kami memang tak memerlukan orang-orang bodoh. Dan demi mendapatkan perempuan-perempuan kalian, mereka harus mati. Tangkap mereka!!"

Tidak ada komentar: