Udara malam yang dingin amat me-nusuk tulang, terasa makin meli-nukan tubuh ketika gelegar guruh menurunkan renyai hujan seperti embun. Anak muda itu melangkah ke dalam kedai kopi yang masih terbuka. Dari dalamnya dia dengar suara percakapan orang dan suara sendok beradu dengan gelas. Di luar di lihat beberapa pedati di istirahatkan. Semua orang yang ada di dalam kedai kecil itu pada menoleh kepintu tatkala dia masuk. Bukan pakaiannya yang serba putih dan ikat kepalanya yang juga putih yang menyebabkan orang-orang menoleh ke pintu. Bukan pula karena dia datang di tengah malam buta. Tidak, saat itu orang bisa saja berpakaian serba aneh dan menyisipkan golok atau keris di pinggang. Dan orang bisa saja masuk ke kedai kopi di tengah malam atau subuh buta. Yang menyebabkan enam orang lelaki yang ada dalam kedai kecil itu menoleh ke pintu justru bunyi yang ditimbullcan oleh kedatangannya. Ada suara aneh. Seperti suara giring-giring berdering pada tiap langkah orang yang baru datang itu. Dan anak muda yang baru masuk ke kedai itu bukannya tak tahu, bahwa suara giring-giring di kakinya menyebabkan orang pada menoleh. Dia tegak di pintu. Menatap orang-orang yang masih memandangnya.
"Maafkah saya. Adakah di antara bapak-bapak pernah mendengar seseorang di daerah ini, atau di manapun, yang kehilangan seorang anak lelaki, yang memakai giring-giring perak di kaki kanannya?"
Dia menanti. Orang yang ada dalam kedai itu tak menyahut seorangpun. Kebanyakan di antara mereka justru heran akan pertanyaan itu. Lebih banyak yang tak mengerti daripada tak tahu.
Karena tak ada yang menyahut, anak muda itu bicara lagi, suaranya perlahan: "Belasan tahun yang lalu, saya dipungut oleh seseorang dari reruntuhan sebuah rumah. Dia tak tahu apakah orang tua saya masih hidup atau tidak. Dia tak ingat lagi di mana saya dia temukan. Kini saya tengah mencari kampung halaman dan orang tua saya. Pernahkah mendengar ada orang yang kehilangan anak dengan giring-giring di kakinya?"
Kali ini beberapa orang menggeleng perlahan.
"Tak seorangpun yang tahu. Tak seorangpun.," Anak muda itu bicara seperti pada dirinya sendiri. Ucapannya mirip keluhan. Dan dia berjalan ke sudut ruangan. Duduk di sebuah kursi yang masih kosong. Lelaki yang ada dalam kedai kecil itu pada berbisik sesamanya.
"Engkau akan minum atau makan apa anak muda?'.' Orang lepau bertanya. "Kopi,..."
"Di sini ada ketan dan durian. juga ada nasi dengan ikan panggang. Kalau engkau lapar engkau bisa minta nasi..." "Baik, ketan dengan durian...."
Orang lepau itu mengambilkan pesanan anak muda itu. Sementara lelaki yang lain melanjutkan obrolan mereka. Ada yang meneruskan makan atau minum.
'Tapi mereka yang ada dalam ruangan kedai kecil itu terhenti lagi makan dan minum ketika pintu kedai dibuka dengan keras.'Barangkali pintu itu ditendang dari luar. Semua pada menolch ke pintu.
Dari luar masuk bergantian tiga lelaki dengan janggut berseliweran dan dengan pedang di ping-gang. Ketiganya membawa pedang. Mereka tegak sejajar di depan pintu. Menatap setiap yang ada di dalam lepau itu dengan tajam. Pandangan mereka pertama jatuh pada anak muda yang ber-baju putih itu. Tapi anak muda bertubuh semampai dan tak berdegap itu tak menarik perhatiah mereka. Mereka lalu memandang keenam lelaki yang lain.
"Ada di antara kalian anggota rombongan yang baru datang dari Pariaman sepekan yang lalu?" Lelaki yang tegak di tengah bertanya dengan suara berat. Tak ada yang menyahut.
Bagi keenam lelaki itu nampaknya raalam ini banyak hal aneh yang terjadi. Dalam waktu tak sampai lima menit yang lalu anak muda berbaju putih itu masuk. Bertanya kalau-kalau ada yang mengetahui orang tua yang kehilangan anak dengan giring-giring perak. Kemudian kini ketiga lelaki itu pula yang masuk dan bertanya pula "Kami bertanya, apakah ada di antara kalian anggota rombongan yang baru datang dari Pariaman?" si tinggi besar yang di tengah itu bertanya 'Tidak, kami yang berenam ini dari Lima Kaum. Akan terus ke Kota Baru. Diperjalanan dua hari yang lalu kami memang berternu dengan serombongan orang yang mengaku dari Pariaman. Mereka katanya akan ke Pagaruyung". Yang bertanya tadi menggerutu tak menentu. Kemudian mereka melangkah masuk terus mencari tempat duduk. Satu-satunya tempat yang masih kosong adalah tempat di mana anak muda berbaju putih dan bergiring-giring perak itu duduk. Kesanalah ketiga orang yang menyandang pedang di pinggangnya itu menuju.
"Geser ke sana buyung...." yang tinggi besar itu mendorong bahu anak muda tersebut dengan tangan kirinya. Dan anak rnuda itu memang meng-geser duduk hingga keujung bangku.
Ketiga lelaki itu duduk. Pakaian mereka yang basah karena hujan rinai di luar mereka kirai.
Tak perduli apakah mengenai orang lain atau tidak.
"Jahannam. Hujan jahannam. Orang Pariaman Jahannam....!" yang pendek buncit menggerutu sambil duduk.
"Kabarnya mereka berjumlah dua puluh orang...." yang tinggi bicara sambil mencabut pedang dan meletakkan di atas meja.
"Hei, kopi tiga. Bikin yang pahit. Ada ketan atau ikan panggang?"
"Ada ketan, ada ikan panggang"
"Bawa semua kemari...."
Kemudian ketiga lelaki itu menatap keenam lelaki yang duduk dalam kedai itu.
"Apakah orang Pariaman yang kalian temui di Lima Kaum itu adalah pesilat-pesilat?" Si tinggi besar bertanya dari tempat duduknya.
Yang tadi mengatakan bertemu dengan orang Pariaman itu menggeleng.
"Tak tahu kami. Kami tak sempat melihat mereka bersilat. Dan tak pula mengajak mereka berkelahi..." jawab lelaki yang mengaku datang dari Lima Kaum itu, teman temannya yang lain tertawa karena merasa lucu akan jawaban temannya itu. Namun tawa mereka j ustru m endatangkan penyakit pada mereka sendiri. Mereka tak tahu dengan siapa mereka berhadap-an. Ketika mereka masih tertawa berguman lelaki tinggi besar yang bertanya itu bangkit. Berjalan mendekati keenam lelaki itu. Dan tiba-tiba plak.. puk...pak..,!
Dia menampar lelaki dari Lima Kaum itu. Lelaki itu terjengkang. Namun dia bangkit segera, dan tangannya terkatuyang-katuyang seperti orang silat. Lelaki tinggi itu jadi mengkal. Kakinya me-layang dan orang dari Lima Kaum itu ternyata tak bisa menangkis tendangan tersebut meskipun dia telah berlagak seperti orang pandai silat. Tendangan itu mendarat. Menimbulkan suara berdehek. Dan malangnya, tanpa dapat dia tahan, kentutnya ikut terbosai dua tiga kali karena tendangan itu. Kelima temannya yang lain yang tadi juga sudah siapbersilat, tiba-tiba jadi patah semangat melihat makan tangan dan kaki sitinggi besar itu. Mereka tetap duduk diam. Tanpa menengok pada sitinggi besar. Bahkan pada temannya yang terkepepe ke bawah meja itupun mereka tak berani melihat. Takut kalau dianggap sebagai suatu tantangan pula oleh sitinggi besar ini.
"Lihat-lihat orang yang akan dipegarahkan sanak." Sitinggi besar itu menyumpah. "Ya...ya...ya!" kata salah seorang yang duduk. "Apanya yang iya?" "Ya. apa ya?! Eha.,.maap... maap, "Apa yang maap!!" "Ami pak..eh anu, kami mintak maap....!" "Maap apa!" "Maap lahir bathin....!"
Dan sampai di sini, sitinggi besar tak dapat menahan tawanya melihat lelaki dari Lima Kaum yang gagap itu. Dia tertawa. Begitu juga kedua. temannya yang duduk semeja dengan si Giring-Giring Perak. Kelima lelaki di meja si gagap itu juga ikut tertawa. Mula-mula perlahan, karena takut. Tapi melihat sitinggi besar itu tertawa terbahak-bahak, mereka ikut tertawa terbahak bahak.
"Apa yang kalian ketawakan, beruk!"
Lelaki tinggi itu berhenti dan bertanya dengan bentakan. Tawa kelima lelaki dari Lima Kaum itu terhenti pula tiba-tiba. Mereka jadi pucat. Dan, malang yang akan tumbuh, mungkin karena terlalu takut, si gagap tadi terpancar kentutnya. Mula-mula sekali. Perlahan tapi agak panjang. Namun karena ketakutan yang sangat, kentut besarnya tak mampu dia tahan.
"Pouuuut. prep!"
Tak tanggung berangnya sitinggi besar itu. Dia jambak rambut si gagap. Namun kentut si gagap keluar lagi. Teman teman sitinggi yang duduk di sudut tak mampu menahan tawa dan geli. Mereka sampai-sampai menekan perut karena sakit saking gelinya. Si gagap terpekik-pekik minta ampun. Tapi sitinggi makin berang.
"Ampounnn pak... ampounn. Bapak ken-tut...eh...maaf..."
"Beruk. Waang beruk. Waang katakan saya kentut he!?"
"Ya pak... eh bukan pak,.. bukan! Bapak bukan kentut, tapi kentutlah bapak!" Malang lelaki gagap ini. Makin ditanya, makin tak menentu jawabnya. Dan akhirnya teman-temannya yang lain tak pula dapat menahan gelak. Meraka ada yang menangkup di meja karena takut kelihatan gelak. Ada yang merukuk dalam-dalam.
Dan akhirnya, lelaki besar itu mencampakkan tubuh sigagap ke meja. Dan keadaan lepau itu jadi kacau. Si Gagap bercarut-carut tak menentu. Suasana heboh tak terhindarkan. Heboh kerena gelak. Sitinggi besar akhirnya ikut gelak ketika dia duduk di dekat teman-temannya.
Dia terhenti, ketika melihat anak muda di sisinya. Anak muda itu menunduk. Menghirup kopi perlahan, mema-kan ketan dan duriannya perlahan. Anak muda itu agak kurus. Si lelaki besar menepuk punggungnya.
"Hei buyung, waang tak ikut gelak he?" tanyanya. Anak muda itu lambat-lambat menoleh pada-nya. Kemudian tersenyum tipis. Lalu kembali menunduk dan memakan ketannya perlahan. lelaki tinggi itu merasa dianggap enteng. Padahal sebentar ini dia telah membikin gacar enam lelaki yang tak boleh disebut kecil. dalam lepau itu. Karenanya dia menepuk lagi bahu anak muda itu, dan berkata;
"Hei buyung! Saya bertanya, apakah waang tak ikut tertawa??" Tepukan di punggungnya itu menimbulkan bunyi. Karena memang sengaja dikuatkan sitinggi besar. Kembali anak muda itu memutar kepala. Kali ini tak tersenyum. Dia menatap lelaki itu dengan tatapan matanya yang lembut. Lalu berkata perlahan:
"Apakah pernah mendengar suara giring-giring perak??"
Pertanyaan ini membuat ketiga lelaki itu tertegun. Suatu pertanyaan yang mereka anggap tak berkelincitan. Yang tak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan sitinggi barusan.
"Saya bertanya pada waang buyung, apakah waang tak ikut gelak mendengar kentut si gagap itu meletup-letup seperti bunyi keraben Ulando?"
Anak muda itu seperti tak mengacuhkan pertanyaan lelaki tersebut. Justru dia kembali melontarkan tanya :
"Apakah kalian pernah mendengar ada orang yang kehilangan anak lelaki, yang memakai giring-giring perak di kaki kanannya?"
Ketiga lelaki itu kembali saling pandang. Gila-kah anak muda ini? Atau dia adalah seorang pekak? Hingga lain yang ditanya lain yang dijawab?"
Namun, lelaki ini merasa tersinggung. Karena anak muda itu jelas tadi menyebut mereka dengan kalimat "Kalian", Tidak menyebut; "bapak". Dia ingin menampar anak muda ini. Tapi anak muda itu terlalu lemah lembut kelihatan. Dia yakin sekali tampar, anak muda itu tidak hanya kentut-nya yang akan terpancar seperti lelaki dari Lima Kaum, tapi ciritnya juga akan ikut terbudur. Mengingat ini, lelaki besar itu tertawa sendiri. "Pernah mendengar ada yang kehilangan anak?" anak muda itu bertanya kembali. "Tidak buyung. Belum ada yang kehilangan anak di sini. Tapi yang akan kehilangan ayah, sebentar lagi mungkin akan banyak. Di Silaing ada beberapa lelaki yang baru datang dari Pariaman. Beberapa liari yang lalu mereka telaji membunuh empat orang teman kami. Tapi sebentar lagi, me-raka juga akan mengalami nasib yang sama. Dan isteri mereka, kabarnya perempuan-perempuan itu cantik-cantik, ada pula seorang gadis jolong mekar, akan kami bawa ke Gunung Rajo. Menjadi teman tidur ...,he....he...,he.,.." Si Giring-Giring perak tertegun mendengar cerita lelaki besar di sisinya ini. Kalau begitu, Datuk Sipasan dalam keadaan bahaya besar. Tapi dia ingin mendengar sedikit lagi tentang keadaan datuk itu.
"Tapi saya dengar, Datuk itu tinggi ilmu silat-nya. Begitu pula teman-temannya dari Pariaman. Tak mungkin mereka bisa dikalahkan..."
Sitinggi besar melotot pada anak muda ini. Tapi kemudian dia menggerendeng.
"Tak ada yang bisa melawan Pandeka Sangek buyung. Sudan lama dia tak pernah turun gunung. Kali ini dia benar yang memimpin. Waang tau siapa dia? Tak sia-sia dia berguru pada Harimau Tambun Tulang. Kami adalah pengikutnya. Dan Pandeka Sangek tak sendirian, dia datang bersama tiga puluh temannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar