Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Jumat, 20 Agustus 2010

Giring Giring Perak : Episode 25 - Pengintaian Di Bukit Tambun Tulang (I)

Datuk sipasan sebenarnya sudah beberapa hari yang lalu di tugaskan oleh teman-temanya untuk membujuk anak muda itu agar mau membantu mereka.
Bahkan ada yang mengusulkan agar diikat jodoh Siti Nilam denganya. Agar dengan demikian, anak muda itu mau tak mau ikut berperang di pihak mereka mengusir Belanda. Namun Datuk itu tak mau gegabah. Dia tak mau menyampaikan hal itu karena dia anggap kurang terhormat cara demikian.
Dan kiranya, tanpa dia harus memintanya dengan bujukan, anak muda itu telah mengatakan kesediaannya. Bukankah itu suatu Rahmat ? Dan Datuk ini serta pengikut-pengikutnya, merasa yakin bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan Sekalian Alam yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Setelah mereka membaca Alfathihah, para lelaki berdatangan menjabat tangan si Giring-giring Perak. Menurut perjanjian dengan Ulama-ulama Aceh yang balik ke Aceh mencari bala bantuan, mereka akan datang lima purnama lagi. Berarti sisa lima purnama itu akan mereka pergunakan untuk mencari dan mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin. Berusaha menarik kaum pesilat dan pengikut Islam yang ada di Tiga Luhak ini agar mau membantu mereka.

Dan hari itu mereka putuskan, bahwa mereka akan kembali ke rumah Datuk Sipasan di Silaing. Tiga hari disana, setelah melihat angin baik, mereka lalu pindah menuju Balingka seperti rencana Datuk Sipasan. Mereka menempuh jalan biasa lewat Koto Baru, Sungai Buluh dan Padang Luar lalu berbelok ke Balingka. Dengan menempuh jalan biasa itu, mereka dapat membawa semua perkakas yang di bawa pindah dari Pariaman berikut pedati. Si Giring-giring Perak ikut dalam rombongan itu.

Dalam perjalanan, beberapa kali mereka coba disergap oleh anak buah Pandeka Sangek. Tapi melihat betapa di pedati paling depan duduk anak muda berbaju serba putih dan ber-giring-giring perak itu, stelan perut mereka jadi memilin.
Mereka mundur sebelum dihajar. Dan rombongan itu aman sampai di Balingka.

Akan halnya Pandeka Sangek, sejak peristiwa itu seperti lenyap dari Negeri Silaing dan Kebun Sikolos. Banyak yang menduga , bahwa dia bersemedi dan menghimpun tenaga di Gunung Rajo. Malah secara seloroh ada yang mengatakan bahwa dia kembali mengulang menuntut ilmu pada gurunya..
Tapi satu hal yang pasti adalah, mereka sedang menanti kesempatan untuk menuntut balas. Sementara cerita tentang perkelahian Dahsyat di Rimba Silaing itu pecah dari mulut ke mulut.
Tersebar mulai dari Luhak Tanah Datar sampai ke Luhak Agam dan Lima Puluh. Nama si Giring-giring Perak disebut penuh kekaguman dari mulut ke mulut. Meski orangnya belum pernah mereka lihat.
Namun Bukit Tambun Tulang tetap saja menjadi momok bagi orang yang lalu disana. Dua rombongan orang-orang yang akan ke Padang dan lewat disana, habis kena babat. Jumlah mereka enam belas orang. Lelaki semua. Dan pesilat semua.
Terakhir dua regu tentara Belanda, yang menuju Padang juga, yang lewat disana dengan pasukan berkuda dan bersenjata lengkap. Dua puluh orang mati disembelih oleh anak buah Gampo Bumi. Tiga orang lainnya sempat lolos dan melarikan diri kembali ke Tanah Datar.
Dan nama Bukit Tambun Tulang kembali menjadi momok. Suatu kerajaan hukum rimba yang membuat orang merasa linu tulang belulangnya bila harus lewat disana.

Peristiwa pembunuhan dan penyamunan terhadap dua regu tentara Belanda itu menyebabkan murkanya Kolone De Cappelen di Batu Sangkar. Dia memerintahkan pada Kapten Verde di Kebun Sikolos dekat Silaing untuk menyapupenyamun disana. Kapten itu justru memanggil Pandeka Sangek. Karena dia mendengar bahwa antara Pandeka Sangek itu dengan Gampo Bumi punya sangkut paut . Dia meminta pada Pandeka Sangek untuk membujuk Gampo Bumi agar mau menyerah padanya. Tapi Pandeka Sangek dengan tegas menolak.

"Saya bukan hanya sekedar kenal dengan Gampo Bumi. Tapi lebih dari pada itu dia adalah adik seperguruan saya.." katanya pada Kapten Belanda itu tatkala dia datang ke Pos markas Kapiten tersebut di Kebun Sikolos."Good! Baguss! Kalau begitu, kamu orang harus panggil adik kamu yang ajarnya kurang itu. Suruh dia datang pada saya di sini."
"Itu tak mungkin!" kata Pandeka itu tegas.
"Apa sebab?"
"Dia penguasa di Bukit Tambun Tulang itu. Setiap tindakan yang dia lakukan sepenuhnya tanggung jawab dia. Meski kami seperguruan tapi kami tak boleh mencampuri urusan kami masing-masing. Seperti halnya dia juga tak bisa mencampuri urusan saya di negeri ini..."

"Hmmm...semacam otonomi suatu pemerintahan he....?
"Begitulah..."
"Bagaimana kalau dia kita undang ke mari untuk minum-minum..."
"Itu urusan Kapitenlah".
"Tapi kita ingin Pandeka Sangek sampaikan kita punya undangan..."
"Maaf, banyak kerja saya yang lain..."
"Pandeka tak menghargai persahabatan kita..."
"Apakah persahabatan yang tuan maksudkan adalah agar saya membujuk adik seperguruan saya kemari, lalu tuan tangkap dan tuan bunuh. Begitu persahabatan yang tuan inginkan?"

Muka Kapiten itu jadi merah Padan mendengar pertanyaan yang nyata-nyata berupa tantangan ini.
Mereka saling tatap. Pandeka Sangek, yang sudah sebulan tak muncul sejak perkelahiannya dengan Si Giring-giring Perak di Rimba Silaing itu, kini membalas tatapan Kapten Belanda itu
tanpa berkedip. Dia sudah lama juga merasa muak akan Belanda-Belanda di negerinya ini. Soalnya bukan karena mereka merasa di jajah. Tapi mereka merasa kekuasaan mereka untuk ber-mahasirajalela jadi berkurang. Inilah yang membuat mereka tak sedap hati.
Kapiten ini mau saja melampang dan menangkap inlander busuk itu. Tapi dia tahu, inlander yang seorang ini punya ikutan yang banyak. Terdiri dari pesilat-pesilat tangguh. Sementara mereka hanya dua belas orang di Kebun Sikolos ini. Salah-salah perhitungan, bisa habis serdadunya di sembelih Pandeka ini.

Dengan perhitungan begitu, Kapiten tersebut terpaksa menahan berangnya. Tapi tak urung dia menyumpah-nyumpah dalam bahasa nenek moyangnya yang tak diketahui oleh Pandeka Sangek. Dan Kapiten ini lalu menukar siasat, dia menanyakan berapa kekuatan anak buah Gampo Bumi di Bukit Tambun Tulang itu.
"Saya tak tahu..."jawab Pandeka.
"Tapi bukankah di Bukit Keparat itu kamu orang belajar silat dulu?"
"Bukan Bukit keparat. Tapi Bukit Tambun Tulang..."
"Persetan dengan Tambun Tulang atau Tambun Taik, saya ingin tahu berapa anak buah si Gampo Taik itu..."bentak Kapiten itu mulai berang.
Pandeka Sangek timbul harga dirinya. Dia tak senang bangsa asing ini membentak bentak dirinya di negerinya sendiri pula. Dia tegak, dan dengan sikap menantang lalu bicara :"Tuan ingin tahu jumlah mereka disana?""Ya. Berapa jumlah mereka, dan dimana mereka berdiam di rimba itu..."
"Datang sendiri kesana, dan tanyakan pada Gampo Bumi!" Sehabis berkata begini Pandeka Sangek dan si Pitok melangkah keluar.

"Godverdomm...!! Anjing, kendik, beruk, kentut. Kentut kowe!"
Kapten itu memaki dan bercarut bungkang. Tapi dia mempergunakan bahasa Belanda. Dan karena dia berbahasa Belanda. Pandeka tidak tahu bahwa dia dikatakan anjing, kendik, beruk dan kentut. Pandeka itu tetap saja meluncur pergi. Masuk ke pasar Kebun Sikolos. Di Depan orang menjual lemang dia berhenti. Mengambil sebatang Lemang. Memotong nya dengan keris. Kemudian memakan sekerat, dan yang sekerat lagi diberikannya pada si Pitok. Si Pitok anak buahnya ini memakan lemang yang setengah batang itu sambil berjalan.
Pemilik Lemang tak berani meminta duit. Karena setiap orang di Kebun Sikolos itu tahu siapa yang berjalan itu. Pandeka Sangek, yang siap menyangek apa-apa yang menghalanginya.

Tak Jauh dari tempat orang menjual lemang ia menendang tempayan orang yang berjualan cendol. Tempayan besar itu menghalangi jalannya.
Tempayan itu pecah. Cendolnya terbosai kemana-mana. Orang yang kena siram cendol, maupun pemiliknya tertekur diam tak bergerak.
"Kalau jualan jangan di tengah jalan. Mengerti waang he..?!" hardiknya pada tukang jual cendol.
"Ya om...!"
"Apa! Siapa yang waang panggil Om he ?!"
Dan seiring pertanyaan itu tangannya bekerja.
Dia membuat pekerjaan tangan di pipi si tukang jual cendol yang terlanjur memanggil dengan sebutan Om itu.
"Ampun pak...ampun pak. Awak silap..."
"Siapa bapak waang. Pebila saya kawin dengan emak waang makanya saya waang sebut bapak he?!" Dan kembali dia membuat pekerjaan tangan. Pandeka ini memang orang yang rajin membuat pekerjaan tangan bila dia sesekali ke balai.
Penjual cendol itu tak bicara lagi. Dia lebih baik diam daripada mendapat pekerjaan tangan terus menerus. Dan diam memang jalan yang aman baginya.
Pandeka itu berjalan lagi meninggalkan tempayan cendol yang pecah dan muka penjualnya yang ada sidik jarinya.
***********
terbosai = terserak tertekur = tertunduk kendik = babi hutan, celeng




TAMAT

Tidak ada komentar: