Rombongan Datuk Sipasan ber-sorak gembira. Mereka ramai-ramai mendekati anak muda itu. Dan ketika mereka tegak mengelilinginya, baru jelas bagi mereka, betapa masih mudanya dia.
Paling-paling baru berumur 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Semampai dan tampan serta berkulit kuning bersih. Tak ada tanda-tanda bahwa dia se orang pesilat, apalagi memiliki ilmu tinggi yang sanggup mengalahkan murid Harimau Tambun Tulang.
Datuk Sipasan maju ke depan.
"Terima kasih anak muda. Engkau telah menyelematkan nyawa kami semua. Tak tahu bagaimana cara membalas budi yang telah kami terimaini. Hanya Tuhan yang akan membalasnya...."
"Tak usah dipikirkan hal itu. Apakah tak lebih baik menguburkan teman-teman yang meninggal?"
Semuanya jadi sadar. Dan mereka lalu ramai-ramai menggali lubang besar. Ada sembilan orang yang meninggal. Dan semua mereka dikuburkan dalam sebuah lobang bersamaan.
Ketika mereka selesai menguburkan mayat-mayat itu, hari telah senja.
"Tak jauh dari sini, ada air terjun di batang Anai. Barangkali lebih baik kita bermalam dekat air terjun itu sambil bertanak. Anak muda, kami mengundang anda untuk makan bersama malam ini. Jangan menolak, kami punya bekal cukup banyak. Dendeng daging rusa, dan palai rinuak. Marilah kita kesana..."
Ucapan Datuk Sipasan ini disambut dengan gembira oleh semua anggota rombongan. Mereka mengagumi anak muda itu. Mereka ingin mengenal-nya. Dan mereka juga berfikir, alangkah baiknya kalau anak muda ini bisa melanjutkan perjalanan bersama mereka ke Luhak Tanah Datar. Lagi pula mereka belum mengenal siapa namanya, dari mana dia dan di mana perguruannya.
Anak muda itu tak menolak. Rombongan itu dengan bernyanyi gembira lalu melanjutkan perjalanan. Tak sampai satu jam, rombongan itu tiba di bawah air terjun di danau kecil yang amat indah di mana air terjun itu menghamburkan diri.
Tempat itu tak berapa jauh dari Bukit Tambun Tulang. Bahaya serangan mendadak dari penyamun penyamun tadi bukannya tak mungkin. Tapi dengan adanya anak muda tangguh ini, mereka yakin penyamun itu takkan berani menampakkan batang hidung.
Anak muda itu ternyata juga mahir dalam obat obatan. Tangan dan rusuk Datuk Sipasan yang patah dia obat dengan ramuan daun-daunan yang dia ambil di sekitar air terjun tersebut.Obat itu mendatangkan rasa nyaman dan me-legakan pernafasan Datuk tersebut. Ngilu dan nyerinya lenyap sama sekali.Pengobatan itu dia lakukan setela-h selesai makan. Mereka semua berkumpul mengitari api unggun besar yang dibuat tak jauh dari air terjun. Lelaki perempuan, tua muda berkumpul ingin melihat dan mendengar cerita anak muda yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu.Beberapa orang yang luka juga diobati. Dan sama keadaannya dengan Datuk Sipasan, luka mereka terasa banyak sekali angsurannya.
"Obat apa namanya ini?" tanya Datuk Sipasan.
"Inilah pengobatan asli sejak nenek moyang kita. Segala obat yang dibuat berasal dari daun-daun dan akar-akar serta getah tumbuh-tumbuhan"
Dan malam itu rombongan penduduk yang pindah dari Pariaman ke Luhak Tanah Datar itu mendapat pelajaran yang amat bermanfaat. Yaitu belajar meramu obat-obatan.
Mereka sibuk mencari akar kayu daun tumbuh-tumbuhan yang ditunjukkan contohnya oleh anak muda itu. Dan diterangi api unggun mereka mem-buat obat-obatan.
Menjelang tengah malam, tak seorangpun yang berniat untuk tidur. Dan Datuk Sipasan mengerti apa yang diingjni oleh rombongannya.
Ketika mereka duduk sambil menghirup kopi yang dijerangkan oleh Siti Nilam, gadis berusia 17 tahun yang ayahnya mati di Bukit Tambun Tulang tadi, yang dirinya hampir pula dinistai penyamun itu. Datuk itu membuka pembicaraan dengan hati-hati.
"Maaf, sampai saat ini kami belum tahu harus memanggil apa pada engkau anak muda. Maksud saya, kami belum tahu siapa namamu, di mana kampungmu dan akan ke mana engkau sebenar-nya. Sementara tentang diri kami semua, rasa-nya sudah tak ada lagi yang harus diceritakan..."
Anak muda itu tak segera menjawab. Dia memandang ke arah air terjun di lembah anai itu. Lambat-lambat menanggalkan giring-giring perak di kaki kanannya.
"Masih ingat pertanyaan saya tadi... ketika masih di bukit Tambun Tulang?" dia bertanyaperlahan.
"Ya, saya masih ingat. Engkau menanyakan kalau-kalau ada diantara kami yang mengenal giring-giring ini..." jawab Datuk Sipasan. Anggota rombongan yang lain pada menggeser duduknya mendekat.
Anak muda itu menarik nafas panjang. Matanya menghadap lurus ke depan. Dan di depannya, justru duduk Siti Nilam di samping seorang perem-puan lain. Tanpa disadari, mereka bertatapan cukup lama. Akhirnya Nilam menundukkan muka-nya yang bersemu merah dalam cahaya api unggun.
"Siapa nama saya, darimana saya da tang, itu yang selalu ditanyakan orang...." anak muda itu berkata perlahan sambil menatap api unggun. Seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Namun, itu pula yang tak saya ketahui..." katanya lagi. Semua yang hadir jadi tertegun tak mengerti.
"Ya." dia melanjutkan lagi, "saya tak mengetahui siapa nama saya. Dan tak tahu di mana kampung halaman saya. Saya juga tak tahu siapa ayah dan ibu saya. Ketika saya mulai bisa berfikir, saya mendapati diri saya di puncak Gunung Talang bersama seorang lelaki tua yang saya sangka ayah saya. Namun setahun yang lalu, dia menceri-takan semuanya. Bahwa saya bukan anaknya. Bahwa dia menemukan saya di sebuah ladang yang dia sudah tak ingat di mana tempatnya. Saya dia temukan ketika masih berumur 5 bulan. Tak jauh dari tempat saya
berdiri, ada negeri hangus terbakar, penduduknya melarikan diri. Kabarnya baru kena rampok. Saya dia bawa ke Gunung Talang di mana dia tinggal. Satu-satunya tanda yang ada pada saya adalah giring-giring perak ini.
Orang tua yang merawat saya itulah guru saya bersilat dan belajar ilmu bathin serta ilmu obat-obatan. Tiga bulan yang lalu saya disuruhnya turun gunung mencari orang tua saya.
Mencari kampung saya. Dia tak mengetahui sia nama saya. Dan kalau dia memanggil, dia memanggil saya dengan sebutan si Giring-Giring Perak.
Sejak sebulan yang lalu, saya sudah mendatangi Padang dan Pesisir Selatan, mendatangi kampung demi kampung, memasuki belukar dan ladang, mencari kalau kalau ada orang yang kehilangan anak 20 tahun yang lalu. Dengan giring-giring perak di kaki kanannya.
Itulah sebabnya, giring-giring ini tak pernah saya lepaskan, meskipun sudah begim besar. Saya yakin suatu hari, entah kapan, barangkali ibu atau ayah, atau barangkali kakak saya, kalau mereka masih hidup, mereka akan mendengar giring-giring ini, dan teringat pada saya... Saya akan mencari mereka, kemanapun jua...."
Ketika dia menghentikan ceritanya, perempuan perempuan pada mengusap air mata. Lelaki pada menunduk.
"Maafkan saya telah membangkitkan cerita yang membuat anda sedih..." kata Datuk Sipasan. Anak muda itu menggeleng. Dia tersenyum lemah. Dan tiba-tiba matanya bertatapan lagi dengan Siti Nilam yang kebetulan lagi mencuri pandang padanya. Gadis itu basah pipinya karena air mata. Dia teringat ayahnya yang mati di bukit Tambun Tulang tadi. Kini dia juga sebatang kara, ibunya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit perut di Pariaman. Mereka bertatapan lama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar