Datuk Sipasan memasukkan pisang yang dia beli untuk anaknya ke dalam kambut. Kemudian menawar paniaram. Dia ingat isterinya. Isterinya sangat menyukai paniaram. Dan di pasar Tanah Sikolos ini, paniaram banyak sekali dijual orang. Namun tiba-tiba jantungnya rasa berdebar kencang. Telinganya jadi panas.
"Jadi membeli paniaram ini engku?"
Datuk itu terkejut mendengar pertanyaan perempuan yang menjual paniaram itu.
"Ya... eh maaf. Tidak jadi..."
Berkata begini, dia lalu bergegas. Aneh, hatinya jadi tak sedap. Dia teringat pada isterinya yang tinggal sendiri di rumah. Ada apa? Sebagai seorang guru silat, dan sebagai seorang pemeluk agama Islam yang mempercayai Tarikat, dia percaya pada isyarat-isyarat batin, Dia yakin, firasatnya tentang isterinya me-nunjukkan ada hal-hal yang menyeramkan yang tengah menimpa isterinya.
Dengan fikiran begini. Datuk itu berjalan cepat-cepat menuju ke Silaing di mana rumahnya berada. Makin lama hatinya makin tak sedap. Dan makin lama jalannya makin cepat. Makin cepat.Dan akhirnya dia berlari melompati petak petak sawah, Menempuh jalan memintas agar lebih cepat sampai kerumahnya.
Orang-orang yang tengah bekerja di sawah jadi terheran-heran melihat lelaki itu berlarian seperti dikejar setan. Tak ada yang menduga, bahwa lelaki itu sebenarnya bukan sedang dikejar setan. Melainkan tengah mengejar setan yang sedang melaknati tubuh isterinya!!
Dia seperti mendengar jerit anaknya. Jerit isterinya. Kambut yang dia bawa, yang berisi pisang, cabe dan minyak yang dia beli di pasar Sikolos tadi, tercampak entah di mana dalam lari-nya menuju rumah. Ketika atap rumah sudah kelihatan, dia terhenti. Sayup-sayup, dia mendengar suara tangis anaknya! Lelaki ini menyerahkan semua kepandaian yang pernah dia pelajari. Yaitu kepandaian meringankan tubuh ketika berlari. Makin dekat, makin kuat debar hatinya. Makin kencang aliran darah-nya. Dalam loncatan yang terakhir dia melihat anaknya tergolek di halaman, melihat gadis kecilnya yang berusia dua tahun duduk bersila di tanah. Berusaha mendiamkan adiknya yang tertelungkup dan menangis pilu. Gadis kecilnya itu juga me-nangis. Dalam tangisnya, terdengar suara kanak-kanak-nya yang belum sempurna menyebut huruf, berusaha mendiamkan adiknya:
"Diamlah dik. Diamlah... sebentar lagi ayah pulang. Ayah akan memukul orang yang menyakiti ibu... diamlah diiik...!"
Dan saat itu Datuk Sipasan mengakhiri loncatannya di halaman tersebut. Selain anaknya, dia juga melihat ada kain panjang dihalaman itu.
Kain panjang!
Seingatnya, kain itu milik Siti Nilam. Dan selain kain panjang, juga ada perian yang di sekitarnya terserak air. Pastilah gadis itu baru dari tepian mengambil air seperti biasa. Dan air yang masih mengalir dari dalam perian itu, Datuk ini mengetahui, peristiwa itu baru saja terjadi. Pasti baru saja!
Perian itu mungkirr belum sampai dua puluh bi-langan jari tergeletak di sana. Kalau isterinya dan Siti Nilam dibawa lari orang, maka jarak-nya pasti belum sampai lima puluh langkah dari rumahnya, Dia memandang keliling, tak ada yang mencurigakan, Hanya ada dua tubuh lelaki yang telah jadi mayat.
Dan tiba-tiba telinganya yang tajam menang-kap bunyi nafas memburu. Menangkap bunyi desah dan dengus nafas dari atas rumahnya!! Sekali loncat dia menerjang pintu rumah yang terletak di anak tangga keempat. Dengan menimbulkan suara bergedubrak keras, pintu terpelanting ke dalam. Menghantam kepala lelaki yang tengah menciumi dada Siti Nilam!
Kedua lelaki itu, yang tengah meremasi dan menciumi seganap tubuh kedua perempuan itu jadi terkejut separoh mati. Sepintas, Datuk Sipasan melihat betapa tubuh isterinya dan tubuh Siti Nilam sudah tak berkain secabikpun. Sementara kedua lelaki itu hanya tinggal celana kotoknya saja!
"Setan!" Datuk Sipasan berteriak di tengah gigilan tubuhnya karena berang. Lelaki yang tadi kepalanya kena hantam daun pintu yang berada di tubuh Nilam, tengah berusaha untuk tegak ketika tangan Datuk itu bergerak menghantam kepalanya. Dia menangkis. Tapi tangannya ditangkap Datuk itu. Begitu tertangkap, begitu kukunya yang beracun dia tekankan sekuat tenaga. Kemu-dian dalam suatu sentakan tubuh lelaki itu dia putar dan dia hempaskan ke lantai. Tubuh lelaki itu berkelojotan sebentar, lalu dari mulutnya keluar buih hitam. Tubuhnya berobah pula jadi hitam. Dan dia mati diserang bisa sipasan yang amat tangguh yang merupakan senjata simpanan Datuk itu.
Tetapi saat itu lelaki yang satu lagi, menghantam Datuk Sipasan. Tubuh Datuk ini tersinjaja ke dinding kena hantaman itu. Punggungnya terasa linu. Dia berbalik segera, dan kini dia berhadapan dengan lelaki yang tadi menggeluti tubuh isterinya! Lelaki itu kini memegang keris. Datuk Sipasan memajukan kaki kanan selangkah. Kemudian dia tegak dengan kuda-kuda yang kukuh menghadapi lelaki itu.
"Kau yang bernama Datuk Sipasan yang dari Piaman?" Lelaki berkeris itu bertanya. Datuk Sipasan tak menjawab. Amarahnya membuat dia menjadi muak dan benci separoh mati kepada lelaki yang hampir saja menodai isterinya itu.
Hampir saja. Kalau dia terlambat datang barang semenit lagi, mungkin isterinya dan Siti Nilam telah dinodai kedua lelaki ini. O, alangkah ter-kutuknya. Dan mengingat ini Datuk tersebut membuka serangan. Dia mengirimkan tendangan dengan kaki kanan yang di depan. Tendangan ini tendangan pancingan dalam jurus Rantai Nan Empat. Yaitu jurus yahg mengandalkan kombinasi empat tendangan. Satu tendangan sapuan sambil menunduk rendah dengan kaki kiri berputar ke bawah menyapu kaki lawan, kemudian serangan kedua menghantam pangkal telinga lawan dengan punggung kaki sambil melompat, begitu kaki mencecah tanah, lalu berputar dan menghantamkan tumit ke pusat lawan. Dan serangan terakhir adalah serangan meloncat menghunjamkan kedua tumit ke tubuh lawan. Serangan terakhir ini tak memilih posisi lawan. Jika lawan tengah terbaring karena serangan terdahulu, maka hentakkan kedua kaki ini bisa ber-bentuk hantaman sambil melompat tinggi, dan menghunjam ke bawah. Kalau lawan masih tegak, maka hantaman kaki itu menuju dadanya sambil melayang cepat. Serangan beruntun dalam bentuk jurus Rantai Nan Empat ini amat ditakuti di daerah Padang dan Pariaman. Suatu ilmu silat yang menjadi andalan pesilat pesilat di daerah Sungai Limau, Sungai Rotan, Sungai Geringging dan Toboh. Suatu daerah yang terpisah di Pariaman, tetapi mempunyai induk silat yang satu. Yaitu Silat Rotan Tuo di Sungai Rotan.
Lawan Datuk ini nampaknya cukup berisi. Dia tahu tendangan dengan kaki kanan itu adalah tendangan tipuan. Datuk Sipasan meneruskan serangannya dengan jurus pertama.
Dia berputar sambil mencecahkan tangan ke tanah. Lalu kaki kirinya menyapu ke belakang, ke arah kaki lawan. Lawannya cukup kaget melihat serangan yang ligat seperti gasing itu. Namun lelaki itu sempat mundur dua langkah. Dia terlu-put dari serangan. Tapi Datuk Sipasan memburu dengan serangan jurus dua. Begitu kaki kirinya tak mengenai sasaran, sebelum lawan sempat membuka serangan, Datuk ini melompat setinggi kepala, kemudian ,kaki kanannya menendang setengah putaran ke arah pangkal telinga lelaki itu.
Lelaki tersebut terkesiap kaget. Dia menunduk. Tendangan itu berdesing lewat tak sampai dua jari di atas kepalanya. Jurus kedua berakhir. Lelaki itu berniat membuka serangan, tapi Datuk Sipasan yang telah memijak lantai, tiba-tiba menunduk dan berbalik. Lalu kaki kanannya dengan kecepatan kuat dan ligat, meluncur seperti peluru ke belakang. Daerah sasarannya adalah kerampang. Ketiga serangan ini benar-benar berbahaya. Jurus ketiga ini adalah cuek beleng yang umum terdapat dalam dunia persilatan di Minangkabau. Tapi karena, dilakukan oleh seorang guru silat yang tangguh, maka tendangan itu bukan main berbahaya nya.
Silelaki yang berniat membuka serangan terpaksa surut lagi dua langkah. Hampir saja dia terlambat. Kalau serangan itu mengenai kerampang-nya, maka dia pasti berada di Yaumil Akhir dengan gelandut yang pecah. Kembali lelaki itu luput dari serangan. Dan kini jurus keempat! Jurus terakhir! Begitu cuek belakangnya luput dari sasaran, Datuk Sipasan berputar cepat dan melambung tinggi serta menghunjamkan kedua kakinya ke arah dada lelaki berkeris dan bercelana kotok itu. Inilah jurus terakhir dari jurus Rantai Nan Empat itu! Orang yang dia lawan itu ternyata luar biasa. Buktinya dia sanggup lepas dari tiga serangan terdahulu. Sementara di Pariaman. orang jarang yang luput dari serangan jurus pertama. Bukan karena jurus itu sulit, tapi karena dilakukan dengan cepat sekali setelah tendangan pancingan. Yang utama dalam serangan ini adalah kecepatan, kedua baru kekuatan. Kenapa kecepatan yang diutamakan? Karena keempat tendangan itu mengarah ke tempat yang amat berbahaya. Meski tanpa kekuatan sekalipun, artinya dengan tenaga biasan saja, maka serangan itu sudah cukup mema-tikan. Kini serangan jurus keempat dilakukan oleh Datuk ini dengan segenap kecepatan yang bisa dia lakukan. Dan serangan ini memang luar biasa ber-bahayanya. Sehingga lelaki lawannya itu meski sudah mundur tiga langkah, namun hunjaman kedua kaki Datuk itu masih memburunya. Dia sudah terkepere ke dinding, terjangan Datuk itu kini hanya sehasta dari dadanya. Tak ada jalan lain selain bergulingan ke lantai, dan melemparkan keris ke tubuh yang tengah memburunya itu. Itulah gerakan yang masih bisa dia lakukan. Keris dia lemparkan dengan kuat dan serentak dengan itu dia menjatuhkan diri ke lantai. Datuk Sipasan berusaha mengelakkan keris yang meng-hunjam ke arahnya itu. Namun karena dia berada dalam posisi melayang, keris itu menancap di perutnya. Tapi saat yang sama, kedua kakinya mendarat di dada si lelaki yang tengah berusaha menggulingkan diri di lantai dalam usaha mengelakkan dirinya. Lelaki itu memang sempat berguling tapi tak sempat menggelinding menghindari injakan Datuk Sipasan. Terdengar suara tulang dada remuk dan lelaki itu terlolong. Darah menyembur dari mulutnya tatkala kedua tumit Datuk itu menghujam ke dalam dadanya yang remuk. -Lelaki itu mati. Tetapi sebaliknya Datuk itu jatuh terguling. Tubuhnya tiba-tiba jadi lemah. Keris yang menancap di perutnya ternyata telah disepuh dengan sejenis racun yang berbisa. Tubuhnya terasa panas.
Matanya berkunang-kunang. Dari halaman dia dengar suara tangis anaknya. Sedepa dari dirinya, isterinya kelihatan masih menelentang dengan kaki terbuka tanpa pakaian selembarpun
Di dekat pintu, dalarn keadaan yang sama, tergolek tubuh Siti Nilam.
"Sampai ajalku di sini..." desis Datuk itu per-lahan. Dia berusaha memusatkan kosentrasi untuk menyalurkan tenaga dalam guna mengusir bisa yang menjalari darahnya. Namun dia tak berhasil.
Perkelahian yang melelahkan ini padahal terjadi tak sampai dalam waktu satu menit.
Memang tak sampai semenit. Dia hanya melakukan empat tendangan berantai yang cepat dalam jurus Rantai Nan Empat! Tapi, alangkah lamanya terasa.
Datuk Sipasan yakin, dia takkan mampu.menolong dirinya sendiri. Karenanya kini dia merangkak kearah tubuh isterinya. Jarak sedepa antara dia dan isterinya dia tempuh lebih dari dua menit. Dengan sisa tenaga, dia mengurut belakang telinga isterinya. Ketika isterinya mulai pulih jalan darahnya, Datuk itu tersungkur dengan tubuh berpeluh dan muka mulai menghijau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar