Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Jumat, 20 Agustus 2010

Giring Giring Perak : Episode 24 - Kampung Darurat Hutan Silaing

Hutan itu sepi!
Namun tak seorangpun yang berani meninggalkan tempat mereka tegak. Semua makin waspa-da. Sudah beberapa kali nyawa mereka hampir melayang karena hujaman tombak dari tempat gelap. Si Giring-Giring Perak mendengarkan dengan teliti setiap bunyi dan gerak dalam rimba itu dengan telinganya yang amat tajam.

Namun tak ada yang bersuara mencurigakan. Aneh, ke mana orang-orang itu? Tiba-tiba terdengar suara:

"Ilmu sanak memang tangguh. Tapi pertarung-an kita belum selesai. Ingatlah, suatu hari kelak, sanak akan mati di tangan salah satu dari 3 orang seperguruan Tambun Tulang....."

Suara itu jelas suara Pandeka Sangek. Dan dari suaranya saja dapat diketahui bahwa dia telah berada jauh dari hutan itu. Suaranya dia kirimkan dengan mempergunakan tenaga bathin.

Datuk sipasan menarik napas lega. Siti Nilam menghambur ke arah Si Giring-Giring Perak.
Dia menghapus bekas darah di mulut anak muda itu dengan ujung selendangnya. Sebagai pesilat dia tahu, tangan kanan anak muda itu lumpuh dan harus dirawat.

"Tangan uda cedera...." katanya perlahan. Anak muda itu mengangguk tapi mulutnya ter-senyum.
Rombongan Datuk Sipasan mengelilingi anak muda itu.
"Terima kasih. Sekali lagi anda menolong nyawa kami. Sementara belum satupun yang bisa kami perbuat untuk menolong anda...." Datuk Sipasan berkata perlahan.
"Tak usah dipikirkan hal itu Datuk. Hari mungkin sudah hampir pagi. Ada baiknya kita kubur jenazah teman-teman yang meninggal..."
"Ya. Ya... saya rasa itulah yang harus kita la-kukan..."

Tiga orang di antara mereka kembali ke rumah Datuk itu di Silaing. Mengambil cangkul dan linggis. Lalu mereka menggali kuburan. Pekerjaan itu dihentikan tatkala subuh datang. Mereka sembah-yang subuh bersama.
Dan setelah pagi, barulah pekerjaan menguburkan keempat korban itu selesai.

Sementara korban di pihak Pandeka Sangek mereka kuburkan dalam sebuah lobang panjang. Yang penting jenazah mereka harus dikubur. Mereka bermusuhan ketika masih hidup. Tapi setelah tubuhnya jadi mayat. maka kewajiban yang hidup menyelenggarakannya. Demikian ajaran yang dibawa oleh Islam yang baru masuk ke Minangkabau saat itu. Jumlah pemeluknya masih terbatas sekali.
"Nah, bagaimana kini Datuk? Apakah akan meneruskan perjalanan memintas hutan ini meninggalkan Silaing atau kembali ke silaing."

Tan Teno yang luka oleh lemparan senjata rahasia Pandeka Sangek tadi bertanya setelah mereka terduduk kelelahan bekerja sekerat malam itu.
Hujan telah berhenti. Perempuan-perempuan mengumpulkan ranting yang kering. Kemudian membuat api. Tak begitu sulit membuat api. Karena ada sepuluh suluh dari damar yang masih menyala di tinggalkan anak buah Pandeka Sangek.

Bungkusaii-bungkusan yang sedianya akan di bawa mengungsi segera dibuka.
Sedikit perbekalan yang ada di dalamnya, sebagai bekal untuk melarikan diri selama memintas hutan menjelang sampai ke Balingka mereka keluarkan.
Ada goreng pisang yang telah dingin. Dan itu dibagikan. Ada nasi bungkus yang dimasak sore. Itu juga dibagikan. Nasi bungkus dengan sambal lado pakai belacan dan dendeng panggang. Sementara mereka menyuap nasi, kopi yang dijerang oleh Siti Nilam dan isteri Datuk Sipasan masak pula

Hutan Silaing di mana mereka berada itu menjadi semacam perkampungan darurat. Anak-anak pada main panjat-panjatan di batang kayu yang malam tadi rubuh oleh pukulan Pandeka Sangek.
Datuk Sipasan tak segera menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya oleh Tan Teno itu. Dia mengedarkan pandangan matanya pada rombongannya.
Isteri Lebak Tuah yang kematian suami malam tadi, kelihatan memeluk anaknya yang berumur dua tahun. Anak-anak Rukayah yang kematian ibu kelihatan berada dalam pelukan ayahnya yang masih belum sembuh benar dari luka-luka ketika bertempur di Bukit Tambun Tulang.

Pemandangan di hutan itu amat memilukan hati. Si Giring-Giririg Perak sudah sejak tadi memperhatikan anak-anak yatim itu. Dia merasa hati-nya amat hiba. Bagi yang kematian ibu, alangkah sepinya hidup mereka. Hidup tanpa ibu seperti anak-anak lain. Yang sepanjang hari menyanyikan dengan lagi kasih. Yang sepanjang hari menyuap-kan nasi dan membuaikan dengan dendang sayang.

Bagi yang kematian ayah, siapa lagi yang akan mencarikan mereka nafkah? Apalagi hidup dalam zaman Minangkabau yang keras dan hampir-hampir tak beradab seperti saat ini? Dia merasa hiba meli-hat nasib anak-anak itu. Dan karenanya dia menye-sali dirinya, kenapa dia harus terlambat datang malam tadi.
Kenapa dia harus berhenti dulu di kedai di Kebun Sikolos untuk makan ketan dan durian. Bukankah kalau dia terus saja ke Silaing barangkali dia akan dapat menolong mereka dari kematian.

Namun kematian di tangan Tuhan. Begitu di-ajarkan dalam Islam. Barangkali memang sudah suratan mereka untuk mati hari ini. Pikiran anak muda itu berperang dan saling jawab. Tapi, meski-pun kematian memang telah ditakdirkan, yang jelas, nasib anak-anak tanpa ayah dan ibu itu amat mengharukan. Dan tiba-tiba dia teringat nasib dirinya. Mereka masih akan mengenal salah seorang dari orang tuanya. Dan kalaupun kedua orang tuanya hari ini meninggal, masih akan ada orang yang akan menceritakan siapa orang tuanya. Di mana kuburnya, apa sebab kematiannya. Dan di mana tumpak kampung halaman mereka. Mereka lebih mujur dari diriku. bisik hatinya.
Di mana orang tuaku kini? masih hidup atau sudah mati?. Kalau mereka mati, di mana kubur-annya. Apa penyebabnya. Di mana kampung halarhanku. Tanpa sengaja dia menjangkau giring-giring di kakinya. Memegangnya. Dan menjentikannya dengan jari perlahan. Terdengar suara berdering perlahan. Siti Nilam sejak tadi memperhatikan tingkah anak muda ini" Dan dia seperti dapat membaca apa yang tengah dipikirkannya.

Gadis itu teringat pula pada nasibnya yang tak berayah dan tak beribu. Tapi aku lebih mujur dari dia, bisiknya pula. Aku masih mengenyam kasih sayang seorang ibu dan ayah. Masih mengenal mereka. Sedang dia sampai hari ini tak menge-tahui asal usulnya.

Berfikir begini, gadis itu membawa canting kopi ke dekat anak muda itu duduk. Kedatangan-nya seperti tak terlihat oleh Si Giring-Giring Perak.

Datuk Sipasan memperhatikan kedua anak muda itu dengan sudut matanya. Si Giring-Giring Perak duduk agak jauh dari rombongan itu.

"Tambah kopi uda,...?"
Anak muda itu terkejut.
Dia menoleh.dan melihat Nilam tegak di sisinya dengan canting kopi di tangan.
"Hm.... kopi? Ya..ya. Engkau yang memasak kopi ini Nilam....? Siti Nilam mengangguk.
Kemudian menuangkan kopi ke cangkir yang berada di tangan anak muda itu.
"Kau yang menumbuk kopi ini juga?"
Kembali Siti Nilam mengangguk.
"Tapi bukan aku sendiri. Kami menumbuknya bersama dua hari yang lalu di rumah Datuk Sipasan..."
"Hamm, kalian pandai membuat kopi...."
"Terimakasih uda..."
"Hei, apakah kalian akan kembali ke Silaing?"
"Itu yang belum diputuskan oleh Datuk..."
Mereka terdiam. Anak muda itu menghirup kopinya. Memandangi damar yang masih hidup dan pucat oleh sinar matahari, Alangkah berbedanya dengan malam tadi. Malam tadi damar itu menjadi pusat cahaya. Menerangi rimba ini.
Tapi kini mereka jadi tak berarti.

Datuk Sipasan batuk-batuk kecil, kemudian : berjalan menghampiri anak muda itu. "Ada yang ingin saya tanyakan..,." katanya perlahan. Siti Nilam arif, bahwa dia harus kembali ke tempatnya. Dia menghormati Datuk itu seperti ayah-nya sendiri. Dia melangkah ke tempat perempuan-perempuan duduk bersama anak-anak mereka.
"Teman-teman bertanya, apakah akan rneneruskan perjalanan di rimba ini menuju Balingka, atau kembali ke Silaing. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini Giring-Giring Perak?
Anak muda itu tak segera menjawab. Dia me-temparkan pandangan pada perempuan-perempuan dan anak-anak yang sedang makan. Kemudian pada lelaki yang tengah mengisap rokok nipah. Datuk Sipasan menoleh pula pada yang dipandang anak muda itu.

"Bagaimana pendapat Datuk sendiri?" .
"Terlalu sulit meneruskan perjalanan. Anak-anak dan lelaki yang luka. Akan kembali ke Silaing, bukannya hal yang mustahil kalau Pandeka Sangek menuntut balas setiap waktu...,"
"Apakah ada jalan lain?"

"Kemungkinan lain adalah tetap pindah dari Silaing. Mungkin ke Agam, Kamang atau Paga-juyung. Bergabung dengan teman-teman yang telah duluan ke sana. Tapi kita tidak mengikuti jalan hutan ini. Kita kembali ke Silaing dan menempuh n pedati biasa.

"Kalau memang akan pindah, ke mana tujuan Datuk?"
"Barangkali lebih baik ke Balingka...."
"Kenapa ke sana...."
"Dari situ dekat menghubungi teman-teman. Dekat menghubungi pemuka Islam di Kamang seperti Tuanku nan Renceh, Haji Piobang dan teman-temannya yang lain. Kemudian jika kekuat-an sudah terkumpul, jalan memintas dari sana cukup dekat untuk menggempur Belanda di Pariaman.
Dari Balingka naik menyelusuri pinggang Sing-galang akan sampai ke Malalak, turun terus ke sebelahnya, akan sampai ke sungai Limau, dan Pariaman...."
"Apakah niat untuk kembali menyerang Belanda itu tetap hams dilaksanakan?"
Datuk Sipasan memandang Si Giring-Giring Perak atas pertanyaan itu.
"Maaf. Maksud saya, apakah tidak boleh lebih baik menghindar dari Pariaman yang selalu keruh itu. Hidup dengan tenang bersama keluarga di daerah darat ini yang lebih tenang?"

Datuk Sipasan menghirup nafas. Panjang. Menatap pada perempuan dan anak-anak yang duduk di tengah rimba Silaing itu. Kemudian ber-kata perlahan: "Maafkan kalau penjelasan saya berikut ini melukai hatimu. Tapi ini hanya sebagai perbanding-an. Suatu saat kelak, bila engkau bertemu dengan ayah dan ibumu, atau kalau mereka telah mening-gal. Kemudian kau ketahui di mana kuburan mereka, pastilah engkau akan selalu ingin berziarah taip tahun ke kuburannya itu. Dan bila kelak kau ketahui di mana kampung halaman mu, sejauh-jauh engkau merantau, pastilah engkau teragak -untuk pulang. Meski tidak lagi ada sanak familimu di kampung itu. Meski tidak lagi ada yang mengenalmu di sana.
Namun kerinduan pada kampung halaman, adalah kerinduan setiap manusia akan negeri asal-nya. Kini, negeri kami itu diserang bangsa lain. Diserang oleh Belanda, mereka ingin menguasai negeri, merubah agama kami, mencemarkan gadis dan perempuan kami, kenapa kami tidak berniat untuk membelanya?

Di negeri itu sudah cukup banyak darah ter-tumpah. Semula kami tidak beragama. Ada agama Hindu tapi sudah ditinggalkan orang. Sebagian besar penduduk di sana lebih senang berjudi, minum tuak, main perempuan dan saling membunuh karena harta pusaka. Keadaan begitu berlangsung terus sampai sepuluh tahun yang lalu. Saat itu datang ke negeri kami pedagang-pedagang dari Aceh. Dan dari mereka, kami menge-nal Islam. Dan dari Islam kami mengetahui mana yang buruk mana yang baik.
Tak ada yang memaksa kami masuk agama itu. Siapa yang suka boleh masuk. Yang tidak boleh melanjutkan kepercayaan masing-masing. Namun enam tahun yang lalu, keadaan mulai berubah. Banyak kaum bangsawan atau orang biasa yang tak senang pada Islam. Karena terlalu banyak membatasi dan terlalu banyak mencampuri urusan dunia. Terjadi pertentangan.
Perkelahian terjadi antara orang Islam dari Aceh dengan penduduk Pariaman yang tidak Islam. Dan kaum bangsawan Pariaman meminta bantuan ke pulau Cingkuk pada bangsa Belanda yang ada di sana.

Jika perkelahian itu hanya antara sesama bangsa melayu, kami takkan sampai menyingkir. Tapi karena sudah diikut sertakan bangsa asing, kami tak bisa berpangku tangan. Kami harus ber-pihak. Dan kami berpihak pada Islam, agama kami. Tapi kekuatan kami tak berimbang dengan Belanda dan orang kampung yang berpihak padanya. Kami sepakat dengan orang
Aceh untuk sama-sama menyingkir dari Pariaman. Mereka kembali ke Aceh, meminta bantuan pada Sultan Iskandar Syah dan kami mencari bantuan ke Luhak yang Tiga di darat ini. Kami tidak berniat menguasai negeri itu. Kami hanya ingin menyelamatkan kampung halaman kami. Di sana banyak anak kemenakan kami yang harus kami selamatkan. Nan, itulah semuanya, Kerinduan kami pada kampung halaman, bukan hanya sekedar rindu untuk pulang. Tetapi berbaur dengan kerinduan untuk menegakkan keadilan dan menyiarkan agama Allah di negeri yang telah ratusan tahun diperbudak jahilliah itu. Sekali lagi saya harap engkau tidak merasa tersinggung karena saya menyebut-nyebut tentang asal usul, Tentang kerinduan pada kampung.
Saya tidak bermaksud melukai hatimu, Hanya ingin memberikan penjelasan kenapa kami harus pergi dari sana. Kenapa kami harus mencari bantuan. Dan kenapa kami harus kembali lagi ke kampung itu.

Memang benar seperti yang engkau katakan, sebenarnya lebih baik kami hidup dengan tenang bersama keluarga di Luhak nan Tiga ini. Jauh dari kerusuhan. Jauh dari huru hara.
Tapi bukankah hidup berkampung menjaga kampung, bernagari menjaga nagari? Lagi pula kedamaian itu di mana-mana bisa ada. Sebaliknya kerusuhan juga di mana-mana bisa ada.
Luhak Nan Tiga ini misalnya, nampaknya juga tak aman. Cobalah lihat, di Bukit Tambun Tulang saja kita dihadang oleh penyamun. Di sini juga dihadang oleh Pandeka Sangek. Dan siapa pula yang menga-takan bahwa Belanda yang sudah ratusan tahun di sini tidak mendatangkan kerusuhan bagi penduduk pribumi?
Kerusuhan bisa datang di mana-mana. Daripada hidup dalam kerusan di negeri orang, lebih baik inati di kampung halaman. Begitu adat kita orang .Minang......"

Datuk Sipasan berhenti. Dia khawatir. kalau dia meneruskan juga ucapannya, anak muda itu benar-benar akan merasa tersinggung. Para lelaki yang lain, dan kaum perempuan dari Piaman yang duduk tak jauh dari mereka pada terdiam mendengar pembicaraan itu. Menatap pada mereka dengan tegang.
Si Giring-Giring Perak menunduk diam. "Maaf. Saya benar-benar tak bermaksud melukai hatimu...." "Tidak. Tidak. Saya tak tersinggung. Saya tengah memikirkan, bahwa apa yang Datuk katakan itu adalah kebenaran belaka adanya. Dan saya juga berflkir bahwa tugas menghalau Belanda dari Pariaman sebenarnya bukan hanya tugas Datuk dan teman-teman Datuk saja. Itu adalah tugas seluruh orang Minangkabau. Dan kalau semua orang Minangkabau merasa bahwa itu sebagai ancaman, maka semua orang yang beragama Islam hendaknya membantuDatuk. Saya sendiri, kalau tiba masanya Datuk menyerang ke Pariaman nanti, kalau umur panjang Insya Allah akan membantu, mudah-mudahan ada gunanya...."
Datuk itu tertegak mendengar ucapan ini.
"Apakah saya tak salah dengar... Engkau mau membantu kami untuk mengusir Belanda dari Pariaman?"
"Kenapa Datuk harus sangsi. Minangkabau adalah negeri saya. Meski kelak saya tak tahu di mana kampung halaman tempat darah saya ter-tumpah, namun Negeri ini adalah negeri nenek moyang saya. Saya akan berusaha membantu penduduk yang mendapat kesusahan. Jika itu diizinkan Tuhan. Bukankah saya juga seorang Muslim?"

"Ya Allah ya Tuhan, kabulkan permintaan anak muda ini. Kabulkan pula doa kami, agar dia selamat sejahtera, agar dia bertemu dengan kedua orang tuanya. Agar dia membantu kami memerangi musuh-musuhMu. Agar dia dan kami sama-sama dapat berperang demi menegakkan AgamaMu..,...!" Datuk Sipasan berseru dan berdoa dalam rimba Silaing itu. Semua lelaki dan perempuan yang hadir di sana pada tegak dan menampungkan tangan. Dan meng Amin kan doa Datuk itu. Datuk itu kemudian memeluk anak muda ter-sebut. Kemudian berpaling pada temantemannya. Terdengar suaranya serak:
"Kawan-kawan, Tuhan telah menemukan kita dengan anak muda ini. Dan Tuhan telah menunjuk-nya untuk berperang bersama kita kelak di Pariaman. Mari kita syukuri hal ini dengan membacakan Al Fatihah....." Semua mereka membaca ayat itu dalam hati. Siti Nilam meneteskan air mata. Beberapa perem-paun juga meneteskan air mata. Bahkan Datuk Sipasan dan lelaki-lelaki dari Piaman itu juga pada menitikkan air mata syukur dari terharu.
Si Giring-Giring Perak akan bersama mereka dalam menyerang di Pariaman. Bayangkan! Seorang anak muda berilmu tinggi. Yang mengalah-kan Gampo Bumi dan Pandeka Sangek. Yang berkuasa di Bukit Tambun Tulang dan Gunung Rajo Tuhan benar-benar Maha Kuasa.

Tidak ada komentar: