Buat ayahku Hendrik Pangandaheng, dan ibunda Chadijah, yang kini menjalani hari tua yang tentram di Pekan-baru, mereka yang telah membesarkan kami, anak-anaknya, dengan penuh kasih sayang dan air mata. buat keempat putriku tercinnta, Eka, Eva, Evi dan Esi. Kanak-kanak yang senantiasa jadi pelabuhan damai dihari-hari resahku. Dan buat Yurni ibu mereka, yang selalu tabah memenani hidupku. (Pada kalian kasih sayangku bermuara) PENGANTAR GIRING-GIRING PERAK ini novel Namun beberapa fakta coba diungkapkan di dalam-nya. Antara lain adalah tentang kekejaman Kompeni, tentang kebangkitan orang-orang Minangkabau melawan penjajahan. Sayangnya perlawanan itu tidak terkoordinir. Karena orang-orang Minang sendiri terpecah dalam puluhan puak yang sating bermusuhan demi kepentingan masing-masing. Dengan demikian, Belanda dengan mudah meng-hancurkan perlawanan yang datangnya dari kelom-pok-kelompok kecil itu. Kemudian juga tentang kekejaman para perampok di Bukit Tambun Tulang. Bahwa di sana suatu saat dahulu mereka menjadikan bukit itu sebagai suatu kerajaan hukum rimba yang menakutkan. Namun betapapun jahatnya mereka, jauh di dalam hatinya, mereka ternyata juga anti pada penjajah! Bukit Tambun Tulang dalam cerita ini adalah yang terletak antara Pariaman dan Padang Panjang. Sebab dalam legende Minangkabau ada beberapa buah yang bernama Bukit Tambun Tulang. Di Bukit itu, nyawa anjing lebih berharga ketimbang nyawa manusia. Dan dalam cerita ini barangkali dapat diketahui sedikit tentang aliran dan asal usul pencaksilat di Minangkabau. Semua nya ditulis dari bahan-bahan dokumentasi/kepusta-kaan yang jauh dari memadai. Sudah tentu saya dengan lapang dada akan menerima tiap tegur sapa jika terdapat kekurangan dan kejanggalan. PENULIS |
Sang Pengembara
Jumat, 20 Agustus 2010
Pengantar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar