Tengah malam keenam lelaki yang berjaga di keliling rumah itu jadi terkejut melihat rombongan lelaki datang dengan suluh daun kelapa. Tapi ketika sudah dekat, mereka segera tahu, bahwa itu adalah rombongan Kepala Nagari. Dia tak naik ke rumah.
Tapi pada keenam lalaki yang mengelilingi, dia berkata:
"Kami harap Datuk itu dibawa ke Pos Kapitan Vender di Kabun Sikolos. Begitu juga isteri dan gadis yang bernama Siti Nilam itu....."
Dan tanpa menunggu jawaban ba atau bu, kepala nagari itu bersama tiga orang lainnya balik kanan. Berjalan meninggalkan rumah ter-sebut. Keenam lelaki dari Pariaman itu tertegak diam. Mereka saling pandang. Kemudian tanpa bicara sepatah katapun, mereka kembali ketem-pat di mana mereka tadi tegak menjaga, Tak ada niat sedikitpun bagi mereka untuk menyerahkan datuk itu. Dari Pariaman mereka datang kemari untuk mencari bantuan guna menyerang Belanda yang datang menjajah. Mereka sudah berniat untuk sesakit sesenang.
Kini salah seorang dari mereka mendapat kesulitan, maka mereka ber-tekad untuk memikulnya bersama.
Tapi 3 hari pula berlalu sejak itu tak seorang-pun yang datang ke rumah tersebut. Hal itu sebenarnya menguritungkan bagi Datuk Sipasan. Keadaan tubuhnya makin lama makin membaik. Menjelang hari keempat dia sudah bisa duduk di tempat tidur. Obat yang diramu dari daun dan akar kayu seperti yang diajarkan si Giring-Giring Perak itu ternyata arnat mujarab.
"Nilam... panggil Sidi dan teman-teman ke atas..."
Nilam melaksanakan permintaan itu. Lima orang dari yang berenam yang berada di keliling rumah itu segera naik. Sementara yang seorang tetap berjaga-jaga di bawah. Mereka tegak dalam bilik kecil itu di depan pembaringan Datuk Sipasan. Tegak dengan diam. Dengan tatapan yang teguh Datuk Sipasan me-natap mereka satu demi satu bergantian. "Kalian harus menghindarkan pertikaian dengan penduduk di sini. Kita datang untuk mencari bantuan. Ingat, di Pariaman, puluhan teman-teman menggantungkan nasibnya dari tugas yang kita pikul untuk menyusun kekuatan. Di sini Islam juga sudah mulai bangkit. Kalau terpaksa, tinggalkan negeri ini. Menyingkir ke Luhak Agam atau ke Sungai Jambu dan Lima Kaum..." "Tapi yang menyerang Datuk bukan orang Islam. Mereka anak buah Pandeka Sangek...." "Darimana kalian tahu..." "Begitu cerita yang kami dengar di lepau dan di balai sebelum kami datang kemari......" "Pandeka Sangek? Saya seperti pernah mendengar nama itu di Pariaman. Kalau tak salah dia adalah utusan Kompeni ke perundingan dengan Belanda di pulau Cingkuk setahun yang lalu..." "Kabarnya dia memang punya hubungan yang erat dengan kapitan Vender di kampung Sikolos..." "Bagaimana kalau malam ini kita menyingkir semua dan sini?" tiba-tiba salah seoran,mengajukan saran. "Ya. Saya rasa itu jalan yang baik. Sebab, penduduk di sini nampaknya takut semua pada Pandeka Sangek. Mereka lebih suka diam dan membiarkan diri dan keluarga mereka di bawah cengkeraman penyamun-penyamun itu daripada bangkit melawan. Karenanya, kalau akan melawan juga, kita tak bisa niengharapkan bantuan dari penduduk di sini. Kita hanya tujuh orang, semen-tara mereka puluhan. Apalagi di tambah dengan dua puluh orang Kompeni yang bermarkas di kebun Sikolos...."
Semuanya kini terdiam. Mereka menanti putusan Datuk Sipasan. Perempuan-perempuan yang mendengarkah pembicaraan itu dari kamar sebelah, menanti dengan perasan tegang.
"Apakah ada jalan lain yang aman untuk melarikan diri malam ini?"
"Sudan kami selidiki. Nampaknya jalan yang aman adalah kembali ke arah air terjun di mana Siti Nilam diculik. Dari sana kita naik ke atas, dan memutus ke Balingka."
"Suatu perjalanan yang amat berat. Apakah sudah ada jalan pedati?"
"Pedati harus kita tinggalkan. Kita menyela-matkan badan saja...."
Datuk Sipasan terdiam lagi. Dia menatap teman-temannya itu kembali.
"Putusannya kami serahkan pada Datuk. Tak usah terburu-buru. Malam nanti bisa Datuk sampai-kan putusan Datuk pada kami. Kalau satu orang pergi menyelamatkan diri, yang lain harus ikut. Kalau Datuk tinggal di sini, semua kami juga akan tetap tinggal. Dari Pariaman kita telah sesakit sesenang. Begitu dulu, begitu sekarang, dan begitu seterusnya...."
Yang bicara ini adalah Sidi Kasim. Orang yang menjadi tangan kanan Datuk Sipasan selama ini. Yang lain mengangguk. Datuk Sipasan tak dapat berbuat lain, kecuali menarik nafas dalam. Tiba tiba dia teringat sesuatu. Matanya menatap keliling, lalu bertanya:
"Apakah kalian melihat si Giring-GiringPerak?" Pertanyaan ini menyadarkan semua orang, termasuk semua perempuan yang ada di kamar sebelah tentang diri anak muda itu. Mereka saling pandang. Siti Nilam yang ada di sebelah, menunduk. Isteri Datuk Sipasan menatapnya. Kedua perempuan ini yang mula-mula sekali ditimpa bencana hampir diperkosa itu, adalah orang yang pertama mengingat dan mengharapkan kedatangan anak muda itu untuk menolong mereka.
"Tidak ada yang melihat dia di pasar atau di kedai kopi?" Datuk Sipasan kembali bertanya.
Dan yang lain pada menggeleng. Mereka ini tiba-tiba saja mengharapkan kehadiran anak muda itu. Kalau dia ada, mereka yakin akan terhindar dari pembalasan dendam Pandeka Sangek. Tapi anak muda itu sudah enam hari pergi. Dia memang tidak meninggalkan mereka untuk seterusnya. Dia mengatakan pergi hanya dua hari. Tapi kini sudah hari ke enam, dia
tetap tak muncul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar