Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Jumat, 20 Agustus 2010

Giring Giring Perak : Episode 16 - Terperangkap

Dan sampai malam merangkak larut, dia memang tak pernah muncul, Ketika bunyi jangkrik melantunkan suaranya di malam pe-kat itu, di antara suara guruh yang menderam seka-lisekali, keenam lelaki itu kembali naik dan ber-kumpul di ruang tengah bersama Datuk Sipasan. Datuk ini sudah baik keadaannya.
Rumah itu gelap. Yang hidup hanya sebuah jampu lilin yang dibuat dari sarang lebah. Terletak di tengah ruangan. Di keliling lilin kecil yang ter-letak dalam piring itu, duduk dengan diam keenam lelaki tersebut bersama anak dan isteri mereka. Datuk Sipasan menatap kelima temannya. Sementara yang seorang tetap berada di luar, melihat kalau-kalau ada orang yang datang. "Apakah aman untuk memulai perjalanan?" Datuk itu bertanya. Sidi Kasim mengangguk. Datuk Sipasan menoleh pada isterinya. "Sudah dibungkus semua yang perlu dibawa?" Perempuan itu mengangguk. Anak-anak mereka pada diam. Ada yang tidur dalam pangkuan kain. Ada yang bangun, namun kanakkanak itu seperti punya firasat akan bahaya yang mengancam orang tuanya. Tak ada di antara mereka yang menangis. Tak ada yang gelisah. Bahaya dan perjalanan malam di antara gemuruh guruh atau hujan badai ataupun di antara terik panas yang membakar. nampaknya sudah tak menjadi halangan lagi bagi para perantau dari Pariaman ini. "Baiklah, kita berangkat.,.." itulah ucapan Datuk Sipasan. Kelima lelaki itu pada tegak. Isteri dan anak-anak mereka juga. Dalam cahaya yang samar, Datuk Sipasan menghitung, ada 17 orang mereka semua. Lelaki dewasa, para wanita dan anak-anak. Jadi delapan belas orang dengan yang menjaga di luar.
Sidi Kasim memberi isyarat kepada teman yang di luar. Yang di luar memberi isyarat dengan ber-siul kecil. "Kita lewat pintu belakang, Saya yang akan berada di depan sekali. Tak ada suluh atau damar yang boleh dinyalakan. Semua barang-barang, dipikul oleh lelaki. Setiap orang harus berpegangan tangan untuk memudahkan perjalanan. Setelah jauh ke dalam rimba kita baru bisa menghidupkan suluh...."
Sidi Kasimlah yang bicara ini. Sudah dua hari ini dia menyiasati jalan untuk melarikan diri bila terpaksa. Sendirian dia telah menyelusupi hutan di belakang rumah Datuk Sipasan. Dia menemui jalan setapak yang mudah dilalui. Barangkali menjelang subuh mereka bisa mencapai bahagian huiu air terjun batang Anai.
Lilin dalam rumah itu dihidupkan dua buah lagi. Ditaruh di ruang tengah dan bi bilik serta di dapur. Dengan demikian, kepada orang yang mengintai, diberi kesan, bahwa penghuni rumah itu masih ada. Kemudian Sidi Kasim mulai turun dari pintu1 belakang. Yang menjaga di depan yaitu Lebak Tuah meniup salung. Suara salung yang mengalun lemah, mengiringkan ke 17 orang di rumah itu turun perlahan dari pintu belakang. Angin malam yang dingin dan basah menerpa mereka ketika berada di luar. Kanak-kanak merapatkan pelukannya ke dada ayah atau ibu mereka. Menyurukkan wajah mereka sedalam mungkin ke pelukkan orang tuanya. Beberapa saat mereka lalui dengan tegang. Melangkah tapak demi tapak dalam kegelapan dengan saling berpegangan tangan. Suara Salung Lebak Tuah terdengar sayup di kejauhan. Dan ketika jarak mereka sudah sampai di tempat yang dirasa cukup aman, Sidi Kasim memberi isyarat pada Lebak Tuah dengan membunyikan suitan tajam seperti bunyi burunghantu.
Tanda itu dia bunyikan tiga kali. Suara salung Lebak Tuah berhenti sebentar. Kemudian terdengar lagi perlahan. "Kita teruskan perjalanan. Dia akan menyusul." Mereka menapak lagi dalam kegelapan itu. Kini mereka telah berada dalam rimba di belakang rumah Datuk Sipasan. Dan betul juga, tak lama kemudian Lebak Tuah telah bergabung di bagian belakang.

Namun Datuk Sipasan merasa tak sedap di hatinya. Ada sesuatu yang ganjil dalam kegelapan malam itu terasa. Ada yang menakutkan terasa melihat bayangan pohon dalam hutan itu. Dia ingin berbisik memanggil Sidi Kasim yang berada di depannya, tatkala tiba-tiba mereka seperti dipakukan ke tempatnya karena suara tawa yang terbahak-bahak.
"He....hee....hee...."
Mereka terhenti. Para perempuan seperti kehilang-an semangat.
"He...hee.....ha....hee....
Suara tawa itu menggema lagi. Dan tiba-tiba Datuk Sipasan serta teman-temannya ingat, tawa itu seperti tawa yang pernah mereka dengar di Bukit Tambun Tulang!

"Gampo Bumi!!" Datuk Sipasan berkata lambat. Dan suaranya di dengar oleh semua orang. Hal itu benar-benar membuat mereka merasa kecut. Tawa itu memang seperti tawa di Bukit Tambun Tulang. Di -saat mana mereka hampir saja mati, kalau si Giring-Giring Perak tak segera me-nolong.

"Perangkap. Kita masuk perangkap...." Suara Sidi Kasim terdengar dari depan. Ya, tak dapat mereka pungkiri, mereka kini berada dalam perangkap.

Lebak Tuah menarik tangan teman-temannya untuk kembali ke rumah. Namun Datuk Sipasan menahannya. Dan tiba-tiba puluhan damar dan suluh dihidupkan dalam rimba itu. Ke 18 orang itu kini berada di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh suluh. Mereka terdiam. Anak-anak itu mulai menangis.

"He....he....he... Akan ke mana kalian he...??" Sebuah suara terdengar dari balik suluh yang me-nyala itu. Tak ada yang menyahut.
"Kalian akan pergi begitu saja setelah membunuh empat orang anak buahku yang tak berdosa? Begitu hm.....? Kalian sengaja datang dari Pariaman untuk mengacau di sini hem.....?"

Datuk Sipasan maju selengkah. "Kami tak bersalah dalam hal ini. Siapa yang bicara tadi, haraplah perlihatkan diri..." Sebagai jawabannya kembali terdengar tawa berguman. Datuk Sipasan .sekilas lihat saja menghitung, ada tiga puluh buah suluh dan damar yang mengelilingi mereka. Kalau satu suluh satu orang, maka berarti ada 30 orang yang mengelihngi mereka. Tapi dia yakin, jumlah itu jauh lebih banyak. Suatu pertarungan dalam hutan dalam situasi begini, adalah bunuh diri bagi rombongannya, Karena itu dia berusaha untuk mengulur waktu. Kalau mungkin berembuk.
"Kau katakan tak bersalah setelah membunuh keempat anak buahku? Hmm... enaknya. Tapi kenapa kalian harus melarikan diri begini kalau mengaku tak bersalah?"

Datuk Sipasan segera menangkap sesuatu dalam ucapan lelaki yang tertawa itu. Lelaki itu ,sudah dua kali berkata tentang "anak buahku". Itu berarti lelaki ini pastilah si Pandeka Sangek. Jadi bukan si Gampo Bumi. Tapi tak ada bedanya. Gampo Bumi atau Pandeka Sangek, mereka pastilah menghendaki satu hal: kematiannya dan kehormatan perempuan-perempuan mereka.
"Tangkap mereka semua!" Tiba-tiba terdengar suara perintah bergema. Lebih dari dua puluh lelaki yang memakai keris dan golok di tangan muncul dari balik suluh. Ketujuh laki-laki dari Pariaman itu. serentak membuat lingkaran. Menempatkan perempuan dan anak-anak di bahagian tengah. Dan mereka semua mencabut keris. Nampaknya mereka tak berniat sedikitpun untuk menyerah begitu saja.

Tidak ada komentar: