Si Giring-giring Perak segera menyeruak belukar ke arah di mana dia tadi mendengar suara itu. Rasanya tak jauh dari air terjun. Ketika ka kinya menginjak sebuah batu layah, dia merasa kan batu itu basah. Dan inderanya yang tajamse gera dapat menangkap, bahwa gadis itu di sekap dari atas batu itu.
Dan dari situ dia memandang keliling. Di sebe-lah kiri ada dinding batu setinggi puluhan meter dari mana air terjun itu berasal. Di sebelah bela-kangnya adalah rombongan itu bermalam. Dia memandang ke depan. Delapan depa di depannya, setelah air terjun itu melintasi sebuah sungai kecil ada belukar. Di belukar itu ada pohon besar dan rimbun, Dia me-lompat. Dalam sekali lompatan yang ringan dia berada di salah satu cabang pohon tersebut. Ada ranting kecil yang patah. Dan dia segera tahu, dari pohon inilah penyamun-penyamun itu mengintai. Dari tempat ini amat jelas rnelihat ke arah api unggun. Dan amat mudah untuk men-capai setiap orang yang datang ke air terjun.
"Hmm, ada empat atau tiga orang yang mengintai dari pohon ini...." bisiknya setelah memperhatikan dahan besar di kayu itu. Dengan memperhitungkan situasi tempat itu, dia segera tahu ke arah mana Siti Nilam dibawa lari.
Siti Nilam yang mencecahkan tangannya ke air yang sejuk, tiba-tiba merasa ada orang di belakangnya. Sebagai gadis Minang yang belajar silat meskitak begitu sempurna, dia berbalik dan langsung menendang. Tapi orang yang tegak di belakangnya melompat ke samping. Tangannya langsung menangkap mulut gadis itu. Kemudian tangan yang lain memukul tengkuknya. Terdengar pekik tertahan Siti Nilam. Tapi mulutnya telah ditutup. Ketika dirinya jatuh pingsan karena pukulan ditengkuk itu, Lelo Cindai memangku tubuhnya. Kemudian membawa lari.
"Lekas lari..." katanya pada tiga temannya yang menanti di bawah pohon. Mereka berlari dalam gelap seperti berlari di siang hari. Demikian , hapalnya mereka akan tempat itu. Sehingga belukar yang demikian lebatnya tak menghalangi mereka. Mereka menyelusup mendaki tebing yang curam. Naik ke atas. Jika orang biasa takkan menduga bahwa di tebing yang curam tak berapa jauh fcdi kiri air terjun Lembah Anai itu ada jalan setapak berupa tangga dari batu-batu alam ke atas sana.
"Ke gua di tepi sungai...!" Lelo Cindai berseru sementara tangannya yang memangku tubuh Siti Nilam meremas-remas. Mereka kini berada di Batang Anai bahagian atas air terjun tersebut. Batang Anai di hulu Air Terjun itu tak begitu besar. Batu-batu besar bersumburan. Dengan melompati beberapa batu besar, mereka tiba diSeberang. Dan empat lompatan mereka tiba di mulut sebuah goa di tepi sungai itu. "Kalian tunggu giliran di luar...." perintah Lelo Cindai. Dia sendiri melangkah masuk ke goa tersebut. Goa itu cukup lapang, diatasnya tum-buh pohon-pohon besar.
Lantainya terbuat dari batu yang rata dan licin. Berbeda dari udara di luar, dalam goa ini udaranya hanga't dan bersih. Lelo menaruh tubuh .Nilam perlahan di lantai. Gadis itu masih belum sadar. Malam yang gelap membuat dia tak melihat apa-apa. Tapi begitu tubuh Nilam terletak. tubuh Lelo ikut bergolek di sisi tubuh gadis itu.
Tangannya mulai mejiggerayang. Menyentak-kan kain gadis tersebut. Meremas pinggulnya. Mulutnya menjalari wajah Nilam, bibirnya leher-nya. Dadanya. Dan tangannya bergerak lagi. Me-renggutkan baju kurung Nilam. Suara kain robek terdengar sampai ke luar goa.
Tiba-tiba tangannya terhenti Tiba-tiba gerak-annya terhenti. Tiba-tiba nafasnya juga rasa terhenti. Dia mendengar sesuatu. Dekat sekali. Seperti suara giring-giring. Dia menanti. Senyap. Dia mendengarkan. Senyap. Tangannya bergerak lagi. Tapi suara giring-giring itu berbunyi lagi. Kali ini dia tak sempat mendengar banyak. Karena begitu dia coba bergerak, rambutnya rasa ada yang menarik. Dia ingin bercarut. Ingin menyumpah. Tapi tubuhnya dia rasa melambung. Sebelum carutnya keluar, tubuhnya menerpa dinding goa!
Dia merasakan tubuhnya remuk. Tubuhnya melosoh di dinding. Menggeletak di lantai goa yang keras. Tapi dia belum mati. Dia ingin membalas. Dia tahu, yang mencelakainya ini pastilah anakmuda bergiring-giring perak yang mengobrak-abrik mereka di Bukit Tambun Tulang siang tadi. Dia meraba pinggang untuk mencabut keris dan melemparkannya diam-diam ke tubuh anak muda Namun usahkan keris, celana sajapun dia tak punya kini. Sudah dia tanggalkan tadi sebelum dia menyentakkan pakaian gadis itu. Celakanya dia juga belum sempat menikmati tubuh gadis itu tatkala .anak muda itu tiba. Dan malangnya lagi, anak muda itu mendengar gerakkan tangannya yang perlahan mencari keris itu. Anak muda itu menggerakkan tangan. Sebuah kerikil sebesar jam tangan melesat dalam gelap itu. Menghantam jidatnya. Dan tanpa sempat melolong atau memekik, jidatnya berlobang, nyawanyapun berangkat ke neraka. Dia mati dengan menyumpahi temannya yang berdua yang dia tugaskan menanti di luar. Kenapa mereka tak memberitahu atau memberi kode ke dalam bahwa ada orang datang? Dan kalaupun ada orang datang, kenapa tak mereka halangi?
Dia tak tahu, bahwa kedua temannya juga sudah mati. Kedua lelaki itu tengah duduk di luar pintu goa ketika tiba-tiba saja anak muda itu telah tegak sedepa di depan mereka. Mereka seperti melihat hantu. Sebab pakaian anak muda itu serba putih. Dan dalam kegelapan yang remang-mang di pinggir batang Anai itu dia memang telihatan menakutkan. Mereka meloncat tegak. Namun itu adalah gerakkan mereka yang terakhir. Sebab begitu mereka tegak, begitu kaki anak muda itu melayang menghantam mereka. Yang satu kena sepak kerampangnya. Anunya pecah ketika itu juga. Tubuhnya terangkat dan tercampak serta tersangkut di dahan kayu. Mati tergantung penyamun ini. Yang satu lagi kena terjang hulu jantungnya. Tubuhnya yang kena terjang itu terjerangkang dan tercebur ke dalam sungai. Kemudian dihanyutkan oleh air deras. Dan jatuh bersama air terjun itu kebawah sana. Tak jauh dari. tempat Datuk Sipasan berke-rnah, di mana tadi Siti Nilam membasuh muka sebelum dia diculik.
Siti Nilam masih belum sadar dari pengaruh totokan. Dia terbaring diam. Si Giring-Giring Perak menyentuh belakang telinga gadis itu. Kemudian sebelum si gadis sadar, dia mengumpulkan pakaian-nya dan meletakkan di atas tubuhnya. Lalu dia melangkah keluar dari goa itu. Siti Nilam segera sadar sesaat dia berada di luar. Gadis itu memekik-mekik. Tapi dia segera terdiam ketika suara si Giring-Giring Perak terdengar dari luar goa :
"Tenanglah - Nilam. Engkau telah selamat. Berpakaianlah...." Siti Nilam masih menggigil. Tapi dia kenal betul suara anak muda yang telah menolong mereka siang tadi. Dia benarbenar merasa aman. Dia yakin dia belum ternoda. De-ngan masih menahan isak tangis, dia melekatkan pakaiannya sebisanya. Kemudian meraba-raba menuju titik yang agak terang. Dan di luar di atas sebuah batu layah, Si Giring-Giring Perak itu tegak menantinya.Siti Nilam yang merasa diselamatkan dari cemar seumur hidup, tak dapat menahan tangisnya. Dia menangis dan tanpa disadari menjatuhkan diri kepelukan anak muda yang telah menyelamatkan dirinya itu."Terimakasih uda. Terimakasih. Engkau telah menyelamatkan diriku dari noda..." ujarnya di antara isak tangis.Anak muda itu kaget ketika Nilam memeluk-nya. Dia membiarkan saja gadis itu memeluk dan menangis di bahunya tanpa berbuat suatu apapun. Dan ketika Nilam puas menangis, dia tegak sambil menunduk di depan anak muda itu."Mari kita ke bawah. Menemui rombongan Datuk Sipasan..." ujar si Giring-Giring Perak perla-han. Siti Nilam mengangguk. Tapi dia menjadi ngeri melihat batu bersumburan di sungai di dalam hutan Singgalang yang angker itu. Dia tak bergerak ketika Si Giring-Giring Perak mulai melangkah. Dan pemuda itupun segera sadar, bahwa gadis itu takkan mungkin melangkahi batu-batuan besar itu. Dia berbalik lagi ke tempat Nilam."Mari kubantu..." katanya. Dan sebelum Siti Nilam sadar bantuan bagaimana yang akan diberi-kan anak muda itu, dia merasakan tubuhnya di pangku. Kemudian si Giring-Giring Perak mengerahkan tenaga dan ilmu meringankan tubuh. Siti Nilam merasakan tubuhnya di bawa melompat dari batu ke batu, dalam kecepatan yang laju. Dia melingkarkan tangannyake leher anak muda itu. Kemudian memejamkan mata sambil menyurukkan wajahnya ke dada si Giring-Giring Perak.Anak muda itu mencium bau harum yang me-mancar dari tubuh Siti Nilam. Dadanya berdegup kencang. Dan dia memperkencang larinya untuk segera sampai ke tempat berkumpulnya rombongan
Datuk Sipasan.
Dia harus hati-hati tatkala menuruni tebing curam menuju ke bawah. Kalau waktu naik tadi dia bisa berlari kencang, itu disebabkan karena ilmu-nya yang tinggi dan dia tak membawa beban. Tapi kini dia memondong tubuh seorang gadis. Dia harus hati-hati.
Sesuai dengan janjinya pada Datuk Sipasan, sebelum Subuh tiba, dia telah sampai kembali ke tempat mereka bermalam. Siti Nilam dia turun-kan tak jauh dari tempat orang-orang yang mengungsi dari Pariaman itu berkumpul. Dia tak ingin orang-orang itu melihat dia memangku tubuh gadis tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar