Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Jumat, 20 Agustus 2010

Giring Giring Perak : Episode3 - Gampo bumi

Datuk Sipasan arif, nyawanya sudah tak tertolong lagi. Begitu kerisnya tercampak dan lengan nya patah kena tendang lelakitangguh itu dia berkata :

"Sungguh luar biasa. Patutlah tak seorangpun yang selamat melalui Bukit ini. Apakah saya sedang berhadapan dengan Harimau Tambun Tulang yang tersohor itu?"

Lelaki tangguh di depannya itu tak menyahut. Hanya tawanya terdengar bergema. Suara tawanya keluar dari hidung. Tawa yang mencemeeh.

"Jangan kau bawa-bawa nama guruku. Untuk menghadapi beruk seperti kalian, guru tak perlu turun tangan. Cukup dengan kami saja!"

Alangkah terkejutnya Datuk Sipasan. Dia yang demikian ilmu silatnya, sudah jarang tandingannya di Pariaman. Sudah masuk hitungan Guru Silat yang disegani lawan dan kawan.

Kini, berhadapan dengan lelaki ini saja dia tak dapat berkutik sedikitpun. Dia seperti kanak-kanak saja. Dan ternyata lelaki tangguh itu bukan orang yang bernama Harimau Tambun Tulang. Bukan lelaki yang dita-kuti dan tersohor kepandaiannya sebagai pemimpin Penyamun di Bukit ini. Yang dia hadapi hanyalah murid lelaki itu. Murid Harimau Tambun Tulang.Kalau muridnya saja sudah demikian tangguhnya bayangkan betapa tingginya kepandaian, Harimau Tambun Tulang itu! Dan hari ini, ternyata dugaan pertamalah yang benar. Yaitu: Datuk Sipasan menemui masa akhirnya.

"Sudahi nyawanya!" Lelaki itu berkata pada seorang lelaki besar di sisinya. Lelaki itu mengambil tombak. Si pimpinan penyamun itu berseru."Hentikan perkelahian!. Kalian beruk-beruk yang datang dari Pariaman, menyerahlah.Lihat pimpinan kalian ini saya sudahi nyawanya!"Suaranya yang menggelegar itu memang me-nyebabkan perkelahian yang sedang berlangsung jadi terhenti.

Rombongan Datuk Sipasan yang masih berkelahi sebanyak delapan orang menghentikan perkelahiannya. Mereka melihat kedepan.Dan di depan sana, Datuk Sipasan dengan tangan terkulai nampak tegak dengan kaki terbuka. Di depannya, dalam jarak lima depa, berdiri lelaki yang tadi mengalahkannya. Dan di samping lelaki itu berdiri lelaki lain yang memegang tombak.Datuk Sipasan tahu, nyawanya tak tertolong. Namun dia tak mau mati sebagai pengecut. Dia tegak dengan dada busung dan pandangan menatap lurus pada pimpinan penyamun itu. Kalaupun tombak itu datang menghunjam dadanya, dia ingjn menerimanya tanpa mengeluh. Tanpa berkedip!

Pimpinan penyamun Bukit Tambun Tulang itu memberi tanda. Lelaki di sampingnya mengangkat tombak.Namun gerakannya terhenti tatkala terdengar suara perlahan.

"Hmm.... alangkah aniayanya. Merampok harta, menyamun nyawa, menistai wanita....".Suara ini perlahan saja. Tapi bergema di kaki bukit itu. Semua orang menoleh. Dan semua orang yang tertegak tegang itu melihat bahwa di depan sana, di mana pimpinan penyamun itu mula-mula tegak tadi: di atas sebuah batu yang ketinggian, duduk seorang lelaki.Pimpinan penyamun itu sendiri hampir tak mempercayai matanya. Dia perhatikan lelaki yang duduk di batu itu. Lelaki itu menunduk dan menyamping pada pereka.

"Hei beruk, waang yang bicara sebentar ini?" Pimpinan penyamun itu membentak.

Kembali terdengar suara tawa perlahan, Lelaki itu menoleh. Dan semua orang melihat, yang duduk itu adalah seorang anak muda. Barangkali baru berumur 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Berbaju putih bercelana putih. Ikat kepalanya juga putih. Hanya sebentar anak muda itu menoleh, kemudian dia menunduk lagi.

Dan kembali terdengar suaranya perlahan:"Beruk memang tinggal di hutan. Saya dengar, di bukit ini memang banyak beruk tinggal. Hanya yang saya tak tahu selama ini adalah beruk yang berjenggot, berkumis dan pandai bicara...."

Bukan main berangnya pimpinan penyamun itu. Dan dia tahu, dialah yang dikatakan anak muda itu beruk!.Mulut lelaki besar ini bergerak seperti akan memaki, menyumpah. Namun tak satupun ucapan-nya yang keluar. Hanya bibirnya saja yang komat kamit tak menentu.
Dan saat itu, di antara tawanya yang bergumam lemah, terdengar lagi suara anak muda yang berpakaian serba putih itu."Hehh, lihatlah lawaknya monyet itu. Mulut nya bergerak seperti manusia. Tapi dia tak bisa bicara... heh...he..." ,Mata lelaki besar itu jadi mendelik.

"Cincang dia!" desisnya pada lelaki yang tadi siap menghantam Datuk Sipasan dengan tombak-nya. Lelaki itu mengerti, dan dia segera membidik anak muda di atas batu itu dengan tombaknya. Jarak antara mereka sekitar sepuluh tombak. Dalam jarak begitu, bagi pelempar tombak yang lihai sasaran menjadi empuk sekali. Apalagi anakmu da tersebut duduk di sebuah batu yang ketinggian.

Anak muda itu bukannya tak tahu bahwa dia bakal jadi sasaran tombak. Namun dengan bibir yang masih tetap tersenyum lemah, dia menunduk. Duduknya tetap menyamping pada semua orang yang baru saja berhenti bertempur itu. Lambat-lambat tangannya meraba pinggang. Dan saat itu tombak di tangan penyamun di bawah sana lepas dan melesat dalam kecepatan kilat ke arahnya.

Anak muda itu tak menoleh sedikitpun. Di tangannya yang tadi bergerak kepinggang kini terpegang sebuah Bansi. Yaitu semacam suling , dari bambu. Ketika tombak itu mendesis ke tempatnya, dia melekatkan bansi tersebut ke bibir. Letika lengkingan bansi itu bergema, saat itu pula tombak tadi berkelebat tak samai sejari di bela-kangnya.

Meleset!Penyamun yang melemparkan tombak itu terheran-heran. Lemparannya tak pernah luput. Tapi kali ini kenapa anak muda itu tak kena? Suara bansi yang ditiup anak muda itu terdengar bergema perlahan. Bukan main! Dia seperti tak acuh akan nyawanya!
Penyamun tadi merampas tombak sebuah lagi dari temannya. Kemudian kembali melemparkan-nya dengan bidikan yang cermat. Namun semua penyamun yang belasan orang jumlahnya itu kembali ternganga. Tombak itu lewat dalam kecepatan kilat dua jari dari tengkuk anak muda itu. Dia sendiri tak bergerak sedikitpun. Kepalanya masih tunduk dan suara bansinya mendayu lembut dan lemah.

"Sikat dia!" Suara pimpinan penyamun itu mengguntur. Enam orang pemegang tombak segera berlarian ke depan. Dan dalam jarak lima depa dari anak muda itu mereka tegak berbaris. Datuk Sipasan yang sejak tadi tertegak heran menyaksikan kejadian itu, kali ini tak sampai hati melihat anak muda itu jadi tusukan tombak.

"Larilah anak muda!!" Serunya. Namun anak muda itu tak bergerak. Dia tetap meniup bansinya perlahan. Tak menoleh sedikitpun ke samping, di mana penyamun-penyamun itu siap melempar kan tombaknya. Dan suara tombak itu bersuitan.Namun kali ini semua mereka yang ada di bukit Tambun Tulang itu pada ternganga. Tombak-tombak itu tak satupun yang menyentuh kulit anak muda tersebut. Tak satupun! Keenam tombak itu melenceng ke kiri, ke kanan atau ke atas kepalanya. Kemudian perlahan menoleh pada mereka.

Tatapan matanya lembut. Dia lebih mirip seorang seniman. Tubuhnya semampai dengan kulit halus. Rambutnya yang berombak tergerai sedikit di atas bahu meskipun kepalanya diikat selembar kain putih seperti selendang. Saat itu pimpinan penyamun yang tadi tegak di atas batu di mana dia kini tegak, maju meraih dua batang tombak dari anak buahnya. Dia melangkah empat depa ke depan. Kemudian dengan suara parau bicara :"Kau boleh berlagak di rumahmu buyung. Tapi di depanku, di depan Gampo Bumi, kau jangan banyak lagak...."Begitu ucapannya habis, begitu orang yang memperkenalkan dirinya sebagai Gampo Bumi ini melemparkan kedua tombak di tangannya sekaligus pada anak muda itu.Lemparannya menimbulkan suara mendengung saking kuat dan cepatnya.

Siapapun yang hadir di sana maklum, bahwa dengung suara tombak yang melaju itu disebabkan tenaga dalam Gampo Bumi yang luar biasa. Tombak itu tak kelihatan saking cepatnya.Namun kembali terjadi keajaiban. Anak muda itu menggerakkan tangan kanannya yang memegang bansi yang panjangnya lebih sejengkal itu.

Pletak...!! Trak...! Kedua tombak yang melesat laju itu dia hantam dengan bansinya. Dan dua tombak itu patah empat! Kemudian hal yang luar biasa ialah keempat potong patahan tombak itu melesat lagi ke arah tuannya dengan kecepatan dua kali lipat!Terdengar seruan kaget penyamun-penyamun itu, termasuk Gampo Bumi meloncat empat depa ke belakang. Hampir saja dia kalah cepat. Peluh dingin membersit di keningnya. Dengan ragu dia menatap pada anak muda yang masih duduk dengan tenang di batu sana.Anak muda tersebut tegak perlahan.

Tubuhnya yang semampai kelihatan kurang meyakinkan atas hal yang baru saja terjadi. Apakah itu memang karena ilmunya yang tinggi atau hanya suatu kebetulan? Anak muda itersebut melangkah di atas batu besar itu. Dia melangkah empat langkah ke depan. Dan semua orang jadi tambah heran, pada saat dia melangkah, terdengar suara giring-giring berbunyi. Semua mata kini menoleh ke kakinya. Namun tak seorangpun yang bicara, anak muda itu angkat suara:

"Adakah di antara kalian yang pernah mengenal atau merasa memiliki giring-giring yang saya pakai ini?" Suaranya bergema perlahan dihutan dalam bukit itu. Tak ada yang menyahut. Dia menanti beberapa saat. Wajahnya kelihatan kecewa ketika tak seorangpun yang menyahut.

"Adakah di antara kalian yang pernah mendengar bahwa ada anak lelaki yang lenyap dengan giring-giring di kaki kanannya?" Datuk Sipasan dapat menangkap nada haru dalam ucapan anak muda ini. Tapi kembali tak seorang pun yang menjawab.

"Tak seorangpun yarg tahu...." desah anak muda itu. Kepalanya tunduk. Tangannya bergerak kembali ke pinggang, menyimpan bansinya. Dan dia melangkah turun ke sebalik sana. Ketika dia hampir lenyap dari pandangan, Datuk Sipasan berseru.

"Anak muda tunggu dulu....!" Anak muda itu berhenti."Apakah bapak mengenal giring-giring ini?" tanyanya penuh harap.Datuk Sipasan menggeleng, dia memanggil anak muda itu hanya dengan harapan agar bisa menolong melepaskan rombongannya dari kekejaman penyamun bukit Tambun Tulang ini.

"Tidak...." katanya perlahan.Anak muda itu melanjutkan langkahnya lagi. Kepalanya lenyap di balik batu sana.Datuk Sipasan tahu, bantuan dari orang lain tak mungkin dia harapkan. Kini dia punya kesempatan lagi untuk melawan. Meskipun tangan kanannya patah, tapi dengan cepat dia merampas sebuah kelewang dari tangan penyamun di dekatnya. Kemudian dengan kelewang itu juga dia menyabet leher penyamun itu. Terdengar pekik kesakitan, dan penyamun yang tak menyangka diserang itu melosoh turun tanpa nyawa.Bukan main berangnya Gampo Bumi melihat hal itu.

"Beruk haram jadah! Kucincang tubuh waang!" bentaknya. Dan dengan sengit ia menerjang maju Rombongan Datuk Sipasan melihat perlawanannya itu kembali timbul semangat. Meskipun sudah hampir separoh dari rombongan mereka yang mati, tapi kini mereka membalas lagi menyerang. Perkelahian kembali berkobar.Gampo Bumi menerjang Datuk Sipasan, dengan tangan kosong. Terjangan pertama dikibas dengan kelewang oleh Datuk itu. Tapi Gampo Bumi memang bukan lawannya. Begitu pedangnya bergerak untuk menghantam kaki Gampo Bumi, kaki itu ditarik amat cepat. Saat berikutnya kaki kirinya melayang amat tepat. Dan tak ampun, perut Datuk Sipasan kena hantam. Datuk itu tercampak empat depa. Dia muntah darah. Dari barisan belakang terdengar pekik orang meregang nyawa. Salah seorang anggota rombongan Datuk itu mati dihunjam tombak didadanya.Gampo Bumi mengambil tombak dari anak buahnya.

"Waang harus berkubur di sini beruk!" serunya sambil melemparkan tombak itu pada Datuk Sipasan yang jatuh berlutut sambil muntah darah. Namun saat itu dari batu tadi kembali tedengar bentakkan:"Berhenti!" Suara itu demikian berwibawanya. Menyebabkan semua orang yang tengah berkelahi itu pada terhenti dan tertegak di tempatnya. Tidak hanya itu, orang itu mengibaskan tangannya. Dan sebuah ranting melayang cepat menyusul tombak yang tengah meluncur ke arah dada Datuk Sipasan. Sejengkal lagi tombak itu menembus dadanya, tiba-tiba ranting tersebut memapahnya di perjalanan.

Tombak itu patah dua, dan mental ke dalam semak!

Bersambung

Tidak ada komentar: