Anak muda bergiring-giring perak itu bersandar ke batang kayu.Tiga bulan mengitari gunungTandikat. Datang dari kampung kekampung. Bertanya dari rumah ke rumah. Tapi tak seorangpun yang pernah kehilangan anak.
Tak seorangpun yang mengetahui, bahwa ada suatu keluarga yang kehilangan anak dua puluh tahun yang lain. Kalaupun ada, siapa yang masih ingat?
Dan mereka semua mengenal dan memanggil-nya dengan sebutan SI GIRING-GIRING PERAK.
Dia tak bernama, bukankah tanda pengenalnya lianya giring-giring perak itu?
Saya pasti punya nama. Saya pasti punya ayah dan ibu. Suatu saat kelak, kalau mereka masih liidup saya pasti bertemu dengan mereka. Pasti Tapi apakah mereka masih hidup? Dan acapkali, jika diu sampai pada fikiran seperti ini dia menun-duk. Menyeinbunyikan kepalanya diantara kedua lututnya.
Tangannya bergerak ke bawah perlahan. Meme-gang pergeiangan kaki kanannya. Menyentuh giring-giring perak itu. Talinya sudah dia perpan-jang. Karena sudah tak muat lagi. Jari-jarinya mempermainkan buah giring-giring itu.
Tapi tiba-tiba kepalanya tertegak. Dia seperti mendengar jerit tertahan. Salah dengarkah dia?
Suara burung malamkah itu? Atau suara anak harimau?
Tidak, itu pasti suara perempuan. Dia melang-kah sepat arah ke api unggun. Di sana Datuk Sipasan sudah tegak. Ketika dia melihat Anak muda itu datang, dia segera bicara:
"Saya mendengar suara pekik tertahan..."
"Entahlah. Hei bangun semua!!" Suara Datuk ini membangunkan semua lelaki.
"Ada suara pekik tertahan. Coba periksa semua pedati. Kumpulkan perempuan-perempuan."
Semua lelaki memasang suluh yang telah ter-sedia sejak dari Pariaman. Dan dengan suara keras memanggil perempuan-perempuan untuk berkumpul.
"Siti Nilam..." Datuk itu berkata cepat begitu perempuan-perempuan yang berjumlah enam belas orang itu berkumpul.
, "Ya dia yang tak ada. Saya lihat pedatinya kosong!"
"Harimau atau penculikan?" Datuk itu berkata perlahan.
"Saya rasa diculik" kata si Giring-giring Perak. Suaranya datar tanpa emosi.
"Bersebar tiga-tiga. Cari dia sampai da pat!" Datuk itu memerintahkan semua lelaki. Namun si Giring-Giring Perak mencegahnya.
"Tak ada gunanya Datuk. Malam terlalu gelap. Hutan ini terlalu lebat. Datuk pasti tak mengenal rimba ini. Sementara penyamun itu sudah kenal setiap jengkal hutan ini dengan baik" "Tapi kami bertanggung jawab padanya. Dia sebatang kara. Ayahnya meninggal siang tadi. Sementara ibunya sudah beberapa tahun yang lalu mati karena sakit perut..."
Si Giring-Giring Perak menatap Datuk Sipasan. Kemudian dia berkata perlahan:
"Saya akan mencarinya...."
"Kami akan ikut dengan anda..."
"Terimakasih. Tapi saya juga mengenal hutan ini dengan baik. Saya rasa sendiri akan lebih mudah Tunggulah di sini, Insya Allah, sebelum fajar datang, saya akan membawa gadis itu,
siapa nama-nya tadi? Nilam?"
"Ya, Nilam. Siti Nilam..."
Dan sebelum mereka sadar apa yang terjadi, anak muda itu tiba-tiba lenyap dari hadapan mereka.
"Ya Tuhan, sebentar ini dia di sini. Di hadapan kita. Kenapa tiba-tiba lenyap?" Seorang lelaki tua bicara dengan mulut ternganga.
Datuk Sipasan menggeleng.
"Alangkah sempitnya dunia kita. Seumur hidup, saya tak pernah melihat orang mampu bergerak demikian cepat..."
"Apakah.. apakah dia memang manusia?" seorang perempuan bicara perlahan. Semua mata memandang padanya. Kemudian mereka saling tukar pandangan.
"Ya, apakah dia bukan jin? Kenapa dia mema-kai kain serba putih? Bukankah yang memakai pakaian serba putih itu hanyalah mayat? Apakah dia bukannya sebuah tamsil pada kita yang hidup, bahwa dia melintas membawa pesan kematian?" Datuk Sipasan tersenyum mendengar ucapan anak muda ini.
"Sebaiknya engkau menjadi seorang seniman buyung. Ucapanmu terlalu puitis. Tapi ada benar- nya. Dia memang membawa pesan kematian. Pesan kematian bagi Penyamun-penyamun itu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar