Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Jumat, 20 Agustus 2010

Giring Giring Perak : Episode11 - Menetap di Silaiang

Rombongan itu bergerak mendaki pendakian Singgalang Kering. Merayap perlahan.
Kemudian berhenti di sebuah kampung kecil bernama Silaing.Di sini rombongan berdiam sepekan. Sipasan membagi-bagi rombongannya menjadi tiga bahagian besar.

Sepertiga yang dia pimpin sendiri tetap tinggal di Silaing sebagai Pos Komando. Sepertiga lagi dipimpin oleh seorang Penghulu, dia tugaskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pagaruyung.Sepertiga lagi yang dipimpin oleh adik Datuk ini,situgaskan ke Luhak Again untuk menemui Tuanku Nan Renceh.Ketiga bahagian rombongan ini, akan menetap di kampung-kampung yang telah ditetapkan itu sebagai penduduk setempat. Mereka harus mengerjakan pekerjaan apa saja. Bertani, berdagang atau bertukang.Di samping itu tugas utama mereka tetap mencari bantuan untuk membebaskan Pariaman dari Belanda. Dan tugas lain, yang juga amat penting adalah menanyakan pada setiap keluarga, kalau-kalau ada yang kehilangan seorang anak lelaki yang memakai giring-giring perak di kakinya sekitar 20 tahun yang lalu.
Mereka menetapkan, enam purnama setelah saat itu, semua sudah berkumpul di Silaing.
Mem-bawa segenap bala bantuan yang bisa dikumpulkan untuk menyerang Belanda. Tapi buat setiap berita tentang ditemukannya keluarga atau orang yang mengetahui tentang diri Si Giring-Giring Perak, harus melaporkan setiap saat ke tempat Datuk Sipasan di Silaing. Siti Nilam tinggal bersama keluarga Datuk Sipasan.
Si Giring-Giring Perak amat terharu atas bantuan rombongan Datuk itu untuk menolong men-carikan keluarganya. Dia sendiri berjanji untuk selalu datang kerumah Datuk itu untuk menanyakan kalau-kalau ada berita

***

Suatu hari Datuk Sipasan sedang kepasar. Menjual kayu api yang dia tebang dari belakang rumahnya. Empat orang lelaki mendatangi rumahnya yang baru saja dibangun secara darurat di pinggir kampung Silaing itu.Keernpat lelaki itu berpakaian silat. Tampang mereka kelihatan kurang bersahabat. Yang di rumah waktu itu hanyalah isteri Datuk Sipasan bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Siti Nilam saat itu tengah mengambil air pincuran.
Keempat lelaki itu nampaknya mengetahui kalau di rumah itu tak ada seorangpun lelaki.
Tanpa mengucapkan ba atau bu, mereka masuk rumah itu. Isteri Datuk Sipasan, yang bertubuh semampai dan cukup cantik, yang tengah menyuusukan anak di bilik jadi terperanjat tatkala dua orang lelaki tak dia kenal masuk ke biliknya. Dengan menjerit kecil dia menutup buah dadanya dengan tangan. Sementara anaknya tetap tak mau melepaskan ujung teteknya karena haus.

Kedua lelaki itu menjilati dada isteri Datuk Sipasan dengan tatapan mata yang nyalang.
Menatapi pinggulnya yang besar yang terbungkus dengan kain yang tak menentu letaknya.
Kemudian kedua lelaki itu mulai memeriksa rumah tersefeat.
Memeriksa di bawah kolong tempat tidur. Membalik bantal. Memeriksa dapur. Kemudian mereka saling berbisik.
Kedua lelaki tadi muncul lagi ke dalam bilik itu. Kembali matanya menjilat dada isteri Datuk itu yang tersimbah.

Dan isteri Datuk ini, yang sudah terbiasa meng-hadang mara bahaya, dan mengerti pula serba sedikit ilmu silat, tak bisa menahan berang hatinya. Dia meletakkan anaknya. .Kemudian membetulkan kain di pinggangnya. Semua tindakannya ini diperhatikan dengan tatapan bernafsu oleh kedua -lelaki yang masih saja tegak di pintu biliknya.

"Maaf sanak, siapa sanak sebenarnya. Datang mencari apa. Dan mengapa keluar masuk bilik orang tanpa minta izin..." Istri Datuk ini berkata tegas. Tapi dia masih berusaha untuk tetap pada batas-batasnya. Karena betapapun juga dia mengerti, bahwa mereka orang baru di kampung ini. Sebagai orang rantau, dia harus banyak bersabar.
Kedua lelaki itu tak menjawab. Hanya tertawa berguman "Keluarlah sanak. Ini bilik orang.
Saya lihat sanak seorang pesilat. Sebagai seorang pesilat saya rasa sanak tentu mengetahui sopan santun" !?

Bicara isteri datuk ini terhenti tatkala yang seorang justru duduk di pembaringan. Isteri Datuk ? ini tahu gelagat. Bahaya tengah mengaacamnya. sb Dia ingin suaminya segera pulang dari menjual kayu .api. Kenapa suaminya lambat benar pulang? Atau dia ingin agar Siti Nilam juga hadir di sini.

Kalau dengan Siti Nilam, dia rasa dia sanggup melawan kedua lelaki ini. Atau dia juga berdoa ,dalam keadaan seperti itu agar Si Giring-Giring Perak muncul. Ya, ke mana anak muda itu dalam litiga hari ini? Kenapa ia tak muncul-muncul? Sebelum isteri Datuk Sipasan sempat berbuat apa-apa, tamunya yang kurang ajar yang tegak tersandar di pintu terdengar bersuara."Kalian dari mana, akan ke mana dan apa maksud serta tujuan.." Suaranya terdengar serak. Dan osteri Datuk itu segera menangkap bau tuak keluar dari mulut lelaki itu ketika bicara. Dia jadi tambah jeri. kedua lelaki ini nampaknya baru saja minum. Akan tetapi dia berusaha untuk tetap tenang.
"Kami datang dari Pariaman..."
"Oo... kiranya kalian datang dari tanah jajahan nangkabau..." Isteri Datuk itu mengerenyitkan lening.

Kata-kata "Pariaman jajahan Minangkabau" sudah cukup lama dia dengar. Di Pariaman hal itu pernah dia dengar dari mulut kemulut. Ucapan itu menggambarkan, bahwa Pariaman dan Padang serta Pesisir Selatan, sebenarnya bukanlah tanah Minangkabau, tapi dianggap sebagai
semacam tanah "jajahan".

Ucapan ini amat menyinggung perasaan orang Pariaman. Padahal mereka nyata-nyata berasal dari Luhak Agam dan Luhak Tanah Datar. Yang datang ke Pariaman lewat masa peralihan ratusan tahun. Berpindah dari Banuhampu ke Koto Gedang, terus ke Balingka ke Malalak, kemudian turun ke sebelah gunung Singgalang. Ke Tiku, ke Sungai Limau dan Pariaman.
Atau yang datang dari Luhak Tanah Datar, menyeberang Danau Singkarak, ke Kayu Tanam, terus ke Pasar Usang, Duku dan Padang.

Sedikit sekali yang mengetahui, bahwa kata-kata ini sebenarnya "diciptakan" buat pertama kalinya oleh Kolonel de Craft Seorang Belanda yang bermarkas di Padang. Yang ingin mengadu domba anak suku Minangkabau. Sebab tanpa mengadu domba begitu, mereka susah, memecah persatuan Minang yang amat kuat. Dan siasat adu dombanya ini ternyata amat berhasil ketika itu.
Memang terjadi pertentangan yang tajam antara orang "Darat" dengan orang "Pesisir". Orang darat merasa. dirinya adalah orang Minang Asli. Dan menganggap orang Pesisir sebagai orang "lain".

Untunglah isteri Datuk Sipasan sudah arif tentang hal ini. Dia mendengar penjelasan bahwa ucapan itu adalah adu domba penjajah. Kini, ketika lelaki di biliknya itu mengucapkan kata-kata itu. ia hanya memandang dengan diam. Kemudian dia berkata dengan nada ketus :

"Keluarlah dari bilik ini...."
"Kami tak bisa diperintah orang upik. Ini negeri kami. Engkau dan lakimulah yang datang kemari. Mendirikan rumah di sini tanpa meminta izin kepada kami..."

Kembali isteri Datuk ini mengerutkan kening.
Lelaki-lelaki ini nampaknya memang ingin mencari seteru. Dia memangku anaknya yang tidur. Kemudian berjalan ke pintu. Tapi di pintu lelaki yang tegak bersandar tetap menghadang. Tak beranjak setapakpun. Isteri datuk ini hilang sabarnya. Dia menerjang lelaki itu.
Silelaki dengan tersenyum menangkap kakinya yang menendang itu dan berniat mengelus betisnya. Namun dia salah duga. Isteri Datuk ini sudah punya "bekal" yang lumayan. Begitu tangan silela-berusaha mencakau kakinya, begitu kakinya dia tarik segera, dan kini kakinya itu justru menyapu kaki lelaki tersebut.
Perobahan gerak yang begitu cepat, memang luar perhitungan silelaki di pintu. Kaki kirinya kena disapu. Dan meski tubuhnya tak langsung jatuh, tapi keseimbangan tubuhnya jadi lenyap. Saat itu tendangan berikutnya menyusul. Dan tubuh lelaki itu terguling ke ruang tengah!!
Sebelum yang duduk di pembaringan sadar apa ang terjadi, isteri Datuk itu melompat sambil Map memangku anaknya ke ruang tengah. Kemudian dalam sekali loncatan panjang dia sudah ber ada di halaman.
Saat itu pula Siti Nilam datang menyandang perian di bahunya. Dia terkejut melihat isteri Datuk Sipasan itu melompat sambil memangku anak. Rasa kejutnya bertambah ketika dari dalam rumah muncul empat lelaki.

Rumah mereka terletak di pinggir kampung Silaing. Di belakang rumah hanya ada hutan.
Rumah penduduk yang terdekat terletak jauh dari situ. Jadi kalaupun mereka berteriak, maka hal itu takkan banyak menolong. Teriakan mereka takkan ada yang mendengar.

Keempat lelaki yang baru turun itu tertegun melihat kehadiran Siti Nilam. Mereka berbisik sesamanya. Siti Nilam masih menyandang perian berisi air di bahunya.

"Hemm. Tak kusangka perempuan Pariaman cantik-cantik seperti kalian..."
Lelaki yang tadi duduk di pembaringan ber-gumam. Matanya menyambar ke tubuh kedua perempuan itu.
"Sanak, kami datang kemari untuk mencari dunsanak. Kami tinggal dan mendirikan rumah di sini telah seizin wali dan kepala suku di Silaing ini. Kami tak mengerti apa yang sanak cari di rumah kami..."
Isteri Datuk Sipasan berkata tegas. Sementara dia masih memangku anaknya yang berusia 6 bulan.Anaknya yang seorang lagi yang berumur 2 tahun tegak dekat Siti Nilam diam-diam.Keempat lelaki itu saling bisik lagi. Kini lelaki yang tadi kena tendang isteri Datuk yang maju selangkah.

"Kalian orang baru di sini, dan sebagai orang baru, kalian harus tahu peraturan. Yang berkuasa di nagari ini bukan Walinegari. Yang berkuasa sini adalah Pendeka Sangek. Dia yang berkuasa dinagari Silaing, Gunung Malintang, Kabun Sikolos, Tanah Hitam, Bukik Tui sampai ke Bukik Surungan. Adapun Walinagari Silaing, adalah kcepala kampung yang diangkat Pandeka Sangek. Kami bersedia untuk tidak menyampaikan kedatangan kalian ini pada Pandeka, asal kalian bersedia mememenuhi satu sarat..." Isteri Datuk Sipasan sebenarnya tak mengerti kemana ujung cakap orang ini. Dia tak tahu siapa Pandeka Sangek dan di mana tumpaknya. Tapi yang jelas, kalau benar dia berkuasa dari kampung ampung yang baru disebutkan tadi, maka itu berarti Pandeka itu adalah penguasa dari sebuah nagari yang luas yang kelak disebut orang sebagai Padangpanjang. Meski tak tahu dan tak mengerti, isteri Datuk itu ingin juga mengetahui apa "syarat" yangd ikehendaki keempat lelaki itu agar mereka bisa ian tinggal di sana.
Apa syaratnya....??" Ah, masak uniang tak tahu..." Kami orang baru di sini. Kami tak tahu a syarat yang kalian maksudkan..." "Ah, masak tak tahu. Biasanya kami meminta tiga malam berturut-turut. Tapi bagi uniang ber-dua cukup sekali ini saja..." Isteri Datuk itu mengerutkan kening. Sementara Siti Nilam diam saja sejak tadi. Tapi dia menangkap bahaya kurang ajar pada cara lelaki itu menatap diri mereka. "Berterus teranglah. Kalau duit, kami akan berikan sekedarnya. -Kalau ternak, kami hanya ada empat ekor kerbau pedati..." , '"Kami tak perlu duit. Kami juga tak perlu kerbau. Kalau uniang setuju sekarang saja. Ayo ke bilik. Kami ada berempat, uning tak usah melayani kami keempatnya. Cukup satu orang melayani dua di antara kami... . Saya lebih senang dengan uniang, uniang sudah berpengalaman... he... he..." Tubuh isteri Datuk itu menggigil saking berang nya. Sementara Siti Nilam ingin muntah mendengar ucapan kotor itu. Hampir serempak mereka meludah. Dan keempat lelaki itu tertawa bergumam. Selera mereka benar-benar menjejeh melihat kedua perempuan cantik dari Pariaman itu. Mereka mulai beraksi. Pertama mereka mengepung kedua perempuan itu dengan tegak di empat sudut, di mana kedua perempuan tersebut berada di titik tengah.
Isteri Datuk Sipasan tetap saja tegak dengan tenang. Sementara Nilam tegak membelakanginya engan demikian, masing-masing mereka kini lehghadapi dua lelaki. Isteri Datuk Sipasan masih tetap menggendong anaknya yang berusia enam lulan itu. Sementara Siti Nilam masih menyandang perian penuh berisi air. Di belakang mereka, tegak anak perempuan Datuk Sipasan yang berumur 2 tahun. Mereka semua, termasuk anak perempuan yang berusia dua tahun itu, tegak dengan perasaan be rang menatap keempat lelaki tersebut. Tak terbayang sedikitpun rasa kecut di wajah mereka. Bagi kedua perempuan itu menghadapi bahaya bukan hal yang aneh lagi. Selama di Pariaman mereka sudah terbiasa melawan kekerasan. Semula kekerasan datang dari Inggris Kemudian dari sesama orang Minang yang tidak menganut agama Islam. Lalu terakhir mereka terpaksa berperang melawan bangsa Belanda yang datang ke Pariaman atas permintaan orang Minang yang benci melihat Islam masuk ke Pariaman tewat pedagang pedagang Aceh. Pertempuran bagi lereka hal yang lumrah. Itulah sebabnya kini lereka tak merasa gentar menghadapi keempat lelaki ini. Sebaliknya sikap menantang tak kenal takut begitu, menambah selera keempat lelaki tersebut.
'Hm... memang benar kata orang. Perempuan-srempuan Pariaman bukan hanya cantik, tapi iga berdarah panas dan ganas. Ganasnya akan lebih nyata bila di tempat tidur...he...he..."

Salah seorang berkata sambil memilin sungut.
"Kami mengira semua penduduk negeri ini lelaki terhormat. Karena Luhak Tanah Datar ini adalah Luhak di mana Raja-raja Monang dila-hirkan. Tapi hari ini ternyata dugaan kami meleset. Hari ini kami menemui empat orang jahannam.." Isteri Datuk Sipasan mendesis.
Keempat lelaki itu tak tersinggung sedikitpun. Mereka mulai berjalan berputar. Putarannya makin lama makin merapat. Dan suatu saat yang seorang maju menyergap isteri Datuk itu. Kedua tangan isteri Datuk itu masih tetap memegangi anaknya. Tapi kakinya dia tendangkan menyambut terkaman silelaki.

Tidak ada komentar: