Sang Pengembara

Sang Pengembara
Hilfa Syafputra

Jumat, 20 Agustus 2010

Giring Giring Perak : Episode 21 - Pertarungan di tengah Malam

Dan ketika mata mereka masih berkilat-kilat karena perobahan dari terang ke gelap itu, ketika konsentrasi mereka belum bekerja penuh, saat itu pula belasan batang tombak meluncur ke arah mereka dari segala penjuru.

Bukan main berbahayanya serangan ini. Baik Si Giring-Giring Perak maupun Datuk sipasan dan teman-temannya tak mengetahui darimana datang nya serangan itu. Mata mereka tak melihat apa-apa. Dalam keadaan seperti itu, Si Giring-Giring Perak terpaksa mengeluarkan seluruh kepandaian-nya untuk menolong nyawa mereka. Dengan mempergunakan pendengarannya yang amat tajam, kemudian menggabungkan dengan ilmu meringankan tubuh yang tangguh, anak muda dari Gunung Talang ini melompat ke udara. Tangannya masih memegang selendang Siti Nilam. Di udara dia berjumpalitan dalam gelap. Dan tangannya bekerja cepat. Dia tak menangkap seluruh tombak itu dengan belitan selendangnya. Tapi dengan tenaga bathinnya yang tinggi dia mengibaskan selendang itu berputar di udara. Sungguh hebat! Seluruh tombak itu mencong arahnya terkena sambaran angin yang dikibaskan dari selendang di tangannya. Dan hanya dalam enam hitungan sejak dia melompat tadi, anak muda ini turun lagi di tanah. Persis di tempatnya semula. Dan itu pula semula suluh dihidupkan lagi secara serentak.
Sekilas saja, Pandeka Sangek mengerti bahwa serangan dengan tombak yang pertama tadi tak satupun yang mengenai lawan. Dia sempat mendengar suara desakan angin ketika anak muda itu melambung ke udara dalam gelap tadi, dan dia juga mendengar suara tombak yang terpukul arahnya oleh kibasan tenaga dalamnya itu. Kini dia mempergunakan taktik kedua.
Begitu suluh hidup, dan si Giring-Giring Perak serta teman-temannya tiba-tiba kembali merasa silau di sebabkan nyala suluh yang tiba-tiba itu, kembali beberapa tombak melayang. Tombak-tombang itu diarahkan pada rombongan Datuk Sipasan.

Sementara Pandeka Sangek sendiri menyerang anak muda itu dengan serangan pisau beracun. Lemparan pisau beracun-nya yang kecil-kecil, tak lebih dari sebesar keling-king, amat berbahaya.
Pisau itu selain amat tajam dan runcing, juga telah disepuh dengan bisa yang amat tangguh. Tak usah tertancap, goresan kecil saja yang dia timbul-kan pada salah satu bahagian kulit di tubuh manu-sia, sanggup merenggut nyawa. Dan anak muda itu amat arif akan hal ini.
Karenanya dia tak mau berlaku gegabah. Saat itu matanya masih dalam keadaan silau karena puluhan suluh yang dihidupkan tiba-tiba. Kini dia hanya mengandalkan pen-dengarannya yang amat tajam itu. Dia memejam-kan mata. Mendengar pisau-pisau kecil itu menggebu ke arahnya.

Lebih dari lima buah. Dan enam batang tombak melesat pula ke atari teman-teman di belakangnya. Kalau keadaan begini terus, yaitu jika mereka diserang terus-terusan dalam keadaan silau, di mana suluh tiba-tiba dihidupkan, kemudian dimatikan, dihidupkan lagi, dan seterusnya, dan mereka diserang dalam keadaan begitu, lama-lama pasti banyak korban yang jatuh. Karena itu, dia harus mencari akal untuk mengatasi taktik Pandeka Sangek ini. Dia yakin, di tiap suluh yang dihidup matikan itu, pasti ada seorang lelaki yang menjaga. Mereka
siap meniup suluh itu hingga padam jika diisyaratkan oleh pimpinan mereka. Dan siap pula menghidupkannya dengan catuih api begitu isyarat berupa suitan berbunyi.

Dia tak ingin suluh itu dimatikan. Karena kegelapan bisa membuat rombongan Datuk Sipasan jadi celaka. Karenanya untuk menolong dan meng-awasi mereka, suluh itu harus hidup terus. Dengan pikiran begini, Si Giring-Giring Perak lalu memu-satkan perhatiannya pada suluh-suluh itu. Jumlah suluh itu yang hidup kini hanya lima belas buah. Tegak mengelilingi mereka dalam jarak delapan depa.
Dia yakin, taman-temannya yang berada di belakang pasti mampu menghindarkan hunjaman tombak itu. Mereka bukan pesilat-pesilat awam. Meski belum mempunyai ilmu tinggi, namun tidak terlalu rendah. Dengan berfikiran demikian, anak muda ini menanti datangnya pisau-pisau beracun yang dilemparkan oleh Pandeka Sangek.
Dia tidak mau mengambil resiko untuk me-nyambutnya, lalu melemparkan ke arah orang-orang yang menjaga suluh itu.

Tidak, itu terlalu berbahaya.

Karena itu, begitu pisau itu dia taksir berjarak dua depa dari dirinya, anak muda ini kembali mempergunakan selendang Siti Nilam yang masih berada di tangannya. Dengan menyalurkan tenaga bathinnya yang tinggi, selendang itu tiba-tiba menggeliat dan bergulung ujungnya. Kemudian dengan sebuah sentakan keras, gulungan itu lepas dan terdengar suara letusan kecil. Kibasan ujung selendang itu membuat pisau-pisau kecil tersebut seperti membentur dinding karet yang liat dan kenyal. Senjata itu berbalik arah dengan kecepatan yang lebih tinggi dari saat dia datang tadi. Pandeka Sangek sudah menduga bahwa anak muda ini pasti sanggup menangkis serangannya. Beberapa pisau-pisaunya akan dipu-kul berbalik menyerang dirinya. Dan hal itu ter-nyata benar. Pisau-pisaunya itu berbalik arah. Malahan dengan kekuatan dan kecepatan yang lebih hebat dari yang dia lemparkan tadi.
Dia melambung tinggi sambil berkata :

Bagus!

Dalam melompat itu, dia menghantamkan sebuah pukulan tenaga dalam kepada Si Giring-Giring Perak. Namun dia segera jadi terkejut dan merasa dikicuh tegak-tegak tatkala dia dengar anak buahnya pada memekik! Dia tak jadi menghantamkan pukulannya. Tetapi turun kembali cepat-cepat.

Dan dia segera sadar, senjata rahasia yang dia lemparkan tadi, dan dipukul berbalik, ternyata bukan diarahkan pada dirinya. Melainkan pada anak buahnya. Dan empat orang anak buahnya yang tegak menjaga suluh melosoh jatuh dengan dada dan jidat ditembus pisau beracun milik pimpinannya sendiri! Saat dia turun itu, suluh yang lain pada padam. Tapi yang empat buah itu masih hidup. Dan Pandeka ini segera tahu, keempat anak buah-nya itu telah pugat oleh pisau beracunnya.
"Luar biasa!!!" dia bergumam setelah tegak dengan sempurna di tanah. Dan pada saat itu keenam batang tombak yang dilemparkan ke arah Datuk Sipasan dan teman-temannya juga telah dipukul jatuh ke tanah. Pandeka Sangek jadi maklum, bahwa dengan perkelahian jarak jauh, dia'akan banyak mengalami kerugian. Karenanya dia lalu mengatur siasat baru.
"Anak muda, ilmu bathinmu ternyata amat tinggi. Saya ingin belajar sedikit ilmu silat dari Gunung Talang"
Sehabis berkata begitu dia memberi isyarat lagi. Dan kembali suluh-suluh yang tadi dipadamkan, hidup kembali. Kemudian, setelah membungkuk sedikit tanda memberi hormat, Pandeka Sangek mulai membuka langkah silat. Dan pada langkah kedua, anak muda itu segera tahu, Pandeka ini membuka dengan jurus silat Starlak. Dia tetap tegak menanti. Pada langkah ketiga, dengan sebuah langkah panjang menyam-ping, Pandeka itu telah berada di sisi kirinya.
Anak muda itu masih tegak diam. Dan Pandeka itupun membuka serangan pertamanya. Dengan masih tetap menyamping, dia mengirimkan tendangan dengan sisi kaki ke rusuk Si Giring-Giring Perak. Tendangan itu luar biasa cepatnya. Anak muda ini membuang langkah ke samping. Tapi tendangan itu beruntun sebanyak tiga kali. Mengarah ke rusuk, ke lutut ke kepala. Dilakukan dengan cepat dan tanpa kaki kanannya yang menendang itu mencecah tanah. Dia tegak hanya dengan kaki kiri. Dan kaki kirinya membuat loncatan kecil mendekati anak muda itu setiap menendang. Si Giring-Giring Perak bukannya tak sering melihat serangan Starlak yang tangguh. Tapi cara bersilat Pandeka ini cukup aneh dan serangannya berbahaya. Ketika dia terpaksa membuang langkah ke kiri menghindarkan tendangan ke kepala. Pandeka itu tiba-tiba menarik kakinya dan kini ujung-ujung jari tangannya menghunjam ke dada. Ujung jari-jari yang dirapatkan itu seperti ujung pisau. Melaju ke arah jantung. Kembali Si Giring-Giring Perak dibuat kagum dengan kecepatan lelaki ini bergerak. Jurus serangan ke.empat ini dia hindarkan dengan merendah-kan diri.
Tapi serangan berikutnya benar-benar membuat anak muda ini tidak hanya sekedar kagum tetapi juga kaget. Begitu dia menunduk, dan tikaman dengan ujung-ujung jari-jari itu lewat di atas kepalanya dengan cepat sekali serangan itu berobah menjadi hantaman dengan siku! Siku-nya i menghujam ke bawah, ke arah tengkuk Si Giring-Giring Perak. Semua orang yang tegak menonton pertarungan itu dengan diam dan tegang, tak melihat apa yang tengah terjadi. Gerakan kedua lelaki itu amat cepat untuk mereka tangkap dengan pandangan. Hanya Datuk Sipasan yang masih mampu mengikuti pertarungan itu dengan baik dengan tatapan matanya yang cukup a was.
Dia jadi berdebar melihat siku tangan Pandeka yang memburu tengkuk anak muda itu. Dia tak mau berteriak meskipun dia ingin sekali berseru memperingati bahaya itu. Tapi anak muda itu su-dah mencium bahaya. Dengan cepat dia menjatuh-kan diri ke tanah. Dengan demikian dirinya terhin-dar dari terkaman siku lawan, Namun sebelum dirinya sempurna jatuh ke tanah kaki kiri Pandeka itu bergerak. Dia berusaha menangkap namun, sebuah kibasan kaki yang ligat tetap saja meng-hantam rusuknya.
Terdengar suara berdebuk dan tubuh anak muda itu tercampak dua depa! Anak muda itu bukannya tak merasakan datang-nya tendangan itu, ia telah berusaha menyambut-nya dengan tangan. Namun posisinya dalam keada-an tidak menguntungkan. Dia tengah menjatuhkan diri. Betapapun jua, saat itu dia tak bisa bergerak banyak. Makanya dia lalu menyalurkan tenaga bathinnya ke rusuk. Ke tempat yang dia duga akan diterpa tendangan itu. Dan hal itupun terjadi-lah! Si Giring-Giring Perak segera merasakan sakit yang menyengat di rusuknya. Dia mengerahkan lagi tenaga bathinnya ke sana. Namun rasa sakit yang menyengat itu masih membakar. Dia meraba rusuknya dan dengan terkejut dia merasakan beta-pa rusuknya basah. Dan ketika dia melihat tangan-nya, dia jadi keget. Telapak tangannya merah oleh darah! Dan rasa sakit makin menyengat. Pukulan dengan siku dan tendangan tadi jelas serangan yang berasal dari Silat Pangian. Silat tangguh yang berasal dari Pangian Tanah Datar,
Ternyata Pandeka ini menggabungkan silat Starlak dengan Pangian dalam jurus-jurus yang berbahaya. Dia menarik nafas. Kemudian tegak. Tangannya masih menutup luka di rusuknya.
"Serangan Pangian yang luar biasa..." katanya perlahan dengan jujur. Pandeka itu tak menjawab. Tapi kembali membuka langkah. Dan seperti tadi, dalam tiga langkah yang panjang dan menyamping kembali dia berada di sisi kiri anak muda itu. Kali ini si Giring-Giring Perak berlaku waspada. Rasa pedih bekas tendangan tadi masih terasa menyengat. Menyengat! Ya, pedihnya menyengat. Anak muda ini segera sadar, nama lelaki yang dia hadapi itu adalah Pandeka Sangek. Gelar yang di-berikan bagi pesilat biasanya ada sangkut pautnya dengan kepandaian yang dia andalkan.
Datuk Sipasan misalnya bergelar demikian karena tangannya dicelup dengan bisa ribuan Lipan. Dan cara dia menyudahi lawannya persis seperti sipasan (Lipan). Yaitu dengan mempergu-nakan dua jarinya sebagai taring untuk memasuk-kan bisa. Dan kini Pandeka Sangek tentulah punya keistimewaan menurut namanya itu

Tidak ada komentar: