Isteri Datuk itu segera arif akan bahaya yang mengancam diri suaminya Sejak awal tubuhnya dipangku naik oleh baji-ngan itu tadi, dia sadar sepenuhnya. Dia dapat merasa sakit atau geli, tapi tak dapat melawan karena totokan itu. Dia dapat melihat perkelahian antara suaminya dengan kedua lelaki itu. Kini dengan air mata membasahi pipi, dia menyambar kain panjangnya. Dengan melekatkan kain seadanya dia melompat turun. Menggendong kedua anaknya, lalu membawa naik ke rumah.
Setelah meletakkan anak, dia mengurut tengkuk Siti Nilam. Dan sebelum gadis ini sadar sepenuh'nya, dia telah melompat turun. Kemudian bergegas ke tepi rimba di belakang rumah. Dari sana dia mengambil dua macam akar kayu, lalu empat macam dedaunan yang dia kenal sebagai ramuan obat.
Akar dan daun ini dia remas. Dia masih ingat cara pengobatan yang diajarkan oleh Si Giring:Giring Perak sebulan yang lalu di Air Terjun Anai tatkala mereka baru saja selamat dari serangan pe-nyamun Bukit Tambun Tulang. Siti Nilam yang segera dapat bergerak, setelah melekatkan kain sekedarnya, langsung menendang kedua tubuh lelaki yang hampir saja menodai diri mereka itu. Begitu kakinya bergerak, tubuh lelaki itu bergantian terlambung kebawah. Dia kemudian memangku anak Datuk Sipasan yang kecil. Yang sejak tadi tak henti-hentinya menangis.
Isteri Datuk Sipasan segera menggiling dedaunan dan akar-akar yang baru dia ambil. Kemudian mengambil persediaan madu lebah yang selalu dibawa. Dia tak sempat menangisi nasib. Tak sempat bersedih. Perempuan-perempuan dari Pariaman ini, telah terbiasa hidup dalam kekerasan. Peperangan antara kaum mereka dengan Belanda, atau peperangan sesama kaum karena judi, perempuan harta dan sebagainya, membuat perempuan perempuan di Pariaman menjadi wanita-wanita yang punya rasa tanggung jawab yang besar. Tidak hanya sekedar melahirkan anak bagi suami-suami-nya, Tidak pula hanya sekedar menanakkan nasi, membuatkan kopi atau teman di tempat tidur saja. Tetapi mereka adalah perempuan yang ikut berjuang bersama suaminya. Keadaan membuat mereka menjadi perempuan-perempuan yang mampu menekan rasa takut dan lemah seperti umumnya dimiliki oleh kaum perempuan yang lain.
Ketika dia selesai meramu obat dari dedaunan itu, anaknya telah tidur dan diletakkan oleh Siti Nilam di pembaringan. Beberapa orang lelaki yang tadi melihat Datuk itu berlari melintasi sawah mereka,pada mendatangi rumah Datuk tersebut. Dan mereka, kaum lelaki penduduk Silaing itu jadi terkejut melihat keempat tubuh yang tergolek di halaman yang telah jadi mayat itu. Mereka amat kenal pada keempat lelaki itu. Yaitu anak buah Pandeka Sangek. Dan mereka juga tahu sangat, Pandeka Sangek ini adalah salah seorang murid Harimau Tambun Tulang yang kesohor itu.
Karenanya, mereka segera surut kembali ke sawah atau cepat-cepat pulang ke rumah. Mereka tak mau kena getah dari peristiwa mengerikan itu. Sudah cukup sering merka melihat pembalasan dari anak buah Pandeka Sangek. Pandeka itu sendiri jarang sekali turun dari pusat "Pemerin-tahannya". Dia "memerintah" dari puncak Gunung Rajo di balik Bukit Tui. Yang sering turun adalah anak buahnya. Penduduk di negeri Sikolos, I Silaing, Kampung Manggis, Gunung, Tanah Hitam, Bukit Surungan dan Gunung Malintang, setiap 1 purnama harus membayar upeti pada Pandeka Sangek. Upeti itu berupa uang. Atau perhiasan emas untuk beberapa purnama. Gunanya sebagai uang keamanan. Bagi yang membayar, keamanan-nya dijamin. Bagi yang tidak membayar, ada-ada saja musibah yang datang. Sekurang-kurangnya kerbaunya mati kena racun. Atau anak gadisnya diperkosa. Bahkan tak jarang yang kedapatan mati di sembelih di Bancah Laweh. Bancah Laweh ini suatu tempat yang menakut-kan penduduk di kampung-kampung sekitarnya. Asal mereka tertangkap dan dibawa ke sana oleh Kompeni, maka itu berarti yang pulang hanya nama.
Seorang Kapiten Berkedudukan di pasar Kebun Sikolos. Di bawah si Kapiten, ada satu peleton tentara Kompeni. Nah, ada dua tulang punggung Pandeka Sangek dan anak buahnya. Yang pertama adalah murid Harimau Tambun Tulang. Yang kedua sahabat dekat yang rajin membayar upeti berjumlah banyak pada Kompeni.
Untuk itu, dia dipercaya memungut pajak dari rakyat. Dan cerita tentang matinya empat orang anak buah Pandeka Sangek di tangan datuk Sipasan, pengungsi yang baru datang dari Pariaman itu, segera menjalar seperti api melahap padang lalang yang kering. Di mana-mana, di lepau, di pancuran mandi, di sawah, di ladang, di sasaran silat, di pos penjagaan Kompeni, di tempat judi, di tempat orang berandal, bersalung, cerita itu merambat seperti ular belang yang menjalar amat mengerikan. Setiap orang kini menanti pembalasan yang akan dilakukan pihak Pandeka Sangek. Pengikut Datuk Sipasan, yang bersama-sama dengannya datang dari Pariaman dalam kafilah Pedati yang dicegat di Bukit Tambun Tulang itu, juga mendengar cerita tersebut. Hanya ada enam orang lelaki di daerah tersebut. Enam keluarga, Yang lain sudah sepekan me-neruskan perjalanan ke Luhak Agam dan ke Pa-garuyung. Keenam lelaki ini, segera datang ke rumah Datuk Sipasan. Ketika mereka. datang senja di hariitu,mayat keempat lelaki tersebut sudah dibawa pergi oleh teman-temannya. Belum ada kejadian apa-apa. Tapi mereka yakin, tak lama lagi, pasti akan ada pembalasan. Kini, semua rombongan dari Pariaman yang ber-jumlah enam orang itu, mengumpulkan anak isteri-nya di rumah Datuk tersebut. Mereka sudah ber-tekad. Kalau penduduk nagari ini akan berpihak pada Pandeka Sangek, atau Pandeka Sangek meng-adakan pembalasan, mereka akan melawan sampai tetes darah terakhir.
Keenam lelaki itu tegak di keliling rumah Datuk tersebut. Sementara semua perempuan berada dalam rumah. Mereka tegak sepuluh depa dari rumah itu. Menjaga kemungkinan terhadap serangan mendadak. Di atas rumah, Datuk Sipasan belum bisa bangkit. Bahkan belum sadar. Keris berbisa itu sudah dicabut isterinya dari perutnya. Dia sebe-narnya seorang ahli bisa. Bahkan dalam tubuhnya berkumpul bisa Lipan (sipesan) yang mematikan musuh. Namun menghadapi racun yang terdapat diujung keris lawannya siang tadi, nampaknya dia tak berdaya. Ketika dia sadar dan membukakan mata, Datuk itu melihat isterinya tegak dengan wajah pucat di sisinya. Lampu damar telah terpasang. Dan dia segera mengetahui, di dalam rumahnya ini penuh oleh manusia. Dia ingin bangkit. Tapi tubuhnya terasa amat lemah. "Air..." desahnya. Siti Nilam memberikan labu yang telah dikeringkan dan diisi air mentah dari pincuran. Datuk itu minum dengan lahap. "Saya mendengar rumah ini seakan-akan penuh..." Isterinya mengangguk. "Siapa..,.?" "Isteri Lebak Tuah dan anak-anaknya. Isteri Sidi Tuah. Isteri Sidi Kasim. Dan semua temanteman dari Pariaman yang berdiam di Nagari ini..." "Mengapa mereka berkumpul di sini?" "Yang empat orang mati tadi adalah anak buah Pandeka Sangek. Dan mereka penguasa di Nagari ini. Kabarnya mereka akan membalas dendam. Dan teman-teman semua berada di keliling rumah..." Datuk Sipasan menggeleng. Dia tak ingin teman-temannya itu ikut dalam peristiwa ini.
Namun dia tak kuasa bangkit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar